Oleh Gede H. Cahyana
Habis kemarau panjang, lebih lama daripada tahun
lalu, kini terbitlah banjir di Bandung Selatan. Diduga oleh kalangan ahli bahwa daerah
ini akan banjir “abadi” khususnya di Bale Endah dan Dayeuh Kolot. Sumber airnya tak lain dari luapan Citarum, seutas sungai
sepanjang 270 km yang bermuara di pesisir Kabupaten Karawang. Sudah diketahui
bahwa ada 14 kecamatan yang potensial digenangi banjir.
Selain banjir yang
memutus transportasi dan merusak ekonomi yang memang sudah parah akibat penutupan
pabrik di Bandung Selatan, erosi pun menjadi-jadi. Airnya coklat tua, makin
keruh disarati lempung sehingga sedimentasinya kian tebal lantas mendangkalkan alur
sungai dan waduk Saguling. Terancamlah pasokan listrik yang memang sudah
defisit. Tanpa listrik, tak banyaklah kerja yang bisa dilakukan. Tidak hanya
itu, sungai yang berhulu di Gunung Wayang Kabupaten Bandung ini pun “dikerubuti”
air limbah (outfall) pabrik dan
menerima limpasan air limbah domestik dari Kota Bandung, baik langsung dari
anak-anak sungainya maupun efluen dari IPAL Bojongsoang. Bisa diukur, seberapa
parah polutan organiknya dan berapa pula polutan logam beratnya.
Memang, sejak
awal dekade 1990-an, kerusakan hulu Citarum telah menyentak pemerintah pusat
dan daerah. Bahkan
Gubernur Jokowi pun langsung bertemu Gubernur Ahmad Heryawan untuk mencari
solusi perihal banjir dan masalah lingkungan lainnya. Di Citarum sudah berbagai
upaya dilakukan seperti
pengerukan. Hanya saja, dikeruk tanpa peduli pada sumber erosi, yaitu
kondisi hutan di hulunya, maka kegiatan itu menjadi sekadar projek tanpa hasil jangka
panjang. Yang terjadi: banjir lagi banjir lagi. Mengapa pemerintah (seolah-olah)
bergeming menatap laju deforestasi dan degradasi ekologi Citarum Hulu? Tak hendakkah
pemerintah merevolusi pola peduli lingkungan atas dirinya, industrialis dan warga
tatar Bandung selaku pejabat publik, PNS, pegawai swasta, rakyat biasa?
Banjir Citarum
adalah skala besar. Tetapi yang skala kecil pun (cileuncang) terjadi dan nyaris merata di Bandung. Sumber petakanya
tak lain daripada sampah. Padahal Perda K3 sudah dirilis tetapi belum menjadi
alat kendali perilaku warga. Onggokan sampah tampak di mana-mana. Yang terdekat
ialah sampah di rumah dan di kantor. Ada kantor yang menyediakan dua bak sampah
berdampingan. Yang satu untuk sampah basah (sisa makanan) dan satunya lagi
untuk sampah kering (kertas, plastik). Coba perhatikan, sampah di bak itu pasti
bercampur. Berani “bertaruh?”. Yang seharusnya masuk ke bak sampah kering malah
dibuang ke bak sampah basah. Begitu sebaliknya. Padahal perintah dan
keterangannya sudah dibuat bagus dan hurufnya besar-besar. Buta hurufkah?
Yang juga
berkaitan dengan banjir ialah hutan kota atau pohon penyejuk kota. Kalau banyak
pohonnya, secara alamiah tak perlulah dibuatkan sumur atau bidang peresap. Apalagi
tidak semua daerah cocok dibuatkan sumur peresap. Tapi apa yang terjadi? Pohon-pohon
besarnya banyak yang ditebang lalu diganti dengan yang kecil-kecil. Tak lama
berselang, banyaklah yang mati. Sepatutnya ditanam dulu pohon yang agak besar,
dipelihara, lalu sekian tahun kemudian barulah yang besar ditebang. Ikuti saja
slogan nan elok, yaitu esa hilang dua terbilang. Tebang satu, tanamlah dua. Ini
demi peduli ekologi, konservasi air, dan penangkal banjir. Terlebih lagi pepohonan
itu mampu mengubah karbondioksida menjadi oksigen dan menambah kenyamanan
psikologis warga kota. Bukankah nyaman duduk-duduk di bawah pohon rindang? Apalagi kemarin, 21 November 2012
diperingati sebagai Hari Pohon Dunia.
Bisakah warga Jawa Barat, khususnya
Bandung, Cianjur, Karawang, Purwakarta menjadikan Citarum sebagai
sungai sakral seperti Sungai Gangga di India. Mungkinkah? Yang pasti, sulitlah berenang
(menyelam) di air banjir nan keruh: you
should never dive in the murky water! *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar