• L3
  • Email :
  • Search :

30 Maret 2006

Rubuhnya Perpustakaan Kami

Rubuhnya Perpustakaan Kami
Oleh Gede H. Cahyana



Pak Wardoyo tiap hari berangkat kerja naik bis kota dari depan kompleks tempat tinggalnya setelah jalan kaki sepuluh menit dari rumahnya. Kantornya lumayan jauh, perlu 30 menit naik bis kota. Sebagai pegawai negeri di perpustakaan daerah, ia selalu “akrab” dengan buku. Dari jam ke jam ia dikelilingi buku, jurnal, skripsi, koran, dan majalah. Tugasnya kebetulan di bagian fotokopi sehingga ada saja buku, majalah yang dibolak-baliknya setiap hari. Begitulah kesehariannya.

Pernahkah ayah dua anak itu membaca buku yang difotokopinya atau yang berjejer di rak-rak di sana? Ketika ditanya, ternyata selama dua belas tahun bekerja tak pernah ia membaca buku di sana, apalagi sampai tuntas. Sepuluh persen tuntas pun tak pernah. Waktunya habis untuk melayani pengunjung yang memfotokopi. Dia sering memegang buku yang akan difotokopi tapi hanya dilihat-lihat sekilas. Itu pun tujuannya untuk memastikan halaman berapa yang akan dikopinya. Dia sering tak sadar dan malah tak hafal judul buku yang difotokopinya.

Tak hanya Pak Wardoyo, semua teman-temannya, katanya, jarang membaca buku. Jarang meminjam buku. Padahal logikanya seorang pekerja perpustakaan akan sering membaca buku. Dia bisa melayani pengunjung sambil membaca. Di sela-sela layanannya itulah waktunya digunakan buat membaca. Tapi “ajaibnya”, jarang sekali pegawai perpustakaan yang cinta-baca. Seolah-olah mereka tak senang bekerja di kantor “kering” lantaran jarang ada projek. Kalau pun ada, nilainya tak besar. Malah buku-buku koleksinya mayoritas hasil sumbangan penerbit.

Jika demikian, apa yang dibacanya? Paling sering pegawai perpustakaan membaca koran dan majalah. Jarang yang meminjam buku untuk dibawa pulang misalnya. Bagaimana anak-anaknya, apakah diajak menyukai buku dan dipinjami buku setiap hari? Toh setiap buku baru bisa dipinjam dan paling awal tahu ada buku baru di perpustakaan adalah pegawai perpustakaan. Lalu bagaimana di perpustakaan swasta? Beberapa terlihat relatif diam. Kalau tak bisa dikatakan diam, minimal bergerak dalam diam: stabilitas yang dinamis, dinamis yang stabil. Di perpustakaan swasta, dari yang kecil-kecil sampai yang sedang-sedang ukurannya, buku-bukunya relatif tetap. Seret perkembangannya. Tak banyak berubah dari bulan ke bulan.

Bagaimana pustakawannya, adakah mereka lahap membaca? Logikanya demikian. Mereka bisa membaca semua buku dengan gratis. Betapa bahagia seorang pustakawan karena dikerubuti ribuan buku, malah boleh jadi puluhan ribu buku. Tak akan habis dibacanya seumur-umur. Seorang pustakawan potensial menjadi gudang ilmu, tangki ilmu yang berjalan ke mana pun dia pergi. Itu sebabnya, selain mengurus administrasi, pustakawan hendaklah sebagai pengampanye cinta baca. Sebuah SD, sekali lagi sebuah SD dan bukan SMP bukan SMU apalagi Universitas, di negeri manca memiliki koleksi buku puluhan ribu. Apalagi, ini patut dicatat dengan tinta tebal, mayoritas buku-bukunya adalah nonfiksi. Sisanya barulah buku-buku fiksi. Fiksi ternyata sebagian kecil dari koleksinya.

Memang faktanya, tak semua pegawai perpustakaan suka membaca. Ini bisa diteliti kecil-kecilan, secara informal saja, apakah klining servis (klinser) senang buku? Apakah pegawai administratifnya suka buku? Apakah petugas di penitipan tas suka buku? Atau, apakah kepala seksi, kepala bagian dan kepala lembaganya suka buku? Jika kalangan yang bekerja di perpustakaan saja tak suka membaca, lalu siapa yang akan mengusung tempat kerjanya itu? Alasan tak punya waktu karena harus terus melayani pengunjung dari pagi sampai sore adalah alasan yang mengada-ada. Bisa saja mereka membaca di angkot, bis kota, atau di rumah. Atau ketika hari libur misalnya. Toh mereka pegawai di sana dan “lebih tahu/bebas” meminjam buku.

Jika bukan mereka yang menghidup-hidupkan perpustakaan, lalu siapa? Pengunjung? Boleh-boleh saja demikian. Tapi sangat tidak logis kalau hanya pengunjung yang memberikan nyawa pada perpustakaan. Pegawai perpustakaan justru lebih banyak berpeluang menghidupkan perpustakaan. Jika tidak demikian, hancurlah perpustakaan. Rubuhlah perpustakaan.*

1 komentar:

  1. kasihan ama buku na..
    da tapi gx pernah d baca..
    gi mana mau nambah ilmu na..

    BalasHapus