PLTSa Lebih Cocok di Pantai
Oleh Gede
H. Cahyana
Ekonomi bukanlah alasan
tepat untuk menetapkan apakah PLTSa layak diterapkan di suatu daerah atau
tidak. Yang lebih penting adalah alasan kesehatan lingkungan karena alasan ini
akan berdampak juga pada kondisi ekonomi, sosial, dan kapasitas pikir anak-anak
di wilayah terpapar polutan PLTSa. Teknologi tidak
cukup hanya ditopang (back up) oleh
ilmu (sains) tetapi juga mempertimbangkan dampak buruknya pada lingkungan.
Kualitas lingkungan ini pun akan kembali pada kualitas kesehatan jasmani,
ruhani, dan taraf kecerdasan (intelligent
quotient) anak-anak. Teknologi yang berhasil atau sukses pun bisa
berdampak buruk pada manusia, baik jasmani maupun ruhaninya, apalagi teknologi
yang rentan gagal.
Dalam implementasi
teknologi, pelibatan sains dan lingkungan perlu diutamakan agar tidak tersesat,
tidak sesal kemudian karena tak berguna. Memandang
sebuah teknologi haruslah dilihat sebagai bagian dari lingkungan. Lingkungan
menjadi titik tolak dalam memilah dan memilih teknologi. Teknologi di suatu
daerah belum tentu cocok dengan kondisi daerah lain karena lingkungannya
berbeda. Analoginya, baju di daerah kutub
tidak selalu tepat dikenakan di daerah tropis. Sebaliknya, baju tipis di tropis
tidak cocok dikenakan di kutub. Keduanya akan menimbulkan masalah bagi manusia.
Pakaian adalah produk budaya, sama dengan teknologi. Bedanya, teknologi
memiliki latar riset dan trial-error saintifik
berkali-kali,
bahkan puluhan tahun dan dapat dicoba oleh orang lain karena berlaku
universal.
Begitu pun PLTSa.
Sebagai produk teknologi yang dilatari oleh sains, bahkan berbagai
sains, ia pun memiliki kecocokan atau ketakcocokan dengan lingkungan tempat
manusia. Aspek geografi dan geomorfologi ikut mempengaruhinya. Dalam
hal PLTSa, aspek hidrogeologi dan meteorologi justru menjadi aspek penting. Dua
aspek ini langsung berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, yaitu air
dan udara. Air meliputi air tanah dangkal - dalam dan air permukaan seperti
sungai, danau, waduk. Kondisi terkini, air di Bandung masuk
kategori sangat kritis. Oleh sebab itu, karena lokasinya di dataran tinggi
dan dikelilingi oleh pegunungan, Bandung menjadi lokasi buruk dan membahayakan
manusia dan relasi ekologis lainnya apabila dibangun PLTSa.
Pantai,
Opsi Solusi
Laut,
mau tak mau, adalah open dumping
raksasa. Geomorfologinya telah menjadi takdir bahwa laut harus berada di tempat
terendah dan menampung semua limbah kegiatan manusia. Laut menjadi badan air
terbesar di dunia dengan luasan kurang lebih 97% dari muka Bumi.
Selayaknya ia dimanfaatkan. Salah satunya, tepi laut atau pantai
cocok dijadikan lokasi PLTSa. Minimal ada tiga komponen yang menguntungkan
kalau membangun PLTSa di laut (pantai).
Yang pertama, tentu saja
sebagai “pemunah” sampah. Sebetulnya materinya tidak musnah, melainkan berubah
menjadi materi lain dan energi. Inilah yang terjadi menurut tinjauan
termodinamika. Semua sampah di kota-kota pesisir, kalau diterapkan PLTSa, akan
direduksi menjadi seukuran onggokan abu. Abu bawah (bottom ash) dan abu
terbang (fly ash) dapat disimpan di sanitary landfill yang aman. Lokasinya
juga di pantai, terutama di daerah rendah. Pelan-pelan, sekian puluh tahun
kemudian, akan muncullah daratan pantai yang berasal dari abu. Tentu saja bisa
digunakan sebagai pulau khusus, misalnya produsen oksigen, atau pelindung dari
gelombang tsunami dan badai yang menyebabkan abrasi pantai.
Yang kedua, dengan
fasilitas PLTSa, sampah diubah menjadi energi listrik. Selain digunakan di
instalasinya, juga bisa dijual ke masyarakat pantai, terutama nelayan dengan
harga relatif murah. Semua sampah di
desa-desa, di kota-kota di sepanjang pantai bisa diumpankan ke PLTSa. Biaya
ditanggung bersama, baik pemerintah desa, kecamatan, maupun kota – kabupaten
yang memanfaatkan PLTSa sebagai sumber energi listriknya.
Yang
ketiga, bisa dibuatkan fasilitas penyulingan air laut,
misalnya Multistage Flash
Evaporator (MSF) dan reverse osmosis (RO). MSF dapat menghasilkan air
bersih dengan konsentrasi TDS sangat rendah, 50 mg/l. Ini
pun dapat dilanjutkan dengan RO untuk menghasilkan air berkualitas tinggi,
untuk minum dan keperluan industri farmasi dan elektronika. Dengan fasilitas seperti ini, masyarakat pantai, kawasan wisata
pantai, hotel dan resort,
water front city dapat memperoleh air bersih sekaligus listrik dan
daerahnya bebas sampah. Inilah konsep yang cocok dikembangkan.
Alih-alih di kota gunung seperti Bandung, PLTSa lebih
cocok
di pantai karena sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui.
Sambil mereduksi volume,
massa atau berat sampah, diperoleh energi listrik, air bersih dan bahkan air
berkualitas yang bisa langsung diminum. Polusi udaranya bisa direduksi, meskipun
tidak 100%, tetapi jelas lebih baik
dibandingkan berada di dataran tinggi seperti Bandung.
Uap air yang menangkap abu dan gas kemudian menjatuhkannya di laut atau di
pantai, dapat mereduksi hembusan kontaminan ke darat. Kondisi meteorologi
pantai ini mendukung reduksi polutan udara. Abunya terperangkap uap air laut dan
jatuh ke laut. Udara menjadi relatif bersih. Selain itu,
perilaku dispersi dan disolusi atmosfer bisa menurunkan konsentrasi
polutan udara.
Pantai juga kaya air,
baik air laut maupun air tawar di muaranya atau minimal air payau dengan kadar
garam yang lebih rendah daripada air laut. Sumber air bagi PLTSa adalah syarat
utama. Air inilah yang digunakan untuk membilas abu bawah dan abu terbang
limbah PLTSa sehingga mendukung pengembangan teknologi
berwawasan lingkungan. Sains, teknologi dan lingkungan adalah satu kesatuan yang
tak
terpisahkan.
Simpulan,
apabila PLTSa dibangun di pantai, bukan di Bandung, maka diperoleh instalasi pembakar sampah, instalasi pembangkit listrik, dan
instalasi
penghasil air siap diminum sebagai pasokan untuk kawasan
industri dan perumahan di sekitarnya. *
Dimuat di Pikiran Rakyat, 5 September 2014.
Info lengkap tentang PLTSa, silakan dibaca di sini.
Dimuat di Pikiran Rakyat, 5 September 2014.
Info lengkap tentang PLTSa, silakan dibaca di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar