Oleh Gede H. Cahyana
Ingat Kevin Kostner? Selain fenomenal di film
Dances With Wolves, dia juga menjadi
jagoan di film Waterworld, Dunia Air.
Begitulah setting film yang
bertemakan mencari tanah buat tempat tinggal itu. Dengan memakai kapal layar,
aktor film Bodyguard ini, ke
sana-sini membarter barang-barangnya dengan air tawar. Malah kalau dapat dia
ingin menukarnya dengan resin, zat penawar air laut, agar kadar garamnya bisa
dikurangi sehingga laik-minum. Sang jagoan pun dikisahkan bermutasi (menjadi
mutan) dan di balik kupingnya tumbuh insang sehingga mampu berenang di laut
tanpa alat bantu napas.
Itu
hanyalah kisah film. Namun, kisah itu serupa benar dengan kejadian di Bandung Selatan
pada medio November 2012 ini. Kisah Waterworld
nyaris sama dengan kondisi Bandung Raya, meliputi Kota Bandung, Kabupaten
Bandung, Bandung Barat, dan Kota Cimahi. Genangan air hujan merata di seluruh
Bandung. Apalagi di daerah Bandung Selatan, permukiman, kantor,
pabrik, dan sekolah banyak yang terendam parah. Siswa sudah tak bisa nyaman
belajar.
Ditambah
lagi air limbah dari rumah dan kantor, air limbah dari septic tank ikut-ikutan meluap. Parahnya lagi, ada yang sengaja
membuang air limbah saat banjir. Termasuk limbah/sampah dari pemotongann hewan
seperti sapi, kambing, dan unggas. Sampah ini bisa menyumbat selokan di
pemukiman dan mendangkalkan sungai. Naasnya lagi, sembari banjir kendaraan pun macet
total. Di Dayeuhkolot dan Baleendah genangan sampai dua meter.
Air
tidak lancar mengalir ke sungai, termasuk Cikapundung. Walaupun pengerukan
Cikapundung pernah dilakukan tetapi banjir terjadi. Kendaraan macet di
mana-mana. Orang Bandung seorlah-olah bermusuhan dengan air. Selalu saja banjir
hanya dengan curah hujan yang kecil. Pada saat yang sama, air sebetulnya
menjadi sumber hidup manusia. Air sebetulnya sakral. Ini bisa dibaca pada
nama-nama air seperti tirtha nirmala,
tirtha kamandalu, amrta njiwani (Sansekerta), maaul hayat (Arab),
nectar-ambrosia (Yunani), the elixir of life, the liquid of life (Inggris).
Di India, dalam mitologi Hindu, Sungai Gangga
diciptakan di surga. Fenomena kesakralannya bisa disaksikan dalam ritual Kumbh Mela di sungai tersebut. Prosesi ritus di sungai yang
punya 108 nama-nama indah itu didatangi oleh 30-an juta orang. Spektakuler!
Dalam ritus itu, Gangga dijadikan jembatan menuju surga. Hal yang sama juga
dinisbatkan kepada Sungai Yamuna, Narmada dan Brahmaputra. Apakah Sungai
Cikapundung atau Ciasangkuy atau Citarum bisa “dihormati”
seperti Gangga?
Ada
lagi contoh lain. Di mancanegara, minimal pada masa silam, ada nilai-nilai
spiritual atas air. Di Prancis, di dekat Sungai Seine, ada kuil suci untuk Dewa Sequana.
Sungai Marne asal-usul namanya dari Matrona yang artinya Dewi Ibu. Cikal nama
Sungai Thames di Inggris ialah Tamesa atau Tamesis yang terkait dengan makna ketuhanan. Sungai Nil di Mesir
tak lepas dari Fir’aun dan Nabi Musa. Sungai Amazon di hutan belantara Brasil,
Amerika Latin dihuni oleh suku pemulia dewa-dewi. Sungai Euphrates dan Tigris
di Irak dihormati kaum Babylonia dan Mesopotamia.
Tampaklah,
betapa besar peran air kalau kita bersahabat dengan alam, lingkungan, tanah, hutan, dan sampah. Kalau tidak, maka
banjirlah yang terjadi dan krisis air saat kemarau normal, belum kemarau panjang.
Andaikata betul dugaan ahli bahwa Bandung Selatan akan
banjir “abadi” artinya setiap tahun banjir maka harus dibuatkan jalan
keluarnya. Warga hendaklah direlokasi lalu Bandung Selatan dikonversi menjadi waduk penyimpan air (storasi) untuk Bandung Raya (Kota Bandung, Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kota Cimahi), Cianjur, Purwakarta, Karawang, Kab. Bekasi, Kota Bekasi, dan Jakarta. Biarlah Bandung Selatan menjadi Waterworld, menjadi Dunia Air atau menjadi Venesia di Indonesia.
Mari resapkan
ke dalam pikiran dan hati pesan E. F. Schumacher, “Krisis lingkungan terjadi bukan karena pengembangan sains
dan teknologi, tetapi hasil dari sikap mental dan life-style (gaya hidup) dunia
modern.”
Kita berharap akan muncul pejabat publik yang mampu memberikan solusi terbaik
bagi warga Bandung Selatan dan Bandung Raya umumnya. Politisinya juga hendaklah
yang enviropolitician, yang tak sekadar vokalis sehingga advokasi enviro-nya hanya proforma
belaka. Juga dicari birokrat yang tinggi sense of enviro-nya sehingga tak
sekadar menjadi dust in the wind.
Save the
People of Bandung Selatan. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar