Oleh Gede H. Cahyana
Pertanian, khususnya di
Indonesia sudah berkembang sejak ratusan tahun silam dan mengalami peningkatan
secara ekstensifikasi dan intensifikasi dengan mekanisasi. Budaya agrobisnis
ini penting bagi manusia. Tetapi ada dampak yang mungkin belum disadari, yaitu
pertanian sebagai penyumbang besar gas-gas rumah kaca penyebab pemanasan Bumi
karena peningkatan temperatur di atas muka bumi dan pada lapisan bawah
atmosfer. Istilah yang digunakan adalah pemanasan (penghangatan) global (global
warming) yang merujuk pada dampaknya yang berpengaruh ke seluruh dunia.
Lalu apa penyebab pemanasan tersebut?
Perbedaan energi radiasi
matahari yang masuk ke bumi dengan yang dipantulkannya kembali ke atmosfer
mengalami pergeseran kesetimbangan. Sebabnya ialah penyerapan oleh benda-benda
dan makhluk hidup yang dilewatinya dan di atmosfer dipantulkan kembali ke bumi
oleh gas-gas rumah kaca seperti uap air (awan/H2O), N2O, CFC, CO2 dan CH4.
Gas-gas ini dapat langsung mempengaruhi panas muka bumi. Selain itu ada gas
yang secara tak langsung mempengaruhi panas bumi dan terjadi karena reaksi
fotokimia/kimia seperti CO, NOx
dan SOx. Di atmosfer gas-gas ini dapat membentuk lapisan yang sifatnya seperti
kaca/lensa sehingga cahaya yang melewatinya dapat dibiaskan, diserap,
dipantulkan, disimpangkan, dll.
Efek rumah kaca dapat
diumpamakan seperti sebuah mobil di bawah panas matahari dan kita berada di
dalamnya. Akan terasa ada peningkatan panas dan kita kegerahan, apalagi
ditambah dengan gas CO2 hasil pernapasan kita. Makin banyak orang di dalam
mobil, makin cepat panas yang dirasakan. Atmosfer bumi juga dapat dianggap
sebagai atap kaca yang tembus cahaya sehingga sinar matahari dapat masuk dan
sampai ke permukaan Bumi dan dipantulkan kembali ke atmosfer. Hanya saja
pantulan sinar inframerah (gelombang panjang) terhalang oleh gas-gas rumah kaca
tersebut sehingga berbalik memantul lagi ke Bumi. Inilah yang meningkatkan
panas muka Bumi. Contoh yang jelas adalah sesaat sebelum hujan di mana ada
banyak awan (uap air) sehingga temperatur terasa lebih panas dan baru berakhir
setelah hujan turun.
Sawahkah penyebabnya?
Inilah pertanyaan kita. Sampai detik ini, negara-negara maju selalu dituding
sebagai negara yang bertanggung jawab pada pemanasan global karena banyak
menghasilkan gas rumah kaca khususnya CO2 dari kegiatan industri dan
transportasi. Ini betul adanya. Tetapi perlu dicatat, negara berkembang pun
menjadi penyumbang gas rumah kaca yang besar dari lahan pertaniannya. Betulkah
demikian?
Pertanian yang didominasi
oleh padi banyak menghasilkan metana (CH4) yang juga merupakan gas rumah kaca. Sebuah
riset menyatakan bahwa emisi metana mencapai ratusan juta ton pertahun. Emisi
ini dimulai dari sebelum padi ditanam (pratanam) atau pesemaian, pada saat
sawah disiapkan untuk ditanami yang disebut nenggala. Pada tahap ini terjadi
pembusukan anaerobik di dalam tanah yang melepaskan metana melalui gelembung
udara yang meletup-letup di permukaan air sawah. Emisi gas ini terus
berlangsung hingga panen. Pascapanen bukannya menurun, melainkan meningkat
lantaran pembusukan batang, daun dan biji padi di dalam lumpur sawah.
Sejumlah parameter yang
mempengaruhi emisi gas CH4 antara lain cuaca (temperatur, kelembaban), jenis
pupuk, dan jadwal pengairan. Termasuk warga yang mengangon bebek yang jumlahnya
ratusan ekor setelah panen. Kotoran bebek dapat menjadi sumber bakteri bagi
sawah sekaligus sumber karbon dan nutrien. Begitu pun pupuk dengan kadar
nitrogen yang tinggi seperti urea dan NPK akan meningkatkan perkembangan
bakteri metanogenik sehingga menghasilkan emisi metana yang lebih banyak. Sawah
yang tergenang pun menghasilkan lebih banyak metana daripada sawah yang airnya
mengalir kontinu.
Jika demikian, haruskah
sawah dilikuidasi? Saya yakin, bukan ini solusinya. Apalagi metana sebetulnya
bisa digunakan sebagai sumber energi potensial dan sawah adalah penghasil
metana terbesar dari semua kegiatan manusia jika dibandingkan dengan gas rumah
kaca lainnya. Masalahnya adalah bagaimana memanfaatkan metana ini agar dapat
ditampung dan digunakan sebagai bahan bakar yang ekonomis dan mengurangi dampak
pemanasan global. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar