Pilkada via DPRD, Mari Jujur dan Jernih
Oleh Gede H. Cahyana
Pancasila adalah dasar atau pondasi
negara. Analoginya, makin kuat pondasi rumah, makin kukuh juga rumah itu. Itu
sebabnya, tidak tepat dan tidak bijak apabila kita memberikan istilah pilar
untuk dasar negara. Pancasila bukanlah pilar (tiang, kolom) meskipun diembel-embeli
oleh kebangsaan. Istilah empat pilar berujung pada reduksi makna falsafah
Pancasila.
Dalam bangunan rumah negara kebangsaan,
tentu tidak serta merta istilah pilar itu bisa diadopsi, bisa diasimilasikan
menjadi setara untuk semua unsur-unsurnya, seperti Bhinneka Tunggal Ika. Adapun
NKRI adalah wadah rakyat Indonesia yang berdiri di atas pondasi Pancasila.
Kembalikan lagi ke awal, bahwa Pancasila adalah alas negara, UUD 1945 menjadi
landasan hukum (konstitusional), dan Bhinneka Tunggal Ika adalah spirit hidup
berbangsa, bersuku-suku.
Pondasi rumah tidak boleh diubah
lantaran dapat mengubah dan mereduksi kekuatan konstruksi rumah. Pembukaan UUD
1945 juga tidak boleh diubah, ada spirit hidup setara dan hak merdeka untuk
semua bangsa, juga berisi sila-sila di dalam Pancasila. Sila keempat, yaitu
pola “rekrutmen” kepala negara, kepala pemerintahan (pusat, daerah), presiden, dipasakkan
dengan kuat dan tegas, sebagai: “… permusyawaratan /perwakilan”.
Musyawarah menjadi kata kunci, yaitu
urun-rembug wakil-wakil rakyat, tokoh-tokoh yang dipilih oleh rakyat untuk
menetapkan seseorang yang menjadi pemimpin negara (presiden) dan kepala pemerintahan daerah. Amanat perwakilan
ini menjadi khas dan berbeda dengan demokrasi liberal yang identik dengan
pemungutan suara (voting). Perwakilan
adalah memberikan amanat kepada sesama anak bangsa untuk mewakili anak bangsa
lainnya yang dipilih dengan cara pemilu legislatif (DPR, DPRD, DPD). Esensi
sila keempat Pancasila dan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menjadi pesan
moral kepada semua wakil rakyat untuk melaksanakan amanat sila dan alinea tersebut.
Inilah Demokrasi Pancasila, khas lahir dari spirit dan suasana kebatinan the founding fathers negara RI.
Terlebih lagi, amandemen UUD 1945,
pasal 18 ayat (4): Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis. Tak
ayal lagi, tafsiran atas kata demokratis tersebut adalah demokratis yang
berpijak pada keindonesiaan, bukan liberal kebaratan sesuai dengan sila dan
alinea tersebut. Musyawarah didahulukan, kemudian voting dilaksanakan setelah
musyawarah gagal mencapai titik mufakat. Voting
ini berlaku untuk semua anggota legislatif dan DPD yang dipilih oleh rakyat. Rakyat berdaulat dalam memilih wakil-wakilnya. Inilah esensi permusyawaratan / perwakilan itu.
Terbukti dalam perjalanan
pemerintahan daerah selama hampir satu dekade ini (tujuh tahun selama Pilkada Langsung), begitu banyak kepala daerah yang
terlibat kasus korupsi. Wajarlah Pilkada langsung ini dievaluasi dulu, moratorium, kemudian berikan waktu dengan ikhlas, pikiran jernih dan jujur untuk mencoba tafsiran semula, yaitu permusyawaratan / perwakilan.
Semoga kejernihan, kebeningan hati
dapat menghasilkan sikap dan perilaku yang jujur tanpa dipengaruhi oleh anasir
asing dalam berbagai kepentingannya. Berdaulatlah Indonesia, berkuasa atas
dasar falsafah Pancasila, sila keempat khususnya dan alinea keempat Pembukaan
UUD 1945. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar