Oleh Gede H. Cahyana
Masuk paruh
kedua September 2012, Bandung sudah betul-betul kering. Siang hari, udara panas
sekali. Langit menyapu biru dengan awan putih mengapas di sana-sini. Matahari terik
menikam Bumi. Panas! Gemeente van
Bandoeng yang dibentuk tahun 1906 ini pun disinyalir makin “cekung” dan
“mendung”. Penyebabnya adalah untaian masalah pada agenda ekonomi, sosial dan
lingkungan seperti eksploitasi air tanah, penyediaan air bersih, sistem koleksi
dan pembuangan sampah, peningkatan polusi udara, zonasi industri dan pemukiman
(kumuh), penyaluran air kotor dan drainase kota.
Kota
yang dulu berjuluk Bunganya Kota-kota Pegunungan di Nusantara ini memiliki
daerah padat dan kumuh (slum area) di
antaranya Cicadas. Buruknya fasilitas sanitasi kota mojang Priangan ini
diindikasikan oleh lingkup distribusi air minumnya yang masih rendah - sedang
(kurang dari 60%). Padahal salah satu penentu status sebuah kota adalah tingkat
layanan air minumnya. Begitu pun masalah sampah (seperti longsor TPA Leuwigajah
dengan 150-an orang tewas), sistem koleksi dan tempat penampungan sementaranya
tak terurus di sudut-sudut jalan.
Hal
senada terjadi juga pada riol-riolnya yang dibangun oleh BUDP (Bandung Urban Development Project) pada
era 1980-an. Tak optimal kerjanya. Peningkatan layanan penyaluran air limbah di
sekitar pipa induk dan cabang belum luas. Dampaknya, banyak ruas pipanya tetap
“kering” karena tak ada air limbah yang masuk tapi justru terisi dan tersumbat
sampah. Celakanya lagi, riol itu telah berfungsi sebagai bioreaktor anaerob
sehingga muncul bau busuk.
Makin Cekung
Dengan
elevasi di atas 650 m dari muka laut, dikelilingi gunung dan curah hujannya
tinggi, secara teoretis cekungan Bandung takkan punya masalah air minum.
Artinya, kebutuhan domestik dan komersialnya tercukupi oleh air tanah dan air
permukaan. Diduga, potensi air tanah cekungan Bandung sekitar 1.400
liter/detik. Namun, jika eksploitasi berlebihan atas air tanah itu terus
berlangsung, ancaman krisis air makin serius dan di beberapa tempat terjadi
ambles (land subsidence) sehingga
tanah makin cekung.
Saat
ini kapasitas pemompaan air tanahnya sangat kritis. Air hujan yang jatuh di
gunung perlu puluhan tahun untuk mengisi cekungan Bandung, karena kecepatannya
sangat kecil, kurang dari 2 m/tahun. Itu pun kalau air hujannya tak langsung
melimpas ke sungai menuju laut. Jika daerah tangkapan dan resapannya sangat
sedikit, selain ancaman banjir juga bisa terjadi penurunan paras air tanah. Ini
sudah terjadi di beberapa daerah seperti Batujajar, Cimindi, Buahbatu, Ujung
Berung, Soreang, Majalaya, dan lain-lain dengan variasi penurunan 0,5 - 12
meter per tahun.
Mengingat
pencekungan paras air tanah itu, maka harus ada penatalaksanaan dan
diversifikasi sumber air. Pada tahap perencanaan, asumsi yang diambil oleh
konsultan air bersih untuk kebutuhan air bersih orang kota agar bisa hidup
higienis adalah 150 - 200 liter/orang/hari. Adapun orang desa 60
liter/orang/hari yang disuplai dari hidran umum. Namun pembagian itu sifatnya
tidaklah exactly karena proyeksi
kebutuhan air sudah makin kompleks. Di Parisj van Java ini (ini julukan seabad
lalu, sebab sekarang sudah tidak demikian lagi), lebih dari 60% kebutuhan air
masyarakatnya diambil dari air tanah. Sisanya diladeni oleh PDAM. Mestinya
angka tersebut secepatnya dibalik.
Layanan
PDAM untuk domestik, komersial dan industri diperluas dan pada saat yang sama
sumber air baku PDAM jangan lagi dari air tanah dalam! Orientasinya harus pada
pemanfaatan air permukaan (sungai, waduk) karena akan menguntungkan dalam
jangka panjang. Selain itu, teknologi pengolahan air permukaan yang dapat
diadopsi untuk menanggulangi pencemar telah berkembang pesat. Sampai sekarang,
air permukaan dianggap tak ekonomis untuk sumber air baku, terutama dari sudut
kualitas. Namun tetap harus berpikir ke depan bahwa potensi terbesar air minum
adalah dari air permukaan dengan aplikasi teknologi yang tepat. Jika hal
tersebut tak diindahkan, Bandung akan betul-betul makin cekung yang dampaknya
tentu pada struktur bangunan khususnya bangunan tinggi dan jalan raya (tol).
Makin “Mendung”
Relokasi
dan zonasi industri harus diarahkan pada lokasi tertentu saja. Dengan kata yang
strict, Bandung tak layak untuk kota
industri tapi sebagai kota pendidikan dan pariwisata. Dulu memang ada ide
pemerintah Belanda ingin menjadikan Bandung sebagai pusat gemeente menggantikan Jakarta (oleh Bandoeng Actie 1920, Harry Kunto). Namun, untung ide
men-Jakarta-kan kota Kembang itu batal. Sebab, kalau jadi, betapa hancurnya
kondisi kota pegunungan ini akibat berubah menjadi metropolis.
Sirkulasi
udara di cekungan Bandung menjadi sulit karena pegunungan yang ada menghambat
arus udara dari luar menuju Bandung dan sebaliknya. Inilah sisi negatif
pegunungan di Bandung, selain bahaya letusan dan gas serta logam-logam berat
yang dihasilkannya. Tingkat polusi udara di Bandung saat ini sudah
mengkhawatirkan. Inilah yang membuat langit Bandung makin “mendung”, walaupun
tak semendung saat letusan G. Galunggung tahun 1982/1983. Kadar partikulat jauh
melebihi ambang batas 260 mikrogram/m3. Selain debu (partikulat), pencemar yang
lain adalah gas CO, CO2, NOx, SOx, H2S dan hidrokarbon dari kendaraan bermotor,
industri dan gunung. Dampaknya meliputi kesehatan manusia, pertanian, properti
dan kehidupan air.
Oh... Bandung
nestapa ekologis
membusa rangka ringkihmu
Usia rentamu 202
pada 25 September 2012 ini
Bandung,
Dikau melati di sisi sunyi
Semburat harummu
Tak jua membahana jiwa
Bergeming seribu basa
(Sebagai warga Bandung, aku tetap cinta kota ini.
Selamat HUT ke-202 Kota Bandung, semoga tetap ramah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar