• L3
  • Email :
  • Search :

22 November 2012

Bandung Banjir

Bandung Banjir
Oleh Gede H. Cahyana

Habis kemarau panjang, lebih lama daripada tahun lalu, kini terbitlah banjir di Bandung Selatan. Diduga oleh kalangan ahli bahwa daerah ini akan banjir “abadi” khususnya di Bale Endah dan Dayeuh Kolot. Sumber airnya tak lain dari luapan Citarum, seutas sungai sepanjang 270 km yang bermuara di pesisir Kabupaten Karawang. Sudah diketahui bahwa ada 14 kecamatan yang potensial digenangi banjir.

Selain banjir yang memutus transportasi dan merusak ekonomi yang memang sudah parah akibat penutupan pabrik di Bandung Selatan, erosi pun menjadi-jadi. Airnya coklat tua, makin keruh disarati lempung sehingga sedimentasinya kian tebal lantas mendangkalkan alur sungai dan waduk Saguling. Terancamlah pasokan listrik yang memang sudah defisit. Tanpa listrik, tak banyaklah kerja yang bisa dilakukan. Tidak hanya itu, sungai yang berhulu di Gunung Wayang Kabupaten Bandung ini pun “dikerubuti” air limbah (outfall) pabrik dan menerima limpasan air limbah domestik dari Kota Bandung, baik langsung dari anak-anak sungainya maupun efluen dari IPAL Bojongsoang. Bisa diukur, seberapa parah polutan organiknya dan berapa pula polutan logam beratnya.

Memang, sejak awal dekade 1990-an, kerusakan hulu Citarum telah menyentak pemerintah pusat dan daerah. Bahkan Gubernur Jokowi pun langsung bertemu Gubernur Ahmad Heryawan untuk mencari solusi perihal banjir dan masalah lingkungan lainnya. Di Citarum sudah berbagai upaya dilakukan seperti pengerukan. Hanya saja, dikeruk tanpa peduli pada sumber erosi, yaitu kondisi hutan di hulunya, maka kegiatan itu menjadi sekadar projek tanpa hasil jangka panjang. Yang terjadi: banjir lagi banjir lagi. Mengapa pemerintah (seolah-olah) bergeming menatap laju deforestasi dan degradasi ekologi Citarum Hulu? Tak hendakkah pemerintah merevolusi pola peduli lingkungan atas dirinya, industrialis dan warga tatar Bandung selaku pejabat publik, PNS, pegawai swasta, rakyat biasa?

Banjir Citarum adalah skala besar. Tetapi yang skala kecil pun (cileuncang) terjadi dan nyaris merata di Bandung. Sumber petakanya tak lain daripada sampah. Padahal Perda K3 sudah dirilis tetapi belum menjadi alat kendali perilaku warga. Onggokan sampah tampak di mana-mana. Yang terdekat ialah sampah di rumah dan di kantor. Ada kantor yang menyediakan dua bak sampah berdampingan. Yang satu untuk sampah basah (sisa makanan) dan satunya lagi untuk sampah kering (kertas, plastik). Coba perhatikan, sampah di bak itu pasti bercampur. Berani “bertaruh?”. Yang seharusnya masuk ke bak sampah kering malah dibuang ke bak sampah basah. Begitu sebaliknya. Padahal perintah dan keterangannya sudah dibuat bagus dan hurufnya besar-besar. Buta hurufkah?

Yang juga berkaitan dengan banjir ialah hutan kota atau pohon penyejuk kota. Kalau banyak pohonnya, secara alamiah tak perlulah dibuatkan sumur atau bidang peresap. Apalagi tidak semua daerah cocok dibuatkan sumur peresap. Tapi apa yang terjadi? Pohon-pohon besarnya banyak yang ditebang lalu diganti dengan yang kecil-kecil. Tak lama berselang, banyaklah yang mati. Sepatutnya ditanam dulu pohon yang agak besar, dipelihara, lalu sekian tahun kemudian barulah yang besar ditebang. Ikuti saja slogan nan elok, yaitu esa hilang dua terbilang. Tebang satu, tanamlah dua. Ini demi peduli ekologi, konservasi air, dan penangkal banjir. Terlebih lagi pepohonan itu mampu mengubah karbondioksida menjadi oksigen dan menambah kenyamanan psikologis warga kota. Bukankah nyaman duduk-duduk di bawah pohon rindang? Apalagi kemarin, 21 November 2012 diperingati sebagai Hari Pohon Dunia.


Bisakah warga Jawa Barat, khususnya Bandung, Cianjur, Karawang, Purwakarta menjadikan Citarum sebagai sungai sakral seperti Sungai Gangga di India. Mungkinkah? Yang pasti, sulitlah berenang (menyelam) di air banjir nan keruh: you should never dive in the murky water! *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar