Menyambut tahun akademik 2007/2008, Ikapi Jawa Barat menggelar pameran buku pada pekan pertama Agustus ini. Ada hal klasik pada setiap pameran buku, yaitu pertanyaan: adakah buku murah? Adakah buku-ajar (textbook) dan buku pelajaran sekolah yang murah di sana?
Membandingkan harga buku, perlu ditinjau dulu harganya di luar pameran. Membeli buku di toko biasanya tidak mendapat diskon. Kalaupun ada, hanya pada saat tertentu. Harga buku di toko besar sudah dibandrol di bawah barcode (zebralis). Zebralis ini biasanya ditaruh di sampul belakang buku, berdampingan dengan ISBN. Nomor buku menurut standar internasional ini dapat juga dijadikan kode harga yang secara elektronik bisa diketahui di komputer kasir.
Yang pasti, harga buku di toko berbeda dengan di bursa atau di pameran. Di bursa buku Palasari Bandung misalnya, harganya “miring”. Ada yang berdiskon 15%, 20%, ada juga yang 25%. Bahkan ada yang 30%. Persentasenya bergantung pada diskon yang diberikan penerbit atau distributornya. Ada malah yang berani memberikan diskon 50% dan tak jarang pula yang memberikan 55%. Memang, selain buku legal, ada juga buku-buku bajakan, yaitu buku yang sama dengan buku aslinya tetapi dicetak oleh “pencuri” hak cipta dan paten, yaitu penerbit yang tak peduli pada HaKI (hak atas kekayaan intelektual).
Merujuk pada diskon tersebut, ada pertanyaan, berapa laba penerbitnya? Berapa royalti untuk penulisnya? Jamak diketahui, harga buku berbeda dengan harga barang kelontong apalagi dengan harga sembilan kebutuhan pokok (sembako). Harga beras misalnya, tak bisa jauh berbeda dengan beras jenis lainnya. Per kilogram labanya kecil saja. Tak ada diskon besar-besaran pada sembako (kebutuhan primer), barang sekunder dan barang tersier lainnya. Lantas, di mana posisi buku?
Mayoritas orang Indonesia memosisikan buku sebagai kebutuhan kwarter. Di sinilah “ajaibnya”. Diskon di bursa dan pameran buku bisa luar biasa besar tetapi tak banyak yang tergerak untuk membeli buku, apalagi memborongnya. Yang juga “ajaib”, penerbitnya tetap mendapatkan laba dan penulisnya meraih royalti. Semakin banyak oplahnya makin besar pula laba dan royaltinya. Ini bisa terjadi karena ada komponen harga yang fixed dan yang variabel. Di sinilah tersembunyi kalkulasi laba-ruginya.
Komponen harga
Dalam perdagangan, harga jual dipengaruhi ongkos produksi. Apa saja komponen produksi sebuah buku? Yang pertama, harga kertas, tinta, lem, sampul, plastik, dan ongkos cetak. Ini disebut harga pokok produksi. Yang kedua, royalti penulis (pengarang) dengan kisaran 10 - 15 persen. Reratanya 12,5 persen. Penulis pemula biasanya diberi 10 persen, yang senior 15 persen. Yang ketiga, biaya profesional, berkaitan dengan editor, penterjemah, desainer, ilustrator, pemasaran, transportasi, bea ISBN, dan laba. Yang terakhir: pajak. Ada buku yang kena pajak, ada yang bebas pajak. Pajak pun dikenakan kepada penulis (pengarang).
Jumlah semua komponen di atas memunculkan harga sementara. Agar diperoleh harga fixed-nya perlu ditambah dengan komponen diskon untuk toko buku. Besarnya variatif: 40, 45, 50, atau 55 persen. Ada juga penerbit atau distributor yang mampu bernegosiasi dengan toko buku sehingga diskonnya hanya 35 persen. Ramuan ini lantas dijumlahkan dan diperoleh harga akhir sebuah buku. Harga inilah yang ditempelkan di sampul belakang buku. Biasanya 10 – 15 persen diberikan kepada pembeli atau untuk gaji penjaga toko dan biaya operasional toko buku.
Kalkulasi di atas agak rumit dan boleh jadi ada poin yang belum masuk. Agar mudah, cepat dan tepat, harga buku berasal dari hasil kali ongkos produksinya dengan empat atau lima. Inilah angka yang umum. Di luar keumuman itu ada buku yang dikalikan tujuh dari biaya produksinya. Pengalinya ini makin besar kalau bukunya terus dicetak ulang sampai pelat cetaknya aus dan harus dibuat lagi. Di sinilah laba penerbit berlipat-lipat syahdan diskonnya mencapai 70%.
Jelaslah, harga buku erat kaitannya dengan ongkos produksi, laba penerbit, pencetak, pabrik tinta, pabrik kertas, toko buku, dan royalti penulis (pengarang). Simpulnya, harga buku menjadi mahal kalau ongkos produksinya mahal, khususnya harga kertas. Di sinilah peran pemerintah agar berupaya menurunkan harga kertas kalau ingin orang Indonesia keranjingan membaca. Namun masalahnya, kertas berkaitan dengan pulp (bubur kertas) dan kayu (hutan). Makin banyak kertas berarti makin banyak pohon yang ditebang. Kecuali kalau digalakkan kertas berbahan baku jerami atau recycle kertas bekas, harga pun bisa ditekan.
Untuk menyiasati harga tersebut banyaklah yang menanti-nantikan pameran buku. Di pameran diskonnya setara dengan di bursa buku, bahkan bisa lebih tinggi 5 – 10 persen. Memang, untuk buku anyar, misalnya baru terbit sebulan sebelum pameran diskonnya relatif kecil atau sama dengan di bursa reguler. Yang lebih murah lagi, belilah buku di penerbitnya. Buku-buku berusia di atas lima tahun dapat diperoleh dengan diskon 70%. Apakah penerbitnya memperoleh laba dari diskon sebesar itu? Jawabnya, masih! Minimal balik modal bersih.
Andaikata masyarakat bermotto B3I (baca buku banyak ilmu) dan menjadikan buku sebagai kebutuhan primer, semahal apapun pasti dibelinya, minimal dibaca di perpustakaan, kalau ada di sana. Sebab, tak semua buku ada di perpustakaan daerah, apalagi di perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah kita dikenal miskin buku. Adakah Dinas Pendidikan yang peduli pada peremajaan buku di perpustakaan sekolah? Salah satu solusinya, belilah buku saat pameran sehingga bebas memilih judulnya tanpa diintai isu KKN dengan distributor dan penerbit. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar