Oleh Gede H. Cahyana
Valentinology ialah cabang baru ilmu humaniora yang berakar pada dua kata valentinus dan logos.
Logos, sudah jamak diketahui, berarti ilmu dan valentinus merujuk pada rahib kelahiran Roma bernama Valentin. Ada
juga yang meyakininya berasal dari nama seorang pendeta yang sebelum menjadi
martir menitipkan secarik surat untuk perempuannya dan bertuliskan From Your Valentine pada masa kaisar Claudius II. Ini terjadi
tahun 269/270 M. Versi lainnya, kalangan Prancis Normandia percaya bahwa kata
itu terkait dengan galentine, dari kata galant (cinta).
Beragamnya asal-usul Hari Valentin (HV)
membuktikan bahwa itu legenda belaka. Garis historisnya tak bisa dirunut sampai
ke perawi primernya. Terlepas dari kekacauan asal-usulnya itu, valentinologi
tetap bisa dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari seluk-beluk, ekspresi, dan
karakter budaya kasih sayang antarmanusia. Maknanya tak hanya internal suatu
agama, tapi juga lintas agama dan budaya lantaran kasih sayang bersifat
universal. Tentu saja kasih sayang ini di luar konteks birahi, meskipun
boleh-boleh saja kalau itu terjadi antara suami istri. Namun faktanya, makna
kasih sayang itu dipersempit oleh kalangan remaja sehingga seolah-olah
merekalah pemiliknya dan merayakannya secara negatif.
Bagaimana dengan orang tua, adakah yang
merayakannya? Ada! Biasanya sang suami memberikan hadiah berupa ikon-ikon HV
seperti boneka, cincin, gelang, kalung, bross, jepit rambut berbahan emas atau
bertahtakan berlian. Bungkus kadonya merah, pink atau coklat. Sebaliknya sang
istri menyampaikan peluk ciumnya. Masalahnya muncul jika hal serupa dilakoni
oleh kalangan pranikah. Justru kelompok inilah yang terbanyak dan ekspresif
merayakannya.
Redefinisi Valentine
Faktanya, perayaan HV kian luas. Tak hanya di
kota besar di Jawa, tapi juga merambah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,
Papua, Bali, dan Nusa Tenggara. Sebabnya hanya satu, lahan bisnis produk HV
seperti boneka, bantal, cincin, gelang, kalung, kartu, coklat dengan warna
merah atau pink kian besar. Meskipun harganya berlipat-lipat, tetap saja produk
valentis diburu. Bisnis adalah alasan utama kenapa HV takkan bisa lenyap dari
bumi, malah kian direspon. Pebisnis akan menempuh segala upaya demi kelarisan
produknya, baik lewat propaganda di koran, radio, televisi, ponsel, maupun internet.
Tak heran kelompok tersebut ikut masuk ke
dalam arus-induk (main stream) yang menyebarkan
jargon “kasih sayang” dalam makna syahwat. Segala upaya dikerahkan, termasuk lewat
publikasi dan gembar-gembor di televisi. Jika demikian, akankah pihak yang
kontra-HV berpangku tangan dan cuma teriak bahwa HV itu bid’ah, tak ada
contohnya dalam agama (Islam), dan tak sesuai dengan budaya Indonesia?
Apabila hanya ini yang dilakukan, dampak HV pasti meluas dan mendapat simpati
dari muda-mudi yang belum matang spiritualnya. Sebaliknya, pihak pengecam HV
malah dimusuhi, disebut kolot, tak tahu perkembangan zaman. Maukah da’i/da’iah, ustadz/dzah, dan penceramah dikata-katai seperti itu?
Jika tidak setuju, semestinya dicarikan
kompromi agar HV justru menjadi perayaan positif, minimal sebagai tandingan HV
konvensional selama ini. Kalangan kontra-HV mesti berupaya menunggangi HV
konvensional dengan HV modern, misalnya dengan cara “setuju” pada perayaan HV
yang dimodifikasi, diredefinisi. Nama Valentin tetap digunakan tetapi sekadar
masker agar tidak ditolak mentah-mentah oleh kawula muda pegiat HV
konvensional. Sebab, perubahan drastis di kalangan remaja biasanya tak disukai,
malah dijauhi sehingga tujuan mulia ini takkan tercapai.
Bagaimana solusinya? Tak jauh beda dengan HV konvensional.
Bedanya, HV “jenis baru” ini menjurus pada perilaku mulia, misalnya dengan
cara menolong kaum miskin dan jompo. Semua ikon dan produk HV konvensional
dimodifikasi menjadi ikon dan produk HV “baru”. Boleh saja tetap berboneka ria tetapi wujudnya boneka yang mengingatkan
kawula muda akan akhlak mulia. Gambar dan kartu juga diisi kalimat yang
mendekatkan diri kepada Allah, misalnya sitiran hadis atau Qur’an atau kata-kata mutiara. Makanan coklat masih bisa digunakan, tinggal diperkaya dengan makanan
jenis lain seperti beras, roti, mi instan, dll yang diberikan kepada fakir-miskin
dan jompo. Obat-obatan juga bisa diberikan.
Begitu pun kaset dan CD pendidikan, motivasi
dan kisah perjuangan orang sukses di bisnis dan pemimpin negara. Lagu-lagunya
juga lagu yang memotivasi untuk mandiri. Ujud kasih sayang itu pun bisa dimunculkan
lewat buku, buku apa saja yang penting bukan buku porno. Buku teks anatomi
kedokteran boleh-boleh saja karena itu bukanlah buku porno. Boleh juga buku
agama dan buku-buku bisnis. Pemberian buku ini akan meluaskan ilmu masyarakat
dan dampaknya positif. Pekan lalu saya menghadiri
undangan pernikahan dan diberi cindera mata berupa buku novel yang ditulis oleh
mempelai pria.
Mari modifikasi, redefinisi
HV agar menjadi kasih sayang positif, bukan sekadar cinta nafsu. Apalagi kasih sayang
rahman dan rahim adalah satu di antara basis ajaran Islam. Mudah-mudahan HV baru ini mampu mereduksi pola gaul seks bebas dan mereduksi atau bahkan meniadakan
HIV (Human Immunodeficiency Virus), virus AIDS.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar