Beberapa kali dia terdiam ketika diajak ngobrol dengan bahasa nasional. Dia bahkan meminta kemenakannya, Fatimah, memanggil salah seorang kerabatnya yang mengerti berbahasa Indonesia. Namun dia akhirnya bertutur lancar, setelah pertanyaan-pertanyaan disampaikan dengan menggunakan bahasa Bali. Beberapa saat kemudian, seorang sepupunya, Muhammad Safei, ikut nimbrung.
"Umat Muslim Soka sudah lebih dari seabad tinggal di desa ini dan sehari-harinya lebih banyak menggunakan bahasa Bali," tutur Abdul Rasyid yang dikenal dengan panggilan Wak Nahudin, dengan bahasa Bali halus. Lelaki agak jangkung itu adalah salah seorang dari tujuh kepala keluarga Muslim yang tinggal di Desa Soka. Yang lainnya juga masih kerabat dekatnya, yakni sebagai generasi ketiga dari Al Hamzah, seorang keturunan Bugis Bone yang hijrah ke Bali di masa penjajahan Belanda.
Belakangan datang dua keluarga Muslim dari tanah Jawa ke desa itu, namun mereka tinggal agak jauh, tidak mengelompok sebagaimana keluarga Abdul Rasyid. Desa Soka terletak di kaki sebelah selatan gunung Batukaru. Kendati lebih dekat dengan Kecamatan Penebel, namun secara administrasi pemerintahan, daerah itu masuk dalam wilayah Kecamatan Baturiti, se-kecamatan dengan kawasan obyek wisata Bedugul. Untuk mencapai desa yang terletak sekitar 25 kilometer sebelah utara kota Tabanan itu, diperlukan waktu sekitar 20 menit dengan kendaraan bermotor.
Kawasan ini tidak seterkenal desa-desa tetangganya. Sebagai penghasil sayur mayur, Soka tidak sekaya desa Utu dan Senganan, Kecamatan Penebel, yang terkenal dengan peternakan unggasnya. Sebagai penduduk yang secara turun temurun tinggal di Soka, Muslim Soka sangat adaptif dan berbaur dengan penduduk setempat. Beberapa orang dari mereka bahkan menikahi putri-putri Hindu dan diajak memeluk Islam.
Hubungan kekerabatan di sana sangat harmonis, satu sama lain saling menghormati. Mereka juga kerap saling membantu bila sesama mereka ada hajatan, seperti upacara perkawinan, atau gotong royong membangun fasilitas umum, termasuk tempat-tempat ibadah.
Secara sepintas sangat sulit membedakan Muslim Soka dengan umat Hindu yang menjadi mayoritas di sana. Selain bahasa sehari-hari yang menggunakan bahasa Bali, Muslim Soka juga mengadopsi sejumlah tata cara kehidupan sosial masyarakat Hindu, mulai tata busana, sampai kepada kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti ikut aktif di kegiatan subak dalam mengelola pertaniannya.
Bahkan dalam acara seremonial perkawinan, Muslim Soka juga ikut ngelawar, yakni membuat masakan khas Bali, namun bahannya menggunakan daging ayam. Oleh tuan rumah atau sohibul hajat, mereka dipercayakan untuk memasak sendiri lawar ayam itu di tempat pemilik acara, yang kemudian khusus disajikan kepada tamu-tamu yang beragama Islam.
Yang membedakan mereka hanya kegiatan ibadahnya saja. Umat Muslim bergegas badahnya. Umat Hindu sangat tertib menjalankan agamanya. Begitu pula Muslim Soka, segera bergegas menuju masjid kecil di pinggiran kampung tempat tinggal mereka begitu waktu shalat tiba. Mereka selalu duduk di masjid dari Maghrib hingga Isya, sambil mengisinya dengan bacaan-bacaan Al Quran. Begitu pula seusai menunaikan shalat subuh. Dari masjid kecil berukuran 10 x 10 meter itu berkumandang lantunan ayat-ayat suci Al Quran, yang ikut memberi warna sakral kehidupan masyarakat Soka.
Terpusat di Masjid Al Hamzah
Warga muslim Soka memiliki masjid kecil yang diberi nama Al Hamzah. Masjid ini didirikan sekitar 1978 atas bantuan dari seorang anggota polisi beragama Islam yang bertugas di sana. Ketika itu dirasakan sulit mencari tempat ibadah, yang kemudian diadakan rembukan dan disepakati mendirikan sebuah masjid di atas tanah yang diwakafkan oleh keluarga Abdul Rasyid. Kini masjid itu menjadi pusat kegiatan keagamaan di desa itu. Bahkan pada hari Jumat, jamaah shalat Jumat juga datang dari beberapa edsa tetangga.
Saat pembangunannya, umat Hindu di Soka tidak diam berpangku tangan. Mereka ikut serta membantu dan bergotong royong menyelesaikan bangunan, hingga masjid dapat dipergunakan. Kebersamaan antara umat yang berbeda keyakinan itu aku, Mohammad Safei, masih berlanjut sampai sekarang. "Kalau kami ada kesibukan memperbaiki masjid, biasanya umat Hindu juga datang membantu," kata Abdul Rasyid.
Muslim Soka terkesan sangat menghindarkan sikap agresif dalam melaksanakan tuntunan agama, sebaliknya dapat kooperatif dalam kegiatan sosial dan kemasyarakatan. Kehidupan muslim Soka yang terpencil, namun bisa diterima dan dapat beradaptasi dengan umat Hindu, merupakan salah satu contoh keakraban yang harus tetap dibina dan dipertahankan.
Menurut Ketua Pimpinan Cabang Al Irsyad Al Islamiyyah Kabupaten Tabanan, Novel Ali Baraas SE, kehidupan antar umat beragama yang guyub di Soka adalah khas Bali. Pihaknya aku Novel, sudah lama berkomunikasi dengan Muslim setempat, terutama untuk menjalin dan menjaga silaturrahmi dengan sesama Muslim.
Al Irsyad aku Novel, yang memiliki program pembinaan kepada umat melalui kegiatan dakwah, sangat berhati-hati masuk ke daerah seperti Soka. Ini dimaksudkan agar pembinaan yang diberikan benar-benar efektif dalam rangka mendorong kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, terutama dalam akidah, ibadah, dan pergaulan dalam bermasyarakat.
Karena itulah aku Novel, kendati diminta oleh tokoh-tokoh setempat untuk memberikan pembinaan dan ceramah-ceramah, pihaknya masih menahan diri, sambil mencari dan merumuskan dakwah macam apa yang diperlukan di sana. "Kita ingin dakwah kita efektif, tidak merusak tatanan yang sudah baik. Dengan diagnosa yang pas, resep yang diberikan tentu harus yang cocok pula, maka hasilnya pasti akan bagus," kata Novel.
Tulisan ini diambil dari berita di Pikiran Rakyat, tapi saya lupa kapan waktunya.
Tulisan ini diambil dari berita di Pikiran Rakyat, tapi saya lupa kapan waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar