• L3
  • Email :
  • Search :

21 September 2014

Jokowi Boleh Bohong, Asalkan …

Jokowi Boleh Bohong, Asalkan …
Oleh Gede H. Cahyana


Janji memang melenakan. Meninabobokan. Membuai. Apalagi kalau dibungkus dengan kertas kado yang menawan, warna pelangi (rainbow cake) bercampur nuansa pink, memesona bangetzz. Balutan luar itu sungguh membentengi isi (daleman, jeroan) yang sejatinya. Cantik. Namun kerapkali terjadi, antara janji (das sollen) dan faktanya (das sein) tidak sesuai. Tentu ada sebab-musababnya. Kalau sudah berupaya keras dan tampak nyata upaya itu, misalnya bisa dilihat, bisa dirasakan, dan bisa dievaluasi, maka itulah takdir. Sebuah ketetapan Sang Khalik yang mesti terjadi dan mesti diimani.

Takdir tersebut akan “dilawan” lagi dengan upaya lain agar janji tersebut bisa tercapai. Ada usaha. Ada kemauan, kemampuan, semangat, dan kesempatan untuk terwujud. Jiwa pemimpin haruslah kuat, jiwa laki sepatutnya fit, seperti kata iklan di tivi. Ini serupa dengan peneliti (researcher). Peneliti boleh salah berkali-kali, boleh mencoba lagi risetnya, boleh mengeluarkan hipotesis baru, boleh membongkar total alat-alat dan metodologinya. Malah sangat dianjurkan untuk meneliti berkali-kali demi ujian dan kepastian kebenaran sebuah asumsi atau hipotesis. Peneliti, ia ada di hati, menciptakan teknologi baru, menguak ilmu yang terpendam. Ponsel, kapasitas flashdisk, power bank, LCD TV, kamera, kacamata, bahkan bedah plastik agar makin cantik pun berkembang lantaran salah, salah lagi dan salah lagi. Inilah peneliti. Ia boleh salah. Bahkan berkali-kali.

Pertanyaannya kini, bagaimana dengan pemimpin atau pejabat atau presiden? Persis seperti peneliti, presiden pun boleh salah berkali-kali. Namun, jangan kelamaan salahnya, ntar habis waktu dan tiba-tiba periode menjabat sudah habis. Tetap upayakan untuk mewujudkan cita-cita, eksistensikan janji, ejawantahkan program kerja. Jika tidak demikian, kecewa melipat kuat di hati rakyat, khususnya yang memilihnya menjadi pejabat atau presiden. Yang bagus tentu saja, tidak pernah salah. Kalaupun salah, hanya sekali saja. Artinya, presiden haram terperosok di lubang yang sama dua kali, apalagi acapkali. Salah dan sengaja salah juga berbeda. Bohong alamiah dan bohong yang di-setting juga beda. Serupa dengan membunuh yang tak disengaja karena membela diri dari kejahatan bromocorah, residivis pasti beda dengan sengaja dan dengan rencana matang membunuh orang, kecuali dalam perang.  

Kembali ke perihal Jokowi. Saat ini, begitu luas protes terhadap presiden terpilih, Jokowi lantaran ia khianati janji-janji saat kampanye. Jokowi berbohong mungkin lantaran beberapa sebab. Misalnya, tertekan atau ditekan kalangan yang lebih tinggi jabatannya di partai, ingin menghindari masalah pada masa pemerintahannya nanti, dan citra diri. Dari tanggapan di media sosial dan media cetak, kebiasaan berbohong di Indonesia ini dapat dimaklumi. Bohong ternyata bisa diterima oleh masyarakat secara umum asalkan tidak menyakiti hati orang lain. Barangkali hati pemilih Jokowi dan Jusuf Kalla itu tidak kecewa-kecewa amat, atau bahkan tetap senang saja karena calonnya sudah menang. Apapun yang terjadi, mereka tidak ambil pusing. Mereka tetap ke sawah, tetap melaut mencari ikan, tetap ke kantor, tetap rapat, tetap mabuk, tetap narkoba, tetap selingkuh, tetap menjadi pegawai, tetap menipu, tetap berbohong dan berbohong lagi. Mental bohong sudah mendarah daging, menjadi kebiasaan, menjadi karakter. Secara refleks, akan tetap berbohong apabila tertekan, tersudut. 

Sejatinya ada bohong yang boleh. Presiden terpilih Jokowi boleh berbohong asalkan untuk merukunkan pemilihnya yang sedang konflik. Boleh bohong agar istrinya menjadi senang - bahagia, lantaran masakannya terlalu asin, berbohong kepada musuh yang akan memerdekakan suatu provinsi di Indonesia. Siapa musuh itu? Tentu bukan lawan politik, juga bukan rakyat Indonesia. Mereka itu saudara sebangsa bagi Jokowi dan PDIP serta partai di koalisi rampingnya, mereka haram dibohongi (mudah-mudan tetap ramping, jangan nambah lagi, nanti jadi gemuk, dan ini berarti “bohong lagi”). Musuh itu adalah negara atau lembaga lain yang obok-obok kita, NKRI kita, para lintah darat terhadap tambang kita, sumber daya alam kita. Pasal 33 UUD 1945 itu lho. Perongrong kekayaan negara kita itulah musuh yang harus dibunuh. Minimal dilawan, dinegosiasi ulang, diupayakan sekuat tenaga agar mayoritas menjadi income untuk kita. Begitu Pak Jokowi.

Kesimpulannya, boleh bohong asalkan untuk tiga hal di atas. Selain itu tidak boleh. Apabila dilakukan, maka namanya orang munafik. Munafik itu membahayakan masyarakat dan membahayakan keselamatan dan kelanggengan NKRI. Ini saya kutipkan pendapat Yudi Latief (dikutip dari buku Prof. Pupuh Fathurrohman, 2013): Pemimpin yang membohongi rakyatnya akan terlihat seperti kebenaran. Kelambanan terkesan kehati-hatian. Ketidakseriusan terkesan kesabaran. Ketidakmampuan terkesan ketergangguan. Penghormatan terkesan sebagai korban. Inilah yang disebut pencitraan. Artifisial. Tiruan. Bukan ori tapi KW2. Seolah-olah! Mudah-mudahan tidak demikian, dan tetap berharap usulan kartu-kartu itu mewujud, seperti diuraikan di Narasi Presiden Kartu. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar