Oleh Gede H. Cahyana
Tahun 1985, bulan Mei waktu itu, aku
injak tanah Bandung, turun dari bis malam di bilangan Jalan Riau. Jam
menunjukkan pukul 05.20 WIB. Kabut tebal menutupi dedaunan pohon-pohon tinggi
besar. Dingin bukan main. Jaket tebal dilapisi beludru tak mampu
membentengi kulitku dari tusukan dingin udara pagi. Bandung, waktu itu, bagai
Bedugul, sebuah objek wisata di bagian Utara Kabupaten Tabanan, Bali. Dalam
khayalku sebagai remaja lulusan SMA, Bandung identik dengan
kecantikan, keindahan, keramahan, dan kesenangan. Juga, tentu saja, kota utama
tujuan belajar. Julukan Bandung, Parijs
van Java di mataku memang tepat waktu itu.
Kini, tahun 2012 ini, atribut Parijs van Java itu berubah menjadi Parit van Java. Bandung adalah kota
parit atau selokan. Hanya dengan hujan ringan saja, tak sampai setengah jam, mayoritas
ruas jalan dan lahan berubah menjadi parit, menjadi genangan, menjadi kolam
dadakan. Parahnya lagi, air hujan yang “suci-bersih”
dari atmosfer itu lantas bercampur dengan air limbah hitam, tahi ternak, tinja
dan air kencing, juga belepotan dengan sampah. Belum lagi minyak, solar, oli,
bensin, dan polutan dari pabrik besar dan skala rumah tangga yang menyebar di
tatar Bandung. Dengan fakta ini, masih layakkah sebutan Parijs van Java
disandang oleh Bandung?
Atribut substitusi yang patut disematkan pada Bandung kini
adalah Venezia van Java, khususnya
adalah Bandung Selatan. Lagu Bandung Selatan yang liriknya memuji keelokan
paras bentang alamnya sudah tidak cocok lagi diemban oleh Bandung. Memang, di
beberapa partisi bentang alamnya masih tersisa kemolekan Bandoeng Tempo Doeloe
itu, tetapi wilayah yang dekat dan ditempati manusia sudah jauh dari kenecisan
jelita kota Para Hyang, kota dewa-dewi Parahyangan atau Priangan. Julukan Kota
Kembang pun sudah lama pudar, bahkan berubah menjadi Kota Kambing, kata seorang
penyanyi yang top pada dekade 1980-an.
Lagu Hallo-Hallo Bandung pun ada yang liriknya diplesetkan
menjadi “ sekarang sudah menjadi lautan cai
(bukan api). Cai adalah air dalam
bahasa Sunda. Sebabnya tak lain tak bukan adalah kerusakan lahan konservasi
yang menjadi daerah tangsap (tangkap dan resap) air hujan. Akibatnya, saat
kemarau terjadi krisis air baku untuk air minum dan kebutuhan domestik –
komersial lainnya, dan menimbulkan banjir saat musim hujan, bahkan oleh curah
hujan yang rendah intensitasnya. Anehnya, kata para kalangan, di Bandung banyak
ahli teknik dan sosial, juga pendidikan, menjadi sentral pengembangan ilmu,
teknologi, dan lingkungan, tetapi kondisi kotanya sangat memiriskan. Miris
bagai diiris sembilu, kata gadis molek yang putus cinta monyetnya.
Bandung, bagaimanapun juga, tetap kucinta. Inilah kotaku,
kota tempat tinggalku, dan aku setia menjadi warga kotamu. This is the city and I am one of the citizens, tulis Walt
Whitman. Ada hak dan kewajiban warga Bandung untuk menyelamatkan Bandung dari
degradasi alamnya, mulai dari hal-hal kecil seperti mengurangi sampah anorganik
yang dibuang ke TPA dan mengubah sampah organik menjadi pupuk di rumah. Memelihara
minimal satu pohon berkayu dan sejumlah tanaman lainnya yang tergolong ke dalam
lumbung hidup dan apotek hidup atau dapur hidup di setiap rumah.
Save
Bandung City, save the citizens. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar