• L3
  • Email :
  • Search :

11 Desember 2013

Eucalyptus, Kontroversi “Abadi”

Eucalyptus, Kontroversi “Abadi”
Oleh Gede H. Cahyana


Banjir pada musim hujan bisa dicegah dengan penanaman pohon. Salah satu pohon yang biasa ditanam ialah Eucalyptus. Namun demikian, pohon ini menuai kontroversi. Sebab, pohon ini justru kerapkali dikaitkan dengan krisis air. Menurut Vandana Shiva, eucalyptus tidak cocok untuk penghijauan apalagi untuk menahan air. Di India, kata perempuan penulis ini, monokultur eucalyptus yang biasa dijadikan bubur kertas menjadi sumber masalah air. Eucalyptus yang diambil dari habitat aslinya di Australia membahayakan daerah yang miskin air.

Itulah masalahnya. Banyak daerah akan sulit air pada masa yang akan datang. Ada fakta, eucalyptus bukanlah sistem vegetasi yang mampu mandiri di luar habitat aslinya. Malah riset yang dilaksanakan oleh Divisi Hidrologi Australian Central Scientific and Industrial Research Organisation menyatakan bahwa eucalyptus menyebabkan curah hujan, kelembaban dan air tanahnya berkurang. Di Negeri Kanguru itu bahkan kerusakan sumber daya air justru lantaran penanaman eucalyptus dalam skala luas.

Di bawah ini saya kutipkan greget hati wanita India yang saya nukil dari buku Waterwars.  “Aku sangat peduli dengan India yang kukenal. Indiaku adalah milik orang-orang miskin yang kelaparan tak berdaya. Hampir semua orang di antara mereka tidak memiliki tanah dan sebagaian kecil orang yang mempunyai tanah akan dengan senang hati memberikan sumber daya amereka. Upaya menanami Purulia, Bankura, Midnapur, Singbhum, dan Palamau dengan eucalyptus akan merampok air minum dan irigasi Indiaku”.

Dari kutipan di atas bisa disimpulkan bahwa tanaman ini boros air. Dengan kata lain, dia merampok air bagi keperluan manusia yang jauh lebih berhak ketimbang “sekadar” tanaman. Semua makhluk memang punya hak hidup, termasuk tanaman. Tapi ada bedanya. Tanaman tertentu punya habitat khas yang cocok baginya untuk tumbuh. Tanaman lain belum tentu cocok dan jangan-jangan malah menjadi bumerang bagi makhluk lainnya. Ini jangan sampai terjadi, setelah tanamannya besar dan kokoh batangnya lalu dicabuti lagi, apalagi kalau dicabuti oleh masyarakat dalam kondisi protes dan marah. Ini pernah terjadi tahun 1983. Petani Karnataka pawai ke kebun pembibitan hutan dan mencabut jutaan benih eucalyptus dan mananam biji tamarin (asam) dan mangga sebagai gantinya.

Begitu juga di Afrika Selatan. Kalangan wanita di benua Afrika bagian Selatan ini kampanye soal pelestarian air dengan menebangi pohon eucalyptus. Pasalnya, pohon itu mengeringkan sumber mata air dan air tanah di sana. Menurut Departemen Urusan Air dan Hutan Afrika Selatan, pohon pengering air itu sudah ditanam di 10 juta hektar tanah dan menyedot 3,3 milyar meter kubik air, melebihi vegetasi lokal. Setelah eucalyptus habis di sepanjang tepi sungai, kata Shiva, aliran mata air meningkat hingga 120%.

Di lain pihak ada pendapat begini. Eucalyptus umumnya punya tajuk ringan sehingga intensitas penutupan tajuknya pun ringan. Maka, kondisi ini memberikan peluang bagi air hujan untuk lolos dari cegatan tajuk (intersepsi) sehingga air hujan yang lolos dan mencapai lantai hutan relatif besar. Air yang jatuh ini akhirnya meresap ke dalam tanah dan menjadi sumber air.

Apapun pendapat itu, dan di posisi mana pun kita berada, mari kita amankan air dan hindarilah penurasan air (water logging). Tanamlah pohon, minimal satu pohon, di rumah masing-masing. Paru-paru kita perlu oksigen, dan pohon adalah produsennya. Kita pun perlu air, dan pohon dapat menjamin ketahanan air kita. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar