Oleh Gede H.
Cahyana
Kunci solusinya hanya satu, yaitu
disiplin. Terapan kedisiplinan guru dan siswanya pasti lembek kalau terjadi
perkelahian antara siswa di dalam sekolah, juga antara siswa yang beda sekolah.
Proses belajar mengajar pun dipastikan tidak menyenangkan,
apapun sebabnya, sehingga murid membuat pelampiasan di luar jam belajar atau di luar sekolah. Sebelum letusan perkelahian terjadi, selalu saja diawali oleh sumbatan komunikasi antara guru dan murid. Sebabnya adalah ketakjelasan dalam pembelajaran, kemunafikan dalam pembelajaran dan fakta di lapangan dan di media massa yang berbeda dengan harapan, etika, dan petuah agama yang diperolehnya di sekolah.
apapun sebabnya, sehingga murid membuat pelampiasan di luar jam belajar atau di luar sekolah. Sebelum letusan perkelahian terjadi, selalu saja diawali oleh sumbatan komunikasi antara guru dan murid. Sebabnya adalah ketakjelasan dalam pembelajaran, kemunafikan dalam pembelajaran dan fakta di lapangan dan di media massa yang berbeda dengan harapan, etika, dan petuah agama yang diperolehnya di sekolah.
Terang benderang di mata kita, moral,
etika, akhlak atau apapun namanya, sangat minimum dalam pendidikan kita. Bahkan
guru pun dalam kondisi yang tak jauh beda dalam hal budi pekerti dan perilaku
dalam ujian. Ada kepala sekolah dan guru yang sengaja memberikan jawaban ujian
kepada murid-muridnya, ada guru yang “manipulatif” dalam proses Uji Kompetensi
dan PLPG untuk memperoleh sertifikasi. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Tapi, tentu saja, banyak juga guru yang
jujur, yang kuat komitmennya pada pengajaran dan pendidikan. Ini terjadi karena
guru yang bersangkutan telah ditanami kemuliaan dalam belajar dan mengajar
ketika mereka menjadi murid dan tulus dalam pengabdiannya sebagai guru
berapapun gajinya.
Faktanya, pembelajaran yang terjadi di
sekolah semata-mata pengajaran, tipis sekali porsi pendidikannya. Lebih banyak
mengolah kemampuan otak kiri dengan berbagai pelajaran yang berisi rumus,
aksioma, postulat dan hukum fisika, kimia, matematika, akuntansi, anatomi, dll.
Sepulang sekolah, mereka pun masih berkutat dengan pelajaran yang sama di
tempat les (bimbingan belajar) dan terjadi lagi ketika belajar malam di rumah.
Ini pun bertarik-ulur dengan acara hura-hura, hedonis, sinetron picisan di televisi yang justru sangat
disukai oleh orangtua, kakak dan adik serta pembantunya di rumah. Andaipun,
sekali lagi, andai kata mereka bangun pagi untuk belajar, maka yang
dipelajarinya pun adalah materi ulangan dari pelajaran-pelajaran di atas.
Wajarlah mereka gersang dari nilai-nilai moral. Buta pada etika, budi pekerti
sebagai manusia yang hidup bermasyarakat. Malah tetangga pun dijadikan musuh
nomor wahid kalau berbeda pendapat dan berseberangan dengan pendapat grup dan gank-nya.
Ada satu opsi atau tawaran solusi
untuk mengurangi tawuran pelajar atau bahkan meniadakan tawuran lagi, yaitu
dengan pemberlakuan hukuman secara adil. Mustahil, dengan alasan HAM misalnya,
pendidikan tanpa hukuman. Harus ada hukuman! Siapapun yang bersalah, syahdan ia
adalah anak kepala sekolah, maka ia harus dihukum maksimum sesuai dengan
peraturan tertulis yang diberlakukan. Tentu saja hukuman ini
bertingkat-tingkat, bergantung pada jenis kesalahannya. Yang ringan tentu
dihukum ringan yang sifatnya mendidik. Misal, murid yang telat lima menit masuk
ke kelas, dihukum dengan berdiri lima belas menit menghafalkan pelajaran
tertentu atau menulis artikel, atau menyanyi, dll. Kalau terlambat
berturut-turut tiga kali, misalnya, dapat dihukum dengan yang lebih berat lagi, termasuk hukuman
fisik berupa lari, push-up, ngosek WC, nyapu, nyangkul kebun sekolah, dll dalam
batas-batas wajar dengan memperhatikan kondisi fisik murid.
Tentu ada kesalahan yang fatal,
seperti mencuri, berkelahi, pengeroyokan, dan menyontek. Sekali lagi, menyontek
atau nyontek termasuk kategori
kesalahan fatal. Apalagi hamil, menghamili, dan free-sex yang dapat dibuktikan (ada buktinya), maka pecat adalah
solusinya. Boleh jadi kasusnya masuk ke kepolisian untuk disidik lebih lanjut. Namun,
sebelum aturan dan hukuman itu diterapkan, sejak awal, yaitu sejak siswa masuk
di kelas satu harus sudah dimaklumkan tentang hukuman maksimum yang akan mereka
terima kalau melanggar dan melakukan kesalahan berkategori fatal seperti di
atas. Tegaskan juga kepada orang tua atau walinya bahwa hukumannya adalah dipecat atau dikeluarkan dari sekolah
dengan tidak hormat. Sekalipun ia adalah anak Kadisdik, anak bupati, anak
menteri, cucu presiden, maka hukuman itu harus diterapkan demi kepentingan yang
lebih besar, yaitu keberlangsungan pendidikan di sekolah yang bersangkutan.
Yakinlah, hukuman pecat bagi siswa yang
tawuran, setelah disidik dan dibawa ke “pengadilan” sekolah, adalah solusi
ampuh untuk mengawali keamanan sekolah dan mengurangi tawuran. Tanpa disiplin
dan eksekusi hukuman bagi yang bersalah, hanya menggantang asaplah usaha
penanggulangan tawuran murid. Parahnya lagi, akan makin banyak murid yang melanggar aturan karena tahu bahwa hukumannya pasti ringan-ringan saja. Tegas. Tegaslah terhadap murid dan guru, kepala
sekolah dan Kadisdik. “You are fired!”
teriak Donald Trump. Stick and carrot,
reward and punishment. Inilah opsi solusinya. *
http://suciptoardi.wordpress.com/2012/10/03/solusi-cepat-dan-tepat-hentikan-tawuran-pelajar-di-jakarta/
BalasHapustapi biasanya ada dukungan dari guru, jadi siswa tidak takut lagi dengan hukum ....
BalasHapus