• L3
  • Email :
  • Search :

20 September 2012

Reposisi Pengetahuan ke Pendidikan Lingkungan

Oleh Gede H. Cahyana


Nyaris lima tahun lewat Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup (Mulok PLH) dilaksanakan di sekolah-sekolah di Kota Bandung. Tujuan pelajaran ini, seperti tertulis pada Peraturan Walikota No. 031/2007 tentang Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup, adalah mendukung upaya perbaikan kualitas lingkungan Kota Bandung agar menjadi tertib, bersih, dan indah. Materi pokok yang diharapkan diserap dan diterapkan oleh murid (juga gurunya) meliputi konsep dasar lingkungan hidup, K3 (Ketertiban, Kebersihan, Keindahan), P4LH (Pembibitan, Penanaman, Pemeliharaan, dan Pengawasan Lingkungan Hidup), dan penerapan Iptek dalam mengelola lingkungan hidup.





Bagaimana pelaksanaannya di sekolah-sekolah? Dari hasil survey penulis dan tanya jawab dengan guru dan murid dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan PLH ini belum mengenai sasaran. Sebab, tidak semua sekolah atau tidak semua satuan pendidikan memberlakukan muatan lokal ini. Ada sekolah yang sudah mengajarkan PLH tetapi hanya terbatas sebagai sisipan dalam pelajaran biologi, sekadar tambahan dan tidak menjadi pelajaran inti. Karena bentuknya sisipan maka tentu saja tidak mendapat perhatian yang mendalam dari siswa maupun gurunya.

Apalagi karena ada kata “lokal” maka murid dan juga guru-gurunya menganggap tidak penting atau dianaktirikan. Pelajaran “lokal” ini seperti ada tapi tiada, sekadar aksesoris. Bahkan jelas-jelas ditulis di dalam kurikulumnya sebagai pelajaran yang bersatu dengan biologi dan ditulis di dalam kurung. Tidak salah memang, sebab lingkungan ini demikian luas dan bisa dimasuki dari banyak sudut pelajaran seperti biologi, kimia, IPA, geografi, dll. Tetapi sayang, tidak ada guru khusus yang mengampu pelajaran ini yang memberikan pengenalan konsep-konsep dasar teknologi lingkungan. Masalahnya sederhana, yaitu guru tidak (belum) tahu ilmunya lantaran bukan lulusan Teknik Lingkungan.

Atas dasar fakta tersebut, mulok ini hanyalah ditempatkan sebagai pelajaran proforma dan tidak diseriusi. Oleh sebab itu, Pemkot Bandung diharapkan mereposisi lagi mulok ini agar menempati posisinya sesuai dengan harapan DPRD Kota Bandung dan Pemkot Bandung sebagai institusi yang merilisnya. Pemkot Bandung hendaklah memberikan ilmu, wawasan, dan pengalaman kepada guru dalam memandang lingkungan dari segi rekayasa (engineering) sekaligus mengubah stereotipe guru dan murid dalam memandang lingkungan. Konsepnya dapat diadopsi dari Trilogi Pendidikan, yaitu sains (science), teknologi (technology), dan lingkungan (environment).

Di sinilah peran Pemkot Bandung dalam memfasilitasi para gurunya sehingga dapat mengantarkan murid-muridnya memperoleh pengalaman positif yang mendukung pelestarian fungsi lingkungan. Guru diberikan training, seminar, atau bentuk lainnya tentang pelajaran PLH dari sudut rekayasa. Fokus materinya berupa masalah lingkungan seperti air minum, air bersih, air kotor, sampah, udara, kesehatan lingkungan, dll yang terangkum dalam akronim watsan atau water and sanitation tanpa melupakan cabang ilmu lingkungan (ekologi, “anak” dari pelajaran biologi).

Untuk implementasinya, Pemkot Bandung dapat memberikan Training Pendidikan Lingkungan Hidup (TPLH) dalam upaya mewujudkan Ecoschool di setiap sekolah di bawah Dinas Pendidikan Kota Bandung. Titik berat PLH ini harus pada sisi afektif - psikomotorik sehingga murid tak hanya memiliki ilmu tetapi juga mampu mengubah perilakunya. Murid harus melihat bagaimana proses pencemaran air dan apa dampaknya bagi kesehatan. Melihat sampah, yang ada dalam benaknya ialah sumber daya baru yang bahkan mampu menghasilkan uang. Air limbah pun dijadikan potensi pupuk buatan atau didaur ulang menjadi air minum lagi. Pendeknya, PLH harus mendekatkan guru dan muridnya kepada lingkungan dan menjadi bagian dari solusi, bukan penimbul masalah.

Sekali lagi, materi PLH ini harus dibatasi agar tidak meluas menjadi persoalan biologi (dan harus dipisahkan dari pelajaran biologi) sehingga mengaburkan masalah lingkungan yang erat dengan kehidupan sehari-hari. Ada satu kalimat kunci, yaitu: PLH haruslah praktis dan aplikatif. Pada saat yang sama, pendidikan lingkungan selayaknya diberikan juga di tingkat perguruan tinggi, ditetapkan dengan peraturan pemerintah atau menteri. Sebab, apalah artinya himbauan peduli lingkungan, cinta lingkungan, tanam sejuta pohon, taruh sampah di tempatnya, waspadai penyakit menular lewat air dan makanan kalau karakter yang dibentuk oleh pendidikan lingkungan terputus di tengah jalan?

Perguruan Tinggi
Itulah sebabnya, MK Pengetahuan Lingkungan yang diselenggarakan oleh ITB sejak tahun 1970-an sebaiknya diubah namanya menjadi MK Pendidikan Lingkungan. Tak perlu ditambahi kata “Hidup”. Pendidikan lebih dalam dan luas cakupannya dibandingkan dengan pengetahuan. Mendidik berbeda dengan sekadar tahu. Mendidik setara dengan long life education yang terdiri atas learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be (The International Bureau of Education, UNESCO, The International Comission on Education for the 21st Century). Maka, bertentangan secara diametral kalau perguruan tinggi hanya fokus pada ucapan dalam merefleksikan kepedulian mereka terhadap kehidupan di Bumi ini. Idem ditto dengan pemerintah yang sekadar retorika dalam hal peduli lingkungan.

Pemerintah, misalkan lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hendaklah menjadikan Pendidikan Lingkungan sebagai MK yang setingkat dengan Pancasila dan Kewarganegaraan. Bisa kita lihat, betapa rusak kelakuan mayoritas aparat pemerintah di berbagai kementerian, dinas, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Padahal mereka sudah diberikan pelajaran atau MK agama, etika, Pancasila, PPKn. Itu pun sudah dilaksanakan di berbagai strata sekolah. Apatah lagi kalau mereka tidak diberikan MK Pendidikan Lingkungan, syahdan sejak di SD, SMP, SMA, SMK, MA, atau pesantren. Ketika di perguruan tinggi pun mereka tidak memperoleh MK Pendidikan Lingkungan, minimal 2 SKS. Lantas, seperti menggantang asaplah asa konservasi lingkungan atau dengan bahasa yang melangit disebut oleh pejabat negara ini sebagai pembangunan berkelanjutan, berwawasan lingkungan. Bah…, apa pula ini? Nonsense!

Tak usah muluk-muluk, sekadar fakta, kemarin, yaitu Rabu, 19 September 2012, hanya dengan hujan “agak deras” sedikit saja dan sebentar temponya, lalu lintas di banyak ruas jalan di Kota Bandung macet total. Sampah yang menyumbat selokan dan sewerage PDAM Kota Bandung menjadi sebabnya sehingga airnya luber ke jalan. Padahal, seperti ditulis di atas, Kota Bandung adalah pelopor dalam Pendidikan Lingkungan Hidup di SD, SMP, SMA, SMK, MA. Bisa diduga, bagaimana kondisi kota dan kabupaten yang belum memberlakukan PLH (lebih tepat PL) di sekolah-sekolah. Lebih amburadul, tentu saja.

Sebagai akhir catatan, marilah kita mulai mendidik murid dan mahasiswa kita agar tahu (to know), mau mengamalkan (to do), sehat sosial (to live together), dan menjadi manusia saleh (to be) seperti harapan Pancasila dan UUD 1945. Mari kita eksiskan MK Pendidikan Lingkungan di semua program studi di perguruan tinggi kita, baik PTN, PTS, PT agama, PT kedinasan, dll. Tanpa peraturan dan keputusan dari pemerintah, niscaya upaya ini akan layu di tengah masa dan dilupakan. Lantas, untuk apa semua slogan cinta dan peduli lingkungan itu? *

Materi Trilogi Pendidikan dll klik ini

Trilogi Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar