• L3
  • Email :
  • Search :

31 Maret 2006

ITB 1985, ITB 2005

Drop out dari ITB, bagi masyarakat awam, adalah hal aneh dan sesuatu yang luar biasa. Asumsi bahwa semua mahasiswa ITB pandai-pandai menjadi sebab utama. Masyarakat sudah dicetak untuk percaya semua mahasiswa ITB pasti di “atas angin” otaknya. Cair dan encer semua. Namun fakta baru-baru ini, yaitu ratusan mahasiswa dari perguruan tinggi berlambang Ganesha itu dipecat membuat separo masyarakat terperangah dan berpikir ulang. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2005/08/19/brk,20050819-65460,id.html

Betulkah sebodoh itu mahasiswa ITB sekarang? Kenapa mereka bisa di-DO padahal mereka pandai-pandai? Jawaban pastinya tentu hanya yang bersangkutan yang tahu dan juga kalangan ITB yang langsung menangani mereka. Peristiwa DO bukanlah tindakan serta-merta melainkan proses tahap demi tahap. Ketua jurusan, dosen wali, biro konseling, orang tua/wali dan mahasiswa sangat berpengaruh atau berperan dalam pen-DO-an itu.

ITB 1985
DO bukanlah hal baru di ITB. Sudah sejak dulu ada yang di-DO. Ada yang di-DO pada tahun pertama bersama (TPB), ada yang terpaksa meninggalkan kampus itu pada tahun kedua. Lolos dari tahun kedua bukan berarti jalan lebar terpapar panjang. Kerikil DO masih saja mengintai di tahap sarjana muda. Maksimum waktu tempuhnya lima tahun. Lebih dari angka itu, silakan ucapkan selamat tinggal kepada Ganesha 10. Lewat sarjana muda, yaitu masa sarjana pun tak bisa dibilang aman. Kalau tak selesai tujuh setengah tahun, silakan “wisuda” lewat Jl. Tamansari 64, bukan lewat GSG (Gedung Serba Guna, tempat wisuda sebelum ada Sabuga).

Dulu pada periode 1980-an orang yang di-DO betul-betul sudah melewati tahap konseling intensif. Paling tidak, ini dialami oleh teman saya. Pada tahun pertama ada seorang teman yang langsung tak boleh menginjak tahun kedua. Nilainya memang sangat-sangat buruk. Namun, kami, rekan-rekannya ketika itu sebetulnya sudah tahu gelagat bahwa kawan ini akan kena DO. Pasalnya, dia sering tidak kuliah dan kalau ujian selalu tak semangat. Tampak kurang mampu bersosialisasi dan relatif soliter alias penyendiri.

Maka, ketika palu DO berdentang kami sudah tidak kaget lagi. Dia pun tak muncul lagi ke kampus; mungkin sudah tahu atau sudah menduga sebelumnya. Bersamaan dengan kawan yang di-DO ini, ada satu lagi kawan yang masih boleh kuliah pada tahun kedua. Kami, teman-temannya, berupaya selalu membantunya dalam belajar. Dia kuliah seperti biasa dan entah kenapa, nilainya tetap buruk. Jurusan, setahu saya, pada waktu itu sudah berupaya menolongnya. Namun, dan ini saya tak tahu apa gentlemen aggreement-nya di Jl. Tamansari 64, akhirnya rekan ini terpaksa angkat kaki juga dari bumi Ganesha, tepat dua tahun setelah ditatar P4.

Yang DO alias tak sempat meraih gelar sarjananya juga ada. Tapi yang satu ini tidak seangkatan dengan saya. Dia di atas saya dua tahun. Gelagat DO memang sudah tampak sejak tahap sarjana muda. Kuliahnya banyak dengan kami dan bahkan dengan adik angkatan kami. Dengan beragam pertimbangan dia masih boleh kuliah di tingkat sarjana. Namun akhirnya tak bisa tuntas juga dan terpaksa keluar dari Tamansari 64 di bilangan Balubur.

Secara umum kasus DO memang selalu saja ada di setiap jurusan atau departemen di ITB. Boleh dikatakan, nyaris tak ada jurusan yang mahasiwanya lulus terus-menerus 100% dari lubang jarum dan mampu meraih gelar sarjananya. Juga dapat diyakini, kebanyakan mereka yang di-DO sudah mendapatkan konseling. Hanya saja, apakah konseling itu serius dalam membantu mahasiswa bermasalah ataukah cuma formalitas belaka, ini yang menjadi pertanyaan. Namun tetap saja yang paling utama terpulang lagi kepada sang mahasiswa bersangkutan.

Selain DO normal, pada masa itu juga ada yang DO lantaran kasus politik. Yang paling ramai masa 1980-an itu adalah peristiwa Rudini, Mendagri saat itu. Peristiwa yang dikenal dengan nama “Kasus 88” itu telah men-DO-kan sejumlah pentolan gerakan mahasiswa. Sidang di Pengadilan Negeri di jalan Riau selalu ramai dipadati mahasiswa. Kalau tak salah, ada lima atau tujuh orang pentolan demo saat itu yang di-DO. Tapi sekarang, rekan yang di-DO itu sudah ada yang menjadi orang terkenal di pentas nasional.

ITB 2005
ITB dulu dan ITB kini sudah jauh berbeda. Tak hanya gedungnya yang berubah total, tapi karakter mahasiswanya dan tata cara penerimaan mahasiswa baru pun berubah. Biaya kuliahnya juga. Dulu saya hanya membayar, kalau tak salah, Rp 24.000 per semester. Sekarang harus merogoh kantong jauh lebih dalam lagi. Berlipat-lipat. Dan ini tak usah saya ungkap lagi. Sudah rahasia umum, apalagi yang jalur “jutawan’.

Yang ingin saya ungkap adalah peristiwa DO sekarang. Kenapa begitu banyak yang tak layak meneruskan kuliahnya di ITB? Betulkah mereka tak mampu ataukah ada yang salah pada sistem pembinaan mahasiswa sekarang? Bagaimana peran konseling dalam menangani kasus mahasiswa bermasalah secara akademis? Adakah surat teguran satu dan dua dalam rentang waktu tertentu yang ditujukan kepada mahasiswa dan orang tua atau walinya? Adakah bina-mandiri yang dilaksanakan?

DO seperti yang saya tulis di atas adalah hal biasa di ITB. Tapi akan menjadi tidak biasa jika jumlahnya berombongan dan menimbulkan tanda tanya besar perihal proses perkuliahan di ITB. Bayangkan, dengan biaya yang sangat mahal mereka akhirnya melepas statusnya di ITB. Yang perlu dievaluasi adalah apakah yang DO tersebut dari kelompok yang bayar di atas 45 juta rupiah? Bagaimana persentase dan komposisi kaum DO-wan/wati ini? Hal ini akan bisa menjadi tolok ukur apakah program itu laik diteruskan ataukah tidak.

Spirit yang perlu diingat adalah jangan sampai kekuatan uang atas dasar BHMN (Badan Hukum Milik Negara) terlalu dikedepankan. Jangan sampai diprioritaskan agar tidak menjadi bumerang bagi ITB. Sebuah kampus terkenal yang banyak men-DO-kan mahasiswanya dapat menurunkan citra kualitas belajar-mengajarnya. Orang bakal mengira-ngira apakah proses pembelajarannya sudah betul ataukah salah. Apakah dosen-dosennya sudah mengajar dengan betul dan tidak sering mendelegasikan kuliahnya kepada asistennya? Dan banyak lagi dugaan yang dapat muncul di masyarakat dan boleh jadi makin menerpurukkan kampus.

Selain itu, waktu pengumuman DO hendaklah tidak mepet dengan penerimaan mahasiswa baru di PTS. Ini untuk memberikan alternatif solusi kepada mahasiswa apakah mau pindah ke perguruan tinggi swasta. Hal ini akan mudah dilakukan jika masa DO dan masa penerimaan mahasiswa di PTS bertepatan. Sebab, bagaimana pun, orang yang tidak cocok kuliah di ITB belum tentu tidak cocok juga kuliah di lain tempat. Pasti tidak semuanya tidak berbakat menjadi sarjana. Di PTS lain mereka boleh jadi dapat meraih predikat sarjana kalau mereka mencoba dan mau belajar dari pengalamannya di ITB.

Jadi, tetaplah diberikan peluang agar mereka tidak terlalu sia-sia belajar sekian tahun di ITB. Nilai yang memang sudah lulus bisa dikonversikan di PTS lain. Dan ini tidak akan mematikan keinginan mereka menjadi sarjana dan menurunkan jumlah orang yang mungkin sakit jiwa akibat kasus ini. Begitu pun orang tuanya akan sedikit terobati karena anaknya masih bisa kuliah dan punya peluang menjadi sarjana. Tentang apa pekerjaannya nanti, itu soal lain. Kita bisa belajar dari Robert T. Kiyosaki dalam serial buku-buku motivasinya, bukan? Dan jangan kaget, ada alumni DO dari ITB yang justru sukses karirnya sekarang.

Itu sebabnya, janganlah apriori pada mereka yang terkena DO. Mungkin mereka tidak tepat di jurusan itu dan boleh jadi akan tepat berada di PTS dan jurusan lain. Sangat boleh jadi mereka akan sukses di masa depan. Malah bisa jauh lebih sukses ketimbang yang lulusan ITB. Boleh jadi, bukan?*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar