Jembeng, Filter Air Khas Bali
Oleh Gede H. Cahyana
Siang itu, sepulang sekolah, panas sekali. Tepat di atas ubun-ubun, matahari begitu terik. Peluh membasahi pelipis, sebagian mengalir ke depan dan belakang telinga. Sekian kali pula saya menyeka keringat, sambil menengadah, melihat awan kapas. Cerah. Pantaslah seterik ini, apalagi di dekat pantai Selatan Bali.
Sebentar lagi saya dan kawan-kawan sampai di rumah teman. Dua kilometer jaraknya dari sekolah, berjalan kaki. Sampai di rumahnya kami ngos-ngosan. Yang empunya rumah juga berkeringat. I Gusti Ngurah Alit namanya. Ditaruhnya tas, lantas ia ambil gayung tempurung kelapa dan menuju kolam. Agak di tengah kolam ada batu padas setinggi 20 – 30 cm dari muka air. Dilewatinya titian batu besar, dibukanya tutup padas lalu ia ciduk airnya. Ditutup, ia berbalik ke dekat kami lalu duduk. Sambil menawarkan ainya, ia minum. Seteguk dua teguk, sampai habis. Kenapa tak direbus dulu? Setelah ditanya, dia terbiasa minum air dari batu itu dan belum pernah sakit perut, begitu pengakuannya.
Kejadian itu sudah lama, saat saya di SD pada paruh akhir 1970-an. Waktu itu air di Tabanan belum terlalu tercemar. Air sungainya berdebit besar dan jernih. Air yang lumayan jernih itu disaring lagi dengan batu padas sehingga tambah jernih. Kenapa Ngurah Alit dan keluarganya tidak sakit perut? Ada dua kemungkinan. Yang pertama, perutnya sudah “kebal” atas serangan bakteri. Yang kedua, pada waktu itu air bakunya tidak mengandung bakteri patogen karena belum dicemari tinja atau limbah lainnya. Kalaupun ada yang membuang tinja di sungai ketika mandi, boleh jadi bakterinya mati akibat kondisi airnya yang bisa saja mengandung disinfektan alami.
Apakah semua daerah di Bali air bakunya sebersih itu? Tentu saja tidak. Di beberapa daerah pernah terjadi wabah, epidemi atau kejadian luar biasa (KLB) muntaber. Jika demikian, kenapa Ngurah Alit tidak sakit tetapi yang lainnya sakit, bahkan ada yang meninggal? Jika dianalisis, selain dua poin jawaban di atas, boleh jadi karena kualitas padasnya berbeda, pori-porinya lebih kecil. Bisa juga dipengaruhi oleh sinar matahari yang begitu terik tanpa penghalang sehingga mampu membasmi bakteri. Sinar ultraviolet yang panjang gelombangnya 260 – 265 nanometer (nm) memiliki daya basmi bakteri (germisida, biosida). (Data lain: 200 – 280 nm; 250 – 300 nm; 253,7 – 254 nm).
Jembeng ”asli”
Batu padas wadah air di atas disebut Jembeng (ada juga yang menyebutnya Jempeng). Banyak bentuknya, ada yang segiempat, lingkaran atau tak beraturan. Ada yang tunggal, ada juga yang kembar berderet. Bahannya beragam tetapi semuanya dari batu padas atau paras dalam bahasa Bali. Besar kecil dimensinya berlain-lainan bergantung pada besar kecilnya batu yang diperoleh dan kemudahan mengangkatnya sehingga beratnya pun berbeda-beda.
Umumnya berdiameter atau bersisi 40 cm. Tinggi lubangnya 50 – 60 cm agar sisa tinggi yang tak terendam (ambang bebas, freeboard, tinggi jagaan) minimal 20 cm di atas muka air. Ambang bebas itu sebagai pengaman agar air bakunya tidak melimpah ke dalam Jembeng ketika muka airnya naik akibat hujan di hulu sungai, selokan atau saluran irigasi (Subak). Dengan demikian, badannya yang tenggelam (wetted body) 30 – 40 cm. Variasi tebal dindingnya 15 – 20 cm, makin tebal makin aman karena filtrasinya kian efektif.
Operasinya sederhana. Tekanan air di dinding Jembeng akan meresapkan molekul air ke dalam pori-porinya lalu melewati dinding dan ditampung di baknya (mirip lesung). Mengacu pada hukum Pascal, tekanan di dasar atau di dinding bawah Jembeng lebih besar daripada di dinding atas. Kecepatan filtrasi di bawah lebih besar daripada di bagian atas. Dengan kata lain, kapasitas di bawah lebih besar daripada yang di atas. Akibatnya, dinding bawah lebih cepat tersumbat (clogging) daripada dinding atas. Tak seperti filter pasir cepat milik PDAM, filter Jembeng ini tidak memiliki fasilitas cuci-balik (backwashing) karena memang tak perlu.
Uniknya, nyaris tak ada biaya operasi-rawat yang dibutuhkan. Hanya tenaga yang perlu dikeluarkan pada waktu membersihkannya. Investasi awalnya cuma untuk membeli Jembeng atau membeli padas lalu menatahnya sendiri menjadi Jembeng. Di sini perlu tenaga dan waktu dalam pembuatannya. Hanya itu. Andaipun perlu dirawat, itu sebatas melepaskan lumpur dan daun yang menempel di sekitarnya. Kalau dasar kolamnya agak dalam, taruhlah Jembeng di atas batu atau bata penyangga yang renggang dasarnya agar bisa menyusupkan air menuju lantai Jembeng sekaligus memfilter airnya.
Namun demikian, kondisi air sekarang sudah tercemari limbah domestik dan pabrik. Kualitas filtrat pun menjadi lebih buruk. Sebagai pencegahan (preventif), didihkanlah filtratnya selama sepuluh menit agar mati bakteri patogennya. Lebih bagus lagi diberi kaporit, baik berupa bubuk maupun tablet. Perlakuan ini dapat mencegah munculnya penyakit menular lewat air (pemula) atau waterborne diseases. Tetapi tak perlu dilakukan jika airnya digunakan untuk mandi dan mencuci baju saja.
Jembeng Hasko
Karena kualitas air bakunya memburuk, perlu dibuat Jembeng yang sudah dimodifikasi. Sedikit saja modifikasinya, dengan menyediakan ruang adsorbsi (adsorption chamber). Material adsorbannya pun yang sudah lumrah di perdesaan dan sering digunakan untuk mencuci piring, yaitu abu sekam. Filter modifikasi ini disebut Jembeng Hasko. (Hasko adalah “pelesetan” dari kata husk dalam bahasa Inggris yang berarti sekam). Yang digunakan adalah abunya atau burnt husk.
Sebagai adsorban, abu sekam mampu menyerap zat berbahaya-beracun seperti pestisida. Bahkan kation-kation berbahaya seperti logam berat, juga besi dan mangan, kalsium dan magnesium penyebab kesadahan bisa diolahnya. Mudah caranya. Buatlah dua Jembeng, yang satu ukurannya lebih besar daripada yang lain. Jembeng besar ini disebut Jembeng Induk (JI). Dinding JI juga lebih tebal karena fungsi utamanya sebagai filter. Prosesnya betul-betul filtrasi atau mikrofiltrasi, bergantung pada ukuran pori-porinya.
Lalu isilah dasar JI dengan abu sekam setebal 5 – 10 cm. Masukkan Jembeng berdiameter lebih kecil, sebutlah Jembeng Anak (JA). Dinding JA tipis saja agar ringan dan mudah diangkat ketika abunya jenuh untuk diganti dengan abu baru. Tebal dinding JA bisa setengah atau kurang dari ketebalan dinding JI. Setelah JA ditaruh di atas abu sekam isilah seluruh ruang adsorbsi (ruang antara JI dan JA) dengan abu sekam. Tekan-tekan atau padatkan sedikit. Lapisan abu inilah yang akan menyerap pestisida dan logam berat. Tutupilah permukaan abu dengan sabut kelapa dan padas (atau padas granular) sebagai pengaman dari luapan air kotor atau terkotori oleh benda-benda di sekitarnya. Upayakan tinggi dindingnya 10 – 15 cm dari tinggi muka air maksimum (air banjir).
Dengan cara ini, jembeng tradisional berubah menjadi jembeng modern hanya dengan menggunakan bahan-bahan yang jamak ditemukan di perdesaan. Tak hanya ancaman diare, muntaber yang hilang tetapi juga ancaman keracunan zat berbahaya-beracun seperti pestisida dan logam berat. Air filtratnya pun tak hanya jernih tapi juga bersih, tak berbau, tak berasa, tak berwarna dan bahkan bisa sekualitas dengan air minum kemasan (amik) atau air minum kemasan ulang (amiku). Apalagi kalau intensitas paparan sinar mataharinya banyak otomatislah bakterinya terbasmi sehingga tak perlu kaporit.
Untungnya lagi, kontinyu 24 jam/hari produksinya dan debitnya berkorelasi linier terhadap luas dinding basahnya (wetted area). Untuk kebutuhan lebih besar, misalnya mikrokomunal (RT), masyarakat dan/atau PDAM bisa membuat Jembeng Hasko “raksasa” seukuran 2 x 2 m2, dipasang berderet-deret di tepi sungai atau waduk. Pompa perlu dipasang agar filtratnya mudah diambil. Siapkan juga tangki air (elevated tank) lalu distribusikan kepada pelanggan. Agar dipelihara, libatkan pelanggan dalam perawatannya, termasuk iuran untuk membayar rekening listriknya (kalau memakai pompa).
Demikianlah opsi solusi krisis air bersih di daerah yang kaya air keruh, kotor atau air payau sekalipun (pasang surut). Kalau teknologi sederhana tepat guna ini banyak diterapkan, maka PDAM dan pemerintah pun terbantu dalam hal raihan target MDGs. *
Bli, Kalo bisa tampilin gambar "Jembleng" nya donk. Biar kita bisa tau bentuk aslinya.
BalasHapusTengkyu.
Gusti Ngurah Agung.
Makasi yah ... Buat Infonya ...
BalasHapusSaya jadi bisa mengerjakan tugas tentang Jembeng .... ^^