Jokowi Boleh Bohong, Asalkan …
Oleh Gede H. Cahyana
Janji memang melenakan.
Meninabobokan. Membuai. Apalagi kalau dibungkus dengan kertas kado yang
menawan, warna pelangi (rainbow cake)
bercampur nuansa pink, memesona bangetzz. Balutan luar itu sungguh
membentengi isi (daleman, jeroan) yang sejatinya. Cantik. Namun
kerapkali terjadi, antara janji (das
sollen) dan faktanya (das sein)
tidak sesuai. Tentu ada sebab-musababnya. Kalau sudah berupaya keras dan tampak
nyata upaya itu, misalnya bisa dilihat, bisa dirasakan, dan bisa dievaluasi,
maka itulah takdir. Sebuah ketetapan Sang Khalik yang mesti terjadi dan mesti
diimani.
Takdir tersebut akan “dilawan” lagi
dengan upaya lain agar janji tersebut bisa tercapai. Ada usaha. Ada kemauan,
kemampuan, semangat, dan kesempatan untuk terwujud. Jiwa pemimpin haruslah
kuat, jiwa laki sepatutnya fit, seperti kata iklan di tivi. Ini serupa dengan
peneliti (researcher). Peneliti boleh
salah berkali-kali, boleh mencoba lagi risetnya, boleh mengeluarkan hipotesis
baru, boleh membongkar total alat-alat dan metodologinya. Malah sangat
dianjurkan untuk meneliti berkali-kali demi ujian dan kepastian kebenaran
sebuah asumsi atau hipotesis. Peneliti, ia ada di hati, menciptakan teknologi
baru, menguak ilmu yang terpendam. Ponsel, kapasitas flashdisk, power bank, LCD
TV, kamera, kacamata, bahkan bedah plastik agar makin cantik pun berkembang lantaran
salah, salah lagi dan salah lagi. Inilah peneliti. Ia boleh salah. Bahkan
berkali-kali.
Pertanyaannya kini, bagaimana dengan
pemimpin atau pejabat atau presiden? Persis seperti peneliti, presiden pun
boleh salah berkali-kali. Namun, jangan kelamaan salahnya, ntar habis waktu dan tiba-tiba periode menjabat sudah habis. Tetap
upayakan untuk mewujudkan cita-cita, eksistensikan janji, ejawantahkan program
kerja. Jika tidak demikian, kecewa melipat kuat di hati rakyat, khususnya yang
memilihnya menjadi pejabat atau presiden. Yang bagus tentu saja, tidak pernah salah. Kalaupun salah, hanya sekali saja. Artinya, presiden haram terperosok di lubang yang sama dua kali, apalagi acapkali. Salah dan sengaja salah juga berbeda. Bohong alamiah dan bohong yang di-setting juga beda. Serupa dengan membunuh yang tak disengaja karena membela diri dari kejahatan bromocorah, residivis pasti beda dengan sengaja dan dengan rencana matang membunuh orang, kecuali dalam perang.
Kembali ke perihal Jokowi. Saat ini, begitu luas protes
terhadap presiden terpilih, Jokowi
lantaran ia khianati janji-janji saat kampanye. Jokowi berbohong mungkin
lantaran beberapa sebab. Misalnya, tertekan atau ditekan kalangan yang lebih tinggi
jabatannya di partai, ingin menghindari masalah pada masa pemerintahannya
nanti, dan citra diri. Dari tanggapan di media sosial dan media cetak, kebiasaan
berbohong di Indonesia ini dapat dimaklumi. Bohong ternyata bisa diterima oleh
masyarakat secara umum asalkan tidak menyakiti hati orang lain. Barangkali hati
pemilih Jokowi dan Jusuf Kalla itu tidak kecewa-kecewa amat, atau bahkan tetap
senang saja karena calonnya sudah menang. Apapun yang terjadi, mereka tidak
ambil pusing. Mereka tetap ke sawah, tetap melaut mencari ikan, tetap ke
kantor, tetap rapat, tetap mabuk, tetap narkoba, tetap selingkuh, tetap menjadi
pegawai, tetap menipu, tetap berbohong dan berbohong lagi. Mental bohong sudah
mendarah daging, menjadi kebiasaan, menjadi karakter. Secara refleks, akan
tetap berbohong apabila tertekan, tersudut.
Sejatinya ada bohong yang boleh.
Presiden terpilih Jokowi boleh berbohong asalkan untuk merukunkan pemilihnya
yang sedang konflik. Boleh bohong agar istrinya menjadi senang - bahagia, lantaran masakannya terlalu asin, berbohong kepada musuh yang akan memerdekakan suatu provinsi di Indonesia. Siapa
musuh itu? Tentu bukan lawan politik, juga bukan rakyat Indonesia. Mereka itu
saudara sebangsa bagi Jokowi dan PDIP serta partai di koalisi rampingnya, mereka
haram dibohongi (mudah-mudan tetap ramping, jangan nambah lagi, nanti jadi
gemuk, dan ini berarti “bohong lagi”). Musuh itu adalah negara atau lembaga lain
yang obok-obok kita, NKRI kita, para lintah darat terhadap tambang kita, sumber
daya alam kita. Pasal 33 UUD 1945 itu lho. Perongrong kekayaan negara kita itulah
musuh yang harus dibunuh. Minimal dilawan, dinegosiasi ulang, diupayakan sekuat
tenaga agar mayoritas menjadi income untuk kita. Begitu Pak Jokowi.
Kesimpulannya, boleh bohong asalkan
untuk tiga hal di atas. Selain itu tidak boleh. Apabila dilakukan, maka namanya
orang munafik. Munafik itu membahayakan masyarakat dan membahayakan keselamatan
dan kelanggengan NKRI. Ini saya kutipkan pendapat Yudi Latief (dikutip dari buku Prof. Pupuh Fathurrohman, 2013): Pemimpin yang
membohongi rakyatnya akan terlihat seperti kebenaran. Kelambanan terkesan
kehati-hatian. Ketidakseriusan terkesan kesabaran. Ketidakmampuan terkesan
ketergangguan. Penghormatan terkesan sebagai korban. Inilah yang disebut
pencitraan. Artifisial. Tiruan. Bukan ori tapi KW2. Seolah-olah! Mudah-mudahan tidak demikian, dan tetap berharap usulan kartu-kartu itu mewujud, seperti diuraikan di Narasi Presiden Kartu. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar