Eucalyptus, Kontroversi “Abadi”
Oleh Gede H. Cahyana
Banjir pada musim hujan bisa dicegah
dengan penanaman pohon. Salah satu pohon yang biasa ditanam ialah Eucalyptus. Namun demikian, pohon ini menuai kontroversi. Sebab,
pohon ini justru kerapkali
dikaitkan dengan krisis air.
Menurut Vandana Shiva, eucalyptus tidak cocok untuk penghijauan
apalagi untuk menahan air. Di India, kata perempuan penulis ini, monokultur eucalyptus yang biasa dijadikan bubur
kertas menjadi sumber masalah air. Eucalyptus
yang diambil dari habitat aslinya di Australia membahayakan daerah yang miskin
air.
Itulah masalahnya. Banyak daerah
akan sulit air pada masa yang akan datang. Ada fakta, eucalyptus bukanlah sistem vegetasi yang mampu mandiri di luar
habitat aslinya. Malah riset yang dilaksanakan oleh Divisi Hidrologi Australian Central Scientific and Industrial
Research Organisation menyatakan bahwa eucalyptus
menyebabkan curah hujan, kelembaban dan air tanahnya berkurang. Di Negeri Kanguru itu bahkan kerusakan sumber daya
air justru lantaran penanaman eucalyptus
dalam skala luas.
Di bawah ini saya
kutipkan greget hati wanita India yang saya nukil dari buku Waterwars. “Aku sangat peduli dengan India yang kukenal. Indiaku adalah
milik orang-orang miskin yang kelaparan tak berdaya. Hampir semua orang di
antara mereka tidak memiliki tanah dan sebagaian kecil orang yang mempunyai
tanah akan dengan senang hati memberikan sumber daya amereka. Upaya menanami
Purulia, Bankura, Midnapur, Singbhum, dan Palamau dengan eucalyptus akan
merampok air minum dan irigasi Indiaku”.
Dari kutipan di atas
bisa disimpulkan bahwa tanaman ini boros air. Dengan kata lain, dia merampok
air bagi keperluan manusia yang jauh lebih berhak ketimbang “sekadar” tanaman.
Semua makhluk memang punya hak hidup, termasuk tanaman. Tapi ada bedanya.
Tanaman tertentu punya habitat khas yang cocok baginya untuk tumbuh. Tanaman
lain belum tentu cocok dan jangan-jangan malah menjadi bumerang bagi makhluk
lainnya. Ini jangan sampai terjadi, setelah tanamannya besar dan kokoh
batangnya lalu dicabuti lagi, apalagi kalau dicabuti oleh masyarakat dalam
kondisi protes dan marah. Ini pernah terjadi tahun 1983. Petani Karnataka pawai
ke kebun pembibitan hutan dan mencabut jutaan benih eucalyptus dan mananam biji tamarin (asam) dan mangga sebagai
gantinya.
Begitu juga di
Afrika Selatan. Kalangan wanita di benua Afrika bagian Selatan ini kampanye
soal pelestarian air dengan menebangi pohon eucalyptus.
Pasalnya, pohon itu mengeringkan sumber mata air dan air tanah di sana. Menurut
Departemen Urusan Air dan Hutan Afrika Selatan, pohon pengering air itu sudah
ditanam di 10 juta hektar tanah dan menyedot 3,3 milyar meter kubik air, melebihi
vegetasi lokal. Setelah eucalyptus
habis di sepanjang tepi sungai, kata Shiva, aliran mata air meningkat hingga
120%.
Di lain pihak ada
pendapat begini. Eucalyptus umumnya punya tajuk ringan sehingga
intensitas penutupan tajuknya pun ringan. Maka, kondisi ini memberikan peluang
bagi air hujan untuk lolos dari cegatan tajuk (intersepsi) sehingga air hujan
yang lolos dan mencapai lantai hutan relatif besar. Air yang jatuh ini akhirnya
meresap ke dalam tanah dan menjadi sumber air.
Apapun pendapat itu,
dan di posisi mana pun kita berada, mari kita amankan air dan hindarilah penurasan
air (water logging). Tanamlah pohon, minimal satu pohon, di
rumah masing-masing. Paru-paru kita perlu oksigen, dan pohon adalah
produsennya. Kita pun perlu air, dan pohon dapat menjamin ketahanan air kita. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar