Genap 200 tahun usia Kota Bandung pada 25 September 2010. Tanggal ini berkaitan dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda pada 1810 lewat gubernur jenderalnya: Daendels untuk mulai membangun daerah pegunungan ini. Pada waktu itu Bandung dipimpin oleh Bupati R. A. Wiranatakusumah II yang berkedudukan di Dayeuhkolot. Atas perintah Daendels kepada bupati yang bergelar Dalem Kaum tersebut, ibukota lantas dipindahkan ke Alun-alun Kota Bandung (sekarang).
Kalau dibandingkan dengan manusia, usia 200 tahun tentu usia renta. Nyaris tiada manusia yang usianya 200 tahun. Namun demikian, bagi sebuah kota, usia belum bisa dijadikan parameter linier terhadap kemajuan dan ketertiban kota. Ada kota yang baru beberapa puluh tahun usianya tetapi sudah lengkap fasilitas umum dan sosialnya, kawasan komersial dan permukimannya ditata dan warganya taat-tertib pada peraturan. Ada juga yang sudah tua tetapi belum bisa disebut sebagai kota maju atau modern, malah kantong-kantong kumuhnya (slum area) bertebaran. Ada satu kekhasan kota-kota besar termasuk Kota Bandung, yaitu masalah kependudukan dan lingkungan.
Agenda Lingkungan
Dalam hal lingkungan, ada lima agenda krusial di Kota Bandung sehingga mendesak dibuatkan solusinya, yaitu air minum, air limbah, polusi udara, drainase, dan sampah. Lima agenda ini dipengaruhi oleh jumlah penduduk Kota Bandung yang mencapai 2,4 juta orang dan menjadi kota terpadat di Jawa Barat, nomor empat terpadat di Indonesia. Apabila ditambah dengan pekerja yang domisilinya di luar Kota Bandung tetapi bekerja di Kota Bandung maka jumlahnya menjadi lebih banyak. “Warga siang” ini ikut menambah beban lingkungan di Kota Bandung, baik di sektor air minum, air limbah, pencemaran udara, dan persampahan.
Drainase mulai terasa manfaatnya ketika hujan, terutama hujan deras yang menimbulkan genangan, bahkan banjir di beberapa lokasi. Kemacetan lalu-lintas yang terjadi akibat banjir ini memperparah polusi udara di Kota Bandung yang selanjutnya berdampak langsung-tak langsung pada pencemaran sayuran dan produk pertanian-peternakan di tatar Bandung. Dengan jumlah penduduk 2,4 juta orang itu, belum termasuk “warga siang”, beban pencemaran sungai menjadi berat dan banyak membutuhkan air minum. Apabila 80% air minum berubah menjadi air limbah maka dapat dibayangkan, betapa luas kebutuhan lahan untuk IPAL-nya. Lantas, mampukah instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di Bojongsoang mengolahnya?
Agenda berikutnya ialah persampahan. Mengelola sampah, faktanya, jauh lebih rumit dibandingkan dengan mengelola air limbah. Air limbah (liquid waste, wastewater) jauh lebih mudah dikelola dibandingkan dengan sampah atau limbah padat (solid waste). Itu sebabnya, pengelolaan sampah lebih “heboh” daripada air limbah yang sebetulnya juga parah tetapi “tak tampak” nyata di mata masyarakat. Namun air limbah ini pun diam-diam bisa menjadi musuh, tiba-tiba “meledak” lantas menimbulkan masalah besar bagi lingkungan dan manusia, persis kasus longsor TPA Leuwigajah.
Peta Hijau Persampahan
Persampahan adalah tema pokok artikel ini yang dikaitkan dengan upaya pembuatan Peta Hijau (Green Map) Persampahan Kota Bandung. Karena masih rintisan atau baru kali pertama dibuat, bisa dikatakan bahwa Peta Hijau Persampahan Kota Bandung ini menjadi peta pertama di Indonesia, bahkan di dunia, demikian rilisan draft peta Forum Hijau Bandung yang diamanati tugas oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Ditjen Penataan Ruang. Seperti halnya peta biasa, Peta Hijau ini pun didasarkan pada peta geografis Kota Bandung. Bedanya, Peta Hijau ini dilengkapi dengan ikon (gambar, simbol) yang dikaitkan dengan pengelolaan dan pengolahan sampah. Ikon yang dihadirkan di dalam peta tematik persampahan ini merujuk pada Green Map International. Ikonnya sama, hanya bahasanya yang berbeda dan sedikit perbedaan pada deskripsinya agar lebih komunikatif dan mudah dipahami oleh masyarakat yang tidak berlatar ilmu dan teknik lingkungan.
Ada delapan ikon yang diadaptasi untuk merepresentasikan persampahan di Kota Bandung. Ikon kesatu untuk Usaha Produk Hijau. Sesuai dengan namanya, lokasi di peta yang ditandai oleh ikon ini menyatakan bahwa di tempat ini diproduksi dan dijual produk-produk berwawasan dan ramah lingkungan. Masyarakat Kota Bandung dapat memberikan apresiasi dengan cara membeli dan menggunakan produk yang dijual di tempat ini. Kedua, Lokasi Barang Bekas. Daerah yang diikoni oleh gambar tersebut adalah lokasi transaksi jual-beli barang bekas, tukar-menukar barang bekas, baik barang bekas campuran maupun barang bekas khas seperti kertas saja, botol plastik saja, logam saja, elektronik saja, dll.
Ikon selanjutnya ialah Lokasi Daur Ulang. Di lokasi ikon ketiga ini ditampung semua barang bekas yang dapat diolah kembali menjadi barang seperti semula atau barang baru. Misalnya, bungkus bekas menjadi barang kerajinan, kertas bekas menjadi kertas daur ulang, dll. Transaksi jual-beli pun bisa dilaksanakan di sini atau sebagai tempat belajar dan percontohan tatacara - tatakelola daur ulang sampah. Yang keempat, Lokasi Pengomposan. Pengomposan adalah bagian penting dalam pengelolaan sampah kota, terutama di Kota Bandung yang kaya sampah organik dan lokasinya di pegunungan yang bercurah hujan tinggi. Ikon ini menyatakan bahwa di lokasi inilah disediakan fasilitas pengolahan sampah organik (sisa makanan, daun, sampah mudah busuk lainnya) menjadi kompos. Di sini juga dijual biota cacing, bakteri, dll yang berperan dalam pengomposan.
Sekolah Hijau adalah ikon kelima. Persampahan selalu berkaitan dengan karakter orang atau masyarakatnya. Pendidikan karakter ini pun menjadi penting jika dikaitkan dengan persampahan. Oleh sebab itu, sekolah yang dilabeli ikon ini dianggap sudah berkomitmen pada pengelolaan sampah dan aktif dalam klub atau ekstrakurikuler yang berwawasan lingkungan. Keenam, LSM atau Organisasi Masyarakat. Tak dapat dimungkiri, LSM atau ormas ikut berperan aktif yang positif dalam pengelolaan sampah kota. Simbol ini menyatakan bahwa di lokasi tersebut ada LSM atau ormas yang berkomitmen pada pengelolaan sampah dan dapat memberikan informasi serta kegiatan rutin di bidang persampahan.
Ketujuh, Ahli Lingkungan. Lokasi di peta yang diikoni oleh gambar ini menyatakan bahwa masyarakat dapat memperoleh informasi, ilmu dan teknologi di bidang lingkungan, khususnya persampahan di tempat tersebut. Perguruan tinggi, LSM, dan ormas dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat. Kedelapan, TPS Terpadu. Daerah yang berikon ini dianggap sudah memiliki TPS (Tempat Penyimpanan Sementara Sampah) dan sudah melaksanakan kegiatan 3R (reduce, reuse, recycle) dan pengomposan sehingga dapat dijadikan contoh bagi TPS lainnya yang belum terpadu.
Masih ada beberapa poin lain di dalam draft Peta Hijau yang belum ditulis dalam artikel ini. Intinya, tulisan ini bermaksud memberikan informasi kepada masyarakat bahwa Kota Bandung yang berusia 200 tahun ini akan menjadi kota pertama di Indonesia yang memiliki Peta Hijau Persampahan. Peta ini mudah-mudahan sebagai wujud keseriusan masyarakat (dan pemerintah) dalam membuat solusi masalah sampah di Kota Bandung. Seluruh kota dan kabupaten di Indonesia diharapkan ikut membuat peta ini sebagai media informasi dan pendidikan bagi masyarakatnya.
Akhir kata, Peta Hijau yang bertema sampah hanyalah tahap awal dari serangkain Peta-Peta Hijau lainnya yang harus dimiliki oleh Kota Bandung agar masyarakat ikut terlibat dalam kepedulian terhadap lingkungan. Peta Hijau tematik selanjutnya yang harus dibuat ialah Peta Hijau Air Minum, Peta Hijau Air Limbah, Peta Hijau Polusi Udara, dan Peta Hijau Drainase.
Selamat ulang tahun Kota Bandung, Bunganya Kota-kota Pegunungan di Nusantara (der bloem der indische bergsteiden).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar