Pintu ilmu, jendela dunia, itulah buku. Membaca buku sama dengan membuka tirai dunia dan membawa dunia lebih dekat dengan kita. Malah ia ada di tangan kita, dalam lembaran kertas berisi tulisan bermakna, kalimatnya tertata dengan struktur tertentu yang bervariasi. Mengecillah dunia, menjadi bumi-mini dalam genggaman pencinta buku. Itulah mereka, para penikmat buku, yang seolah-olah telah merajakan dirinya di dunia (literasi).
Gudang ilmu atau yang lebih tepat ialah ladang ilmu, itulah buku. Ladang tempat pesemaian benih-benih unggul yang bagus hasilnya sehingga menjadi ladang kebaikan, menggiring orang pada kebenaran, dan menjadi hiburan bagi kalbu. Banyaklah buku yang berakhir di skenario film dan laris bukan main. Memang, tak dapat dimungkiri, ada juga benih-benih buruk yang disemai sehingga ada buku yang menjadi ladang maksiat atau mengubah pikiran menjadi marxis dan melekatkan ateisme di selaput kelabu otaknya.
Berkawan Buku
Lewat buku, kita menjadi makin tahu. Orang yang belum pernah ke kutub menjadi tahu kondisi di sana lewat koran, majalah, tabloid atau buku. Buku-buku tentang kedigjayaan bangsa dan budaya Mesopotamia di Persia (Irak) zaman dahulu bisa diketahui lewat buku. Yang belum pernah mendaki pegunungan Himalaya di India, menjadi tahu cerita tentang makhluk Yeti yang misterius itu, juga dari buku. Tentang jagat raya atau makrokosmos seperti planet, bintang-gemintang, asteroid, komet, matahari hingga galaksi atau alam renik semisal bakteri atau kuman, juga bisa didapat di buku. Sejarah tentang kertas atau papirus dan riwayat mesin cetak Gutenberg juga dapat ditelusuri di buku-buku.
Pendeknya, semua ilmu dan teknologi mulai dari ajaran agama, sekte kepercayaan, teknologi lama dan baru, sejarah dan situs purbakala hingga zaman dinosaurus bisa diretas lewat buku. Tak berlebihan jika buku disebut penyambung lidah sejarah. Ia meniti dan melintasi zaman sambil mendata pernak-pernik adat dan budaya di setiap daerah. Sebagai penyambung kebudayaan, buku begitu penting bagi masyarakat beradab yang selalu berpikir maju. Catatan ilmu dan teknologi dari sejumlah buku dipelajari oleh ilmuwan dan teknolog, lalu diuji coba di laboratorium kemudian hasilnya dituangkan dalam buku juga. Bagaimanapun, buku adalah salah satu alat komunikasi antar ilmuwan lintas agama, lintas budaya, lintas negara, dan lintas masa.
Itulah kekuatan buku. Banyak yang percaya pada kemampuan buku untuk menyebarkan sainstek di tengah perkembangan radio, televisi, komputer, internet atau apa saja pada masa depan. Kehadiran ponsel dengan SMS-nya (servis madah singkat) makin membiasakan orang menulis catatan singkat. Ini pun bisa menjadi cikal-bakal munculnya penulis-penulis buku di kalangan remaja. Terlepas dari SMS itu yang?kata pakar bahasa, para munsyi?merusak bahasa kita.
Walaupun demikian, polemik itu usahlah diangkat di sini. Yang pasti, baik SMS, e-mail atau e-mail grup (millis) maupun surat-surat biasa lewat pos adalah sarana pembiasaan menulis dan mengemukakan pendapat secara tertulis yang tertata. Pasti ada sisi positifnya. Untuk tahap awal, amat prematur kalau kita langsung bicara soal mutu tulisan. Artinya, semua orang silakan saja menulis: mau cerita fakta, silakan. Mau fiksi, boleh-boleh saja. Mau novel pop, ingin novel picisan, atau novel sastra, semuanya sah-sah saja. Nanti masyarakatlah yang menilai.
Kembali ke soal buku. Buku adalah kawan yang nyaman dijinjing ke mana saja. Praktis dan mudah diakses. Kapan mau dibuka, saat itu juga bisa dilakukan. Tak perlu listrik, tanpa baterei, dan ringan. Sambil santai di kursi, sembari berbaring atau lesehan, waktu berjemur di pantai, mudah dilakoni. Bahkan, untuk mengirim surat ke pacar zaman cinta monyet di SMP-SMA dulu banyak yang diselipkan di dalam buku-buku cerita seperti Lima Sekawan, Sapta Siaga, novel pop, atau buku-buku paket mafikibi (matematika, fisika, kimia, biologi). Tidak aneh kalau buku-buku yang “bersejarah” tadi disimpan sampai sekarang. Kenang-kenangan, katanya. Malah ada yang dijadikan dokumen otentik dalam penulisan otobiografi.
Berbilang Ilmu
Separuh tajuk Pameran Buku Bandung (PBB) kali ini adalah Berbilang Ilmu alias kaya pengetahuan. Siapa yang tak ingin pintar? Hanya orang gila yang tak hendak pandai. Itu sebabnya, walaupun ada Inpres No. 10/2005 tentang Hemat Energi yang resmi berlaku pada Minggu, 10/7, maka khusus untuk buku, maaf Pak Presiden, aturan itu tidak berlaku dan tak boleh berlaku. Boros membeli buku (asalkan dibaca) tentu tidak apa-apa. Ini investasi, bukan konsumtif. Sebab, andaikata harus hemat pada buku, dengan kata lain mereduksi pembelian buku, bisa-bisa negara ini jatuh pailit pada masa depan, baik dalam sainsteks (sains, teknologi, dan seni) maupun bisnis. Tanpa disuruh hemat saja masyarakat kita enggan dan tidak antusias membaca buku (ingat, bukan membeli buku melainkan membaca, misalnya di perpustakaan). Sekali-duakali saya coba-coba menghitung jumlah pengunjung Perpustakaan Daerah di jalan Soekarno-Hatta, ternyata tak lebih dari jumlah jari tangan dan kaki, baik di ruang buku anak-anak, di ruang majalah-koran, maupun di bagian lainnya. Ruang audio-visualnya pun sering nganggur.
Jadi, khusus untuk buku, prinsip hemat tidak berlaku agar pada masa depan kita bisa berbilang ilmu seperti masyarakat di negara maju. Sebab, dari sekian kali Pameran Buku Bandung (PBB), arena diskon yang digelar pada awal tahun akademik ini kerapkali tidak mencerminkan antusiasme warga Bandung secara umum. Tolokukurnya ialah kecilnya rasio jumlah pengunjung PBB terhadap warga Bandung yang mencapai 2,5 juta orang. Apalagi kalau dibandingkan dengan orang yang berkunjung lantas membeli satu, dua atau tiga buku pasti sangat-sangat kecil. Berapa orang yang datang ke PBB tahun-tahun yang lalu? Angka itu mesti dikoreksi lagi lantaran ada banyak pengunjung yang datang ke PBB berkali-kali. Mungkin ada yang datang setiap hari. Orangnya ya itu-itu juga.
Apa pasal? Kecilnya minat berkunjung ke PBB dibandingkan dengan ke tempat hiburan lain semisal mal, supermarket, show musik, olah raga, dll. adalah cermin kualitas manusia Indonesia. Sejauh ini kita tergolong negara yang miskin pembaca buku dan otomatis tak berbilang ilmu. Suatu kali seorang penyair memvonis bangsa ini sebagai bangsa yang tak haus membaca tetapi haus rakus pada harta (haram) dan “tahta” sehingga gontok-gontokan terus seperti pilkada sekarang. Jangankan menjadi penulis seperti harapan di atas dengan memulainya lewat SMS, menulis surat atau e-mail, untuk membaca sehalaman-dua saja banyak yang malas. Adakah ini terjadi lantaran tingkat ekonomi mayoritas kita berada di level menengah-bawah dan memosisikan buku sebagai barang mewah alias kebutuhan tersier? Saya yakin bukan ini sebabnya melainkan rasa ingin tahu yang masih rendah atau tak mau tahu, acuh tak acuh.
Kendati demikian, ada data unik, lebih tepat aneh, yang perlu disampaikan. Ini ironis. Buku ternyata belum populer di sebagian kaum menengah-atas, kaum kaya dan berharta lebih dari cukup untuk takaran umum rakyat Indonesia. Bukan lantaran harganya, apalagi kalau dibandingkan dengan harga seporsi makanan di restoran fastfood, atau tiket nonton film, sewa CD dan game, atau sepuluh liter bensin, melainkan karena minat bacanya yang tidak ada. Menyedihkan sekali ada kepala daerah, kepala dinas, direktur perusahaan, dan anggota dewan yang tidak senang membaca. Tidak beruangkah mereka? Tidak juga! Uangnya banyak dan kabarnya ingin naik gaji lagi. Lihat saja baju dan setelannya necis semua; mobilnya banyak dan luks, rumahnya megah-megah. Jadi, apa masalahnya? Satu jawabnya, mereka tak hendak berkawan buku, tak ingin berbilang ilmu dan merasa cukup dengan ilmunya yang ada sekarang. Inikah alamat “kiamat” bagi dunia literasi kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar