• L3
  • Email :
  • Search :

28 September 2014

Pilkada via DPRD, Mari Jujur dan Jernih

Pilkada via DPRD, Mari Jujur dan Jernih
Oleh Gede H. Cahyana


Pancasila adalah dasar atau pondasi negara. Analoginya, makin kuat pondasi rumah, makin kukuh juga rumah itu. Itu sebabnya, tidak tepat dan tidak bijak apabila kita memberikan istilah pilar untuk dasar negara. Pancasila bukanlah pilar (tiang, kolom) meskipun diembel-embeli oleh kebangsaan. Istilah empat pilar berujung pada reduksi makna falsafah Pancasila.

Dalam bangunan rumah negara kebangsaan, tentu tidak serta merta istilah pilar itu bisa diadopsi, bisa diasimilasikan menjadi setara untuk semua unsur-unsurnya, seperti Bhinneka Tunggal Ika. Adapun NKRI adalah wadah rakyat Indonesia yang berdiri di atas pondasi Pancasila. Kembalikan lagi ke awal, bahwa Pancasila adalah alas negara, UUD 1945 menjadi landasan hukum (konstitusional), dan Bhinneka Tunggal Ika adalah spirit hidup berbangsa, bersuku-suku.

Pondasi rumah tidak boleh diubah lantaran dapat mengubah dan mereduksi kekuatan konstruksi rumah. Pembukaan UUD 1945 juga tidak boleh diubah, ada spirit hidup setara dan hak merdeka untuk semua bangsa, juga berisi sila-sila di dalam Pancasila. Sila keempat, yaitu pola “rekrutmen” kepala negara, kepala pemerintahan (pusat, daerah), presiden, dipasakkan dengan kuat dan tegas, sebagai: “… permusyawaratan /perwakilan”.

Musyawarah menjadi kata kunci, yaitu urun-rembug wakil-wakil rakyat, tokoh-tokoh yang dipilih oleh rakyat untuk menetapkan seseorang yang menjadi pemimpin negara (presiden) dan kepala pemerintahan daerah. Amanat perwakilan ini menjadi khas dan berbeda dengan demokrasi liberal yang identik dengan pemungutan suara (voting). Perwakilan adalah memberikan amanat kepada sesama anak bangsa untuk mewakili anak bangsa lainnya yang dipilih dengan cara pemilu legislatif (DPR, DPRD, DPD). Esensi sila keempat Pancasila dan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menjadi pesan moral kepada semua wakil rakyat untuk melaksanakan amanat sila dan alinea tersebut. Inilah Demokrasi Pancasila, khas lahir dari spirit dan suasana kebatinan the founding fathers negara RI.

Terlebih lagi, amandemen UUD 1945, pasal 18 ayat (4): Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Tak ayal lagi, tafsiran atas kata demokratis tersebut adalah demokratis yang berpijak pada keindonesiaan, bukan liberal kebaratan sesuai dengan sila dan alinea tersebut. Musyawarah didahulukan, kemudian voting dilaksanakan setelah musyawarah gagal mencapai titik mufakat. Voting ini berlaku untuk semua anggota legislatif dan DPD yang dipilih oleh rakyat. Rakyat berdaulat dalam memilih wakil-wakilnya. Inilah esensi permusyawaratan / perwakilan itu.

Terbukti dalam perjalanan pemerintahan daerah selama hampir satu dekade ini (tujuh tahun selama Pilkada Langsung), begitu banyak kepala daerah yang terlibat kasus korupsi. Wajarlah Pilkada langsung ini dievaluasi dulu, moratorium, kemudian berikan waktu dengan ikhlas, pikiran jernih dan jujur untuk mencoba tafsiran semula, yaitu permusyawaratan / perwakilan

Semoga kejernihan, kebeningan hati dapat menghasilkan sikap dan perilaku yang jujur tanpa dipengaruhi oleh anasir asing dalam berbagai kepentingannya. Berdaulatlah Indonesia, berkuasa atas dasar falsafah Pancasila, sila keempat khususnya dan alinea keempat Pembukaan UUD 1945. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar