• L3
  • Email :
  • Search :

25 November 2012

Bandung, Parit van Java

Bandung, Parit van Java
Oleh Gede H. Cahyana

Tahun 1985, bulan Mei waktu itu, aku injak tanah Bandung, turun dari bis malam di bilangan Jalan Riau. Jam menunjukkan pukul 05.20 WIB. Kabut tebal menutupi dedaunan pohon-pohon tinggi besar. Dingin bukan main. Jaket tebal dilapisi beludru tak mampu membentengi kulitku dari tusukan dingin udara pagi. Bandung, waktu itu, bagai Bedugul, sebuah objek wisata di bagian Utara Kabupaten Tabanan, Bali. Dalam khayalku sebagai remaja lulusan SMA, Bandung identik dengan kecantikan, keindahan, keramahan, dan kesenangan. Juga, tentu saja, kota utama tujuan belajar. Julukan Bandung, Parijs van Java di mataku memang tepat waktu itu.

Kini, tahun 2012 ini, atribut Parijs van Java itu berubah menjadi Parit van Java. Bandung adalah kota parit atau selokan. Hanya dengan hujan ringan saja, tak sampai setengah jam, mayoritas ruas jalan dan lahan berubah menjadi parit, menjadi genangan, menjadi kolam dadakan. Parahnya lagi, air hujan yang “suci-bersih” dari atmosfer itu lantas bercampur dengan air limbah hitam, tahi ternak, tinja dan air kencing, juga belepotan dengan sampah. Belum lagi minyak, solar, oli, bensin, dan polutan dari pabrik besar dan skala rumah tangga yang menyebar di tatar Bandung. Dengan fakta ini, masih layakkah sebutan Parijs van Java disandang oleh Bandung?

Atribut substitusi yang patut disematkan pada Bandung kini adalah Venezia van Java, khususnya adalah Bandung Selatan. Lagu Bandung Selatan yang liriknya memuji keelokan paras bentang alamnya sudah tidak cocok lagi diemban oleh Bandung. Memang, di beberapa partisi bentang alamnya masih tersisa kemolekan Bandoeng Tempo Doeloe itu, tetapi wilayah yang dekat dan ditempati manusia sudah jauh dari kenecisan jelita kota Para Hyang, kota dewa-dewi Parahyangan atau Priangan. Julukan Kota Kembang pun sudah lama pudar, bahkan berubah menjadi Kota Kambing, kata seorang penyanyi yang top pada dekade 1980-an.

Lagu Hallo-Hallo Bandung pun ada yang liriknya diplesetkan menjadi “ sekarang sudah menjadi lautan cai (bukan api). Cai adalah air dalam bahasa Sunda. Sebabnya tak lain tak bukan adalah kerusakan lahan konservasi yang menjadi daerah tangsap (tangkap dan resap) air hujan. Akibatnya, saat kemarau terjadi krisis air baku untuk air minum dan kebutuhan domestik – komersial lainnya, dan menimbulkan banjir saat musim hujan, bahkan oleh curah hujan yang rendah intensitasnya. Anehnya, kata para kalangan, di Bandung banyak ahli teknik dan sosial, juga pendidikan, menjadi sentral pengembangan ilmu, teknologi, dan lingkungan, tetapi kondisi kotanya sangat memiriskan. Miris bagai diiris sembilu, kata gadis molek yang putus cinta monyetnya.

Bandung, bagaimanapun juga, tetap kucinta. Inilah kotaku, kota tempat tinggalku, dan aku setia menjadi warga kotamu. This is the city and I am one of the citizens, tulis Walt Whitman. Ada hak dan kewajiban warga Bandung untuk menyelamatkan Bandung dari degradasi alamnya, mulai dari hal-hal kecil seperti mengurangi sampah anorganik yang dibuang ke TPA dan mengubah sampah organik menjadi pupuk di rumah. Memelihara minimal satu pohon berkayu dan sejumlah tanaman lainnya yang tergolong ke dalam lumbung hidup dan apotek hidup atau dapur hidup di setiap rumah.

Save Bandung City, save the citizens. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar