Oleh Gede H. Cahyana
Bagaimana pelaksanaannya di sekolah-sekolah? Dari
hasil survey penulis dan tanya jawab dengan guru dan murid dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan PLH ini belum mengenai sasaran. Sebab, tidak semua sekolah
atau tidak semua satuan pendidikan memberlakukan muatan lokal ini. Ada sekolah
yang sudah mengajarkan PLH tetapi hanya terbatas sebagai sisipan dalam pelajaran
biologi, sekadar tambahan dan tidak menjadi pelajaran inti. Karena bentuknya
sisipan maka tentu saja tidak mendapat perhatian yang mendalam dari siswa
maupun gurunya.
Apalagi karena ada kata “lokal” maka murid dan
juga guru-gurunya menganggap tidak penting atau dianaktirikan. Pelajaran “lokal”
ini seperti ada tapi tiada, sekadar aksesoris. Bahkan jelas-jelas ditulis di dalam
kurikulumnya sebagai pelajaran yang bersatu dengan biologi dan ditulis di dalam
kurung. Tidak salah memang, sebab lingkungan ini demikian luas dan bisa
dimasuki dari banyak sudut pelajaran seperti biologi, kimia, IPA, geografi,
dll. Tetapi sayang, tidak ada guru khusus yang mengampu pelajaran ini yang
memberikan pengenalan konsep-konsep dasar teknologi lingkungan. Masalahnya
sederhana, yaitu guru tidak (belum) tahu ilmunya lantaran bukan lulusan Teknik
Lingkungan.
Atas dasar fakta tersebut, mulok ini hanyalah ditempatkan
sebagai pelajaran proforma dan tidak diseriusi. Oleh sebab itu, Pemkot Bandung
diharapkan mereposisi lagi mulok ini agar menempati posisinya sesuai dengan
harapan DPRD Kota Bandung dan Pemkot Bandung sebagai institusi yang merilisnya.
Pemkot Bandung hendaklah memberikan ilmu, wawasan, dan pengalaman kepada guru
dalam memandang lingkungan dari segi rekayasa (engineering) sekaligus mengubah stereotipe guru dan murid dalam
memandang lingkungan. Konsepnya dapat diadopsi dari Trilogi Pendidikan, yaitu
sains (science), teknologi (technology), dan lingkungan (environment).
Di sinilah peran Pemkot Bandung dalam
memfasilitasi para gurunya sehingga dapat mengantarkan murid-muridnya
memperoleh pengalaman positif yang mendukung pelestarian fungsi lingkungan. Guru
diberikan training, seminar, atau bentuk lainnya tentang pelajaran PLH dari
sudut rekayasa. Fokus materinya berupa masalah lingkungan seperti air minum,
air bersih, air kotor, sampah, udara, kesehatan lingkungan, dll yang terangkum
dalam akronim watsan atau water and sanitation tanpa melupakan
cabang ilmu lingkungan (ekologi, “anak” dari pelajaran biologi).
Untuk implementasinya, Pemkot Bandung dapat
memberikan Training Pendidikan Lingkungan Hidup (TPLH) dalam upaya mewujudkan Ecoschool di setiap sekolah di bawah
Dinas Pendidikan Kota Bandung. Titik berat PLH ini harus pada sisi afektif -
psikomotorik sehingga murid tak hanya memiliki ilmu tetapi juga mampu mengubah
perilakunya. Murid harus melihat bagaimana proses pencemaran air dan apa
dampaknya bagi kesehatan. Melihat sampah, yang ada dalam benaknya ialah sumber
daya baru yang bahkan mampu menghasilkan uang. Air limbah pun dijadikan potensi
pupuk buatan atau didaur ulang menjadi air minum lagi. Pendeknya, PLH harus
mendekatkan guru dan muridnya kepada lingkungan dan menjadi bagian dari solusi,
bukan penimbul masalah.
Sekali lagi, materi PLH ini harus dibatasi agar
tidak meluas menjadi persoalan biologi (dan harus dipisahkan dari pelajaran
biologi) sehingga mengaburkan masalah lingkungan yang erat dengan kehidupan
sehari-hari. Ada satu kalimat kunci, yaitu: PLH haruslah praktis dan aplikatif.
Pada saat yang sama, pendidikan lingkungan selayaknya diberikan juga di
tingkat perguruan tinggi, ditetapkan dengan peraturan pemerintah atau menteri.
Sebab, apalah artinya himbauan peduli lingkungan, cinta lingkungan, tanam
sejuta pohon, taruh sampah di tempatnya, waspadai penyakit menular lewat air
dan makanan kalau karakter yang dibentuk oleh pendidikan lingkungan terputus di
tengah jalan?
Perguruan Tinggi
Itulah sebabnya,
MK Pengetahuan Lingkungan yang diselenggarakan oleh ITB sejak tahun 1970-an
sebaiknya diubah namanya menjadi MK Pendidikan Lingkungan. Tak perlu ditambahi
kata “Hidup”. Pendidikan lebih dalam dan luas cakupannya dibandingkan dengan pengetahuan.
Mendidik berbeda dengan sekadar tahu. Mendidik setara dengan long life education yang terdiri atas learning to know, learning to do, learning
to live together, dan learning to be
(The International Bureau of Education, UNESCO, The International
Comission on Education for the 21st Century). Maka, bertentangan secara diametral kalau
perguruan tinggi hanya fokus pada ucapan dalam merefleksikan kepedulian mereka
terhadap kehidupan di Bumi ini. Idem
ditto dengan pemerintah yang sekadar retorika dalam hal peduli lingkungan.
Pemerintah, misalkan lewat Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, hendaklah menjadikan Pendidikan Lingkungan sebagai MK yang
setingkat dengan Pancasila dan Kewarganegaraan. Bisa kita lihat, betapa rusak kelakuan
mayoritas aparat pemerintah di berbagai kementerian, dinas, legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Padahal mereka sudah diberikan pelajaran atau MK
agama, etika, Pancasila, PPKn. Itu pun sudah dilaksanakan di berbagai strata sekolah.
Apatah lagi kalau mereka tidak diberikan MK Pendidikan Lingkungan, syahdan
sejak di SD, SMP, SMA, SMK, MA, atau pesantren. Ketika di perguruan tinggi pun
mereka tidak memperoleh MK Pendidikan Lingkungan, minimal 2 SKS. Lantas,
seperti menggantang asaplah asa konservasi lingkungan atau dengan bahasa yang
melangit disebut oleh pejabat negara ini sebagai pembangunan berkelanjutan,
berwawasan lingkungan. Bah…, apa pula ini? Nonsense!
Tak usah
muluk-muluk, sekadar fakta, kemarin, yaitu Rabu, 19 September 2012, hanya
dengan hujan “agak deras” sedikit saja dan sebentar temponya, lalu lintas di banyak ruas jalan
di Kota Bandung macet total. Sampah yang menyumbat selokan dan sewerage PDAM Kota Bandung menjadi
sebabnya sehingga airnya luber ke jalan. Padahal, seperti ditulis di atas, Kota
Bandung adalah pelopor dalam Pendidikan Lingkungan Hidup di SD, SMP, SMA, SMK,
MA. Bisa diduga, bagaimana kondisi kota dan kabupaten yang belum memberlakukan
PLH (lebih tepat PL) di sekolah-sekolah. Lebih amburadul, tentu saja.
Sebagai akhir
catatan, marilah kita mulai mendidik murid dan mahasiswa kita agar tahu (to know), mau mengamalkan (to do), sehat sosial (to live together), dan menjadi manusia saleh
(to be) seperti harapan Pancasila dan
UUD 1945. Mari kita eksiskan MK Pendidikan Lingkungan di semua program studi di
perguruan tinggi kita, baik PTN, PTS, PT agama, PT kedinasan, dll. Tanpa peraturan dan keputusan dari pemerintah, niscaya
upaya ini akan layu di tengah masa dan dilupakan. Lantas, untuk apa semua
slogan cinta dan peduli lingkungan itu? *
Materi Trilogi Pendidikan dll klik ini
Materi Trilogi Pendidikan dll klik ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar