• L3
  • Email :
  • Search :

29 Maret 2006

PDAM Sakit, Sakitlah Pelanggan

Tarif! Inilah kata bertuah bagi PDAM. Lantaran tariflah 90% PDAM lagi ���sakit���. Terlalu rendah tarifnya. Sekadar ���balik-modal��� dalam tetes demi tetes air produksinya saja banyak yang tak mampu. Apatah lagi untuk melunasi utang. Ini diakui kalangan per-PDAM-an, baik asosiasinya maupun insan PDAM. (Tentu ada sebab lainnya seperti mutu pegawai, desain instalasi, area servisnya sempit, dan kualitas manajemen). Kalau demikian, salahkah PDAM? Semata-mata kesalahan itu ditimpakan kepada PDAM tentu tidak bijak. Seperti lempar batu sembunyi tangan, enggan bertanggung jawab. Sebab, Bupati-walikota pun bersalah. Juga DPRD; mereka kerapkali menolak usulan kenaikan tarif PDAM. Pansus-pansus di DPRD terlalu cepat menolak usulan tersebut. Ini nyaris terjadi di semua daerah.

Apabila diretas, substansi keputusan dewan yang menolak proposal PDAM itu ibarat api dalam sekam, bisa menjadi bumerang yang berakhir pada kerugian pelanggan. Terlebih lagi alasan yang dikemukakan sering lemah, tidak saintifik, dan sebatas retorika. Padahal dampak laten jangka panjangnya jauh lebih riskan bagi pelanggan, berkaitan dengan kesehatannya. Tarif rendah, kinerja instalasi rendah, mutu air olahan ikut rendah lalu kesehatan pelanggan rendah pula. Inilah sedikit dari alasan ���sepele��� itu. Bahwa dalam usulan tersebut PDAM tidak menyertakan angka-angka eksak; atau tidak ada jumlah kenaikan dan besaran tarif dasar airnya. Alasan seperti ini lemah karena bisa ditanyakan langsung ke direksi, misalnya, pada saat rapat. Atau, diperbaiki dulu proposalnya lalu rapat lagi. Sebagai pihak yang berkepentingan, PDAM pasti tidak akan gegabah atau seteledor itu dalam menyusun proposal. Pasti ada SDM-nya yang paham manajemen perairbersihan.

Andaikata kasus di atas terus berlangsung, taruhlah sampai tuntas masa duet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, maka bisa dipastikan Millenium Development Goals 2015 sektor air minum yang didengung-dengungkan itu akan kandas, lantas melibas mayoritas PDAM, terutama yang ���sakit��� sehingga kian sengsara. Ujung-ujungnya, pelanggan sakit; sakit yang sebenar-benarnya, yaitu: diare, tifus, disentri, ginjal, hati, hipertensi, minamata, alzheimer dll. Ongkos berobat ke dokter boleh jadi lebih besar daripada rekening airnya dalam sebulan atau malah dalam setahun.

Tarif Progresif-Proporsional
Sebagai komponen paling rawan bagi interaksi PDAM-pelanggan, tarif hendaklah dikelola dengan bijak. Bijak di sana (PDAM), juga bijak di sini (pelanggan). Mediatornya adalah pemerintah daerah dan wakil pelanggan, yaitu DPRD. Sebab, mekanisme jual-beli air PDAM berbeda dengan komoditi sembako di pasar tradisional dan supermarket.

Tarif air memang bukan otoritas PDAM belaka. Pemerintah daerah dan DPRD turut berperan. Idealnya, semua stakeholders terlibat. Dan biasanya, regularitas penarifan bergantung pada kondisi ekonomi makro, diajukan ke dewan setelah diulas oleh bupati-walikota, dilengkapi dengan analisis sosio-ekonomi, termasuk pertimbangan politik kontemporer. Termasuk evaluasi instalasi, cicilan utangnya, keadaan karyawan dan penggajiannya. Minimal parameter itulah yang mesti dibahas dalam formulasi kebijakan tarif yang betul-betul progresif-proporsional dan boleh-boleh saja diajukan per tahun atau lebih, bergantung pada perubahan yang terjadi di daerah.

Oleh sebab itu, diharapkan ada titik temu dalam aktivitas tawar-menawar antara PDAM (pemkab/pemkot) dengan dewan. Pelanggan pun wajib proaktif mengontrol dan memberikan masukan pada proses pentarifan. Tekanan kepada dewan agar berkiblat pada kepentingan pelanggan lewat media massa atau langsung mengusung aspirasi ke gedung dewan sah-sah saja ditempuh. Hanya saja, ini agak sulit dilaksanakan kecuali tersedia ruang publik dan masyarakat terbiasa menggelar wacana dalam diskusi, dialektika atau debat publik. Di kota seperti Bandung sudah terlaksana walaupun dalam lingkup kecil.

Penting pula diingat, pada proses jual-beli tersebut, kedua pihak, yaitu PDAM dan pelanggan harus sama-sama untung. Setara posisinya. Sebab, dalam aktivitas jual-beli yang bersifat kontinu, dari hari ke hari, perlu ada kesinambungan kepercayaan. Kalau muncul ketidakadilan sedikit saja, buyarlah rasa saling percaya yang telah terbina. Saling gugat pun tak terelakkan yang boleh jadi berakhir di pengadilan.

Karena itulah, dewan wajib mengakomodasi semua lapis kepentingan. Bukan cuma membela kepentingan pelanggan tapi juga kepentingan PDAM. Sebab, bagaimana pun, harga tidak boleh terlalu rendah. PDAM bisa rugi karena biaya produksinya lebih besar daripada tarifnya. Apalagi mengingat utangnya yang milyaran rupiah. Walaupun kita tahu utang itu sebenarnya kesalahan historis kolektif selama ini yang mark-up, inefisiensi, KKN masif, melibatkan oknum di PDAM, pemerintah, konsultan, supllier dan kontraktor.

PDAM Underdog?
Yang penting dalam pentarifan adalah realitas setempat seperti kondisi sosial ekonomi dan geohidrologi. Ini berkaitan dengan biaya eksplorasi dan eksploitasi air baku serta tingkat mau-bayar (willingness to pay) masyarakat. Dalam menetapkan parameter tersebut, stakeholders tak usah condong ke negara lain karena sering tidak bisa dijadikan acuan untuk mengambil keputusan di tanah air.

Tetapi cobalah bandingkan dengan tarif (harga) air minum kemasan (amik) yang mengikuti mekanisme pasar. Misalnya, harga satu liter amik Rp 1.500 ��� Rp 2.000. Sedangkan tarif PDAM berkisar antara 350 ��� 1.500 rupiah per m3. Sekali lagi, per meter kubik alias 1000 liter! Sangat murah, bukan? Satu meter kubik amik setara dengan 1,5 juta rupiah; namun hanya 1.500 rupiah buat air PDAM! Malah ada yang beberapa ratus rupiah semeter kubik.

Akibatnya, tak terbilang lagi jumlah PDAM yang menjerit. Betapa PDAM berada di posisi underdog dalam kancah bisnis, kalau boleh disebut demikian, air minum. Padahal sumber airnya tak berbeda. Selain dari mata air, PDAM juga mengambil air tanah dalam (sumur bor) dan sungai. Sebaliknya amik semuanya mengklaim menggunakan mata air (berembel-embel pegunungan) dan bukan dari sumur bor atau air PDAM. Namun fakta bicara lain. Boleh jadi ada perusahaan amik atau pemalsu amik yang menggunakan air olahan PDAM, kemudian diolah dengan teknologi membran dan disinfeksi, lalu dijual. Relatif simpel, mudah, murah dan untung besar. Tapi sangat merugikan konsumen.

Pelanggan akomodatif
Pelanggan itu raja. Ini disepakati oleh pelaku bisnis. Namun demikian, pada saat yang sama pelanggan pun wajib membayar sesuai tarif sah yang disepakati. Ini akan mambantu eksistensi produsen dan pada akhirnya eksistensi pelanggan. Itu sebabnya, pelanggan harus akomodatif dalam hal tarif. Apalagi semua tarif dan retribusi sudah naik berkali-kali seiring dengan kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik. Dalam keberkali-kalian itu, berkali-kali pula sejumlah PDAM gagal menaikkan tarifnya.

Tidakkah pelanggan peduli? Mengapa pelanggan sering protes kalau PDAM hendak menaikkan tarifnya? Bagaimana kalau PDAM benar-benar bangkrut? Lalu dari mana pelanggan mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari? Pasti tidak nyaman bekerja di kantor jika tidak mandi, bukan? Juga tidak bisa mencuci dan bebersih rumah.

Tidakkah wajar PDAM menaikkan tarifnya justru dalam kondisi ekonomi sulit ini? Cara ini lebih baik daripada berutang ke bank atau badan donor lainnya yang membebani negara. Sekarang saja cicilan pokok dan bunga utang tersebut sudah lebih besar daripada dana pinjaman yang mengucur dalam setahun.

Dari paparan tadi terlihat betapa besar peran PDAM dalam mewujudkan program kesehatan asalkan punya dana cukup lewat tarif yang full cost recovery untuk memutar roda usahanya. PDAM sehat akan dapat menyokong kesehatan pelanggan. Sinyalemen Depkes bahwa 40% air PDAM mengandung bakteri E. coli bisa ditepis secepatnya. Kalau E. coli saja ada berarti ada bakteri patogen lainnya yang sewaktu-waktu menebar wabah atau kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular lewat air (pemula). Saat ini saja sudah diketahui 37 jenis pemula. Diare misalnya, tingkat penderitanya mencapai 300 per 1000 penduduk dan penyebab kematian nomor dua pada balita.

Tersebut adalah tugas PDAM untuk menghapus kondisi buruk sanitasi. Salah satu caranya ialah injeksi dana segar berupa tarif yang layak, yang mampu balik-modal. Lalu, menghapus tradisi mengecewakan, meniadakan persekongkolan atau KKN di semua lapis manajemennya. Berupaya merencanakan jaringan distribusi secara profesional sambil membasmi atau yang lebih baik lagi, mencegah sambungan liar. Mereduksi kehilangan air, teknis maupun administratif dan mengeksplorasi sumber air baru atau memodifikasi instalasinya agar mampu menangani pencemar yang makin banyak saja saat ini.

Dengan alasan di atas, takkan banyak yang menolak kenaikan tarif air. DPRD pun tak usah takut dicap memperburuk ekonomi rakyat hanya karena setuju pada tarif baru. Sebab, pada saatnya kelak, manfaatnya kembali ke pelanggan juga. Hanya perlu diatur agar tarifnya tidak semahal harga amik yang memang murni bisnis tanpa nuansa sosial. Profit oriented yang bersangatan.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar