• L3
  • Email :
  • Search :

1 Januari 2013

Resafel ke-3 Kabinet Raja

Resafel ke-3 Kabinet Raja
Oleh Gede H. Cahyana

Sejak seorang ponggawa lengser keprabon lantaran kasus di Perdikan Ngumbalang Hardjo, berhembuslah wacana tukar-pasang ponggawa. Kejadian ini berselang setunggal sasih setelah pedati-pedati di kerajaan itu bertubrukan, mesin terbangnya berjatuhan, dan perahu-perahunya tenggelam. Ular besinya pun masuk jurang lantaran roda besinya ke luar bantalan atau longsor tanahnya. Malah tak sampai sepekan kabinet raja diresafel kaping dua, dua ular besinya sudah pula ke luar rel. Sementara itu, lumpur panas di Perdikan Timur terus menggelegak, merusak jalan tol pedati dan rel roda besi. Gegerlah seantero negeri. Raja murka. Angkaranya memerahkan kuping ponggawa.

Nyata sudah, kabinet Kerajaan Bersatu negeri Mandalagiri bertukar ponggawa kaping sasih Karo. Ada beberapa yang baru, ada juga yang anyar tapi lawas, dan ada pula mantan kepala perdikan di negeri Timur. Memang asa telah ditanam agar ponggawa mampu membawa ekonomi kerajaan menjadi lebih baik dan mantap, agar busung lapar, kelaparan atau apapun namanya, bisa berkurang. Ada banyak saudagar luar membawa ringgit ke dalam istana. Selain itu, tugas besar ponggawa baru tak lain daripada penstabilan ekonomi tanpa gejolak seperti pada rusuh massal saat raja lengser pascatridasawarsa memangku negeri itu.

Menurut warta teranyar harian Serat Centono, tukar-menukar posisi itu demi menyelamatkan muka ponggawa agar masih tampak berwibawa di mata rakyat Kerajaan Mandalagiri. Muka-muka itu pada masa lalu pernah dianggap kaki tangan raja yang lengser keprabon lantaran gerakan brutalyudha atau minimal punya ikatan kekerabatan. Asas pini sepuh anutannya dan tepo selironya sebagai pemangku adat selalu menjunjung prinsip mikul dhuwur mendhem jero. Tatkala urun rembuk tentang arah tumbuh kerajaan, semua lurah, demang, panditha, ponggawa dan tetua perdikan tanah seberang telah seia-sekata. Kerajaan seberang pun ramai mengutus dutanya untuk bersahabat luhur, menimba ilmu ulah kanuragan dan ulah jiwa. Balas kunjung kerap dilaksanakan hingga ke negeri Jagatnatha di tataran Antah Berantah yang butuh tujuh siang tujuh malam perjalanan naik kuda sembrani.

Itulah kedigjayaan Raja yang pernah memimpin paguyuban hulubalang di kerajaan itu. Pangkatnya mencapai taraf tertinggi, yaitu Pangageng Utomo sepulang dari akademi di Breda, Nederlands. Di tataran olah-ilmu, Sinuhun berhasil merengkuh Mahaguru setelah dinobatkan menjadi Doctor Ingenieur dari Landbouwuniversiteit. Selain pamornya itu, ia pun menyunting sekar kedaton yang mewangi nan elok, memukau bukan hanya yang empunya tapi juga hulubalang dan rakyatnya. Hanya sayang, Sang Raja acap gundah-gulana karena permaisurinya tak pernah tersenyum lagi setelah penobatannya menjadi raja. Ini tentu masalah besar apalagi saat jamuan makan malam di hadapan raja-raja sahabat.

Setelah sejumlah upaya, ditemukanlah siasat agar kuntum itu menyungging lagi. Atas usul paguyuban penasihat raja, tepat purnama bulan kesembilan ketika orang terlelap di tengah sunyi malam, serdadu penjaga istana diperintahkan membunyikan genderang perang. Pecahlah keheningan malam menjadi hiruk-pikuk dan kepanikan. Bunga api di menara kerajaan pun menghiasi langit. Tampak indah. Dan benarlah, Permaisuri tersenyum manis, mengalahkan keindahan bulan bulat terselimuti awan tipis saat itu. Ceria sekali ia, tampak dari semburat merah merona pipinya, membuat terkesiap darah pemandangnya.

Sementara itu, rakyat kian panik sambil memanggul tombak, busur dan anak panah serta menghunus keris. Riuh rendah teriakannya, berlari kian kemari tak tentu arah. Tapi mereka tetap belum tahu, dari mana arah musuh menyerang istana. Baru setelah obor mati karena minyaknya habis, mereka tersadar bahwa genderang tadi hanyalah untuk memuaskan raja, ponggawa, kerabat istana, hulubalang dan penasihat Raja. Senyaplah lagi suasana. Sembari masuk ke serambi biliknya, terdengar gumaman keluhan dan sungutan kekecewaan. Beginilah nasib wong cilik. Minyak mahal habis sia-sia, kantuk berat kian terasa tapi hati terus terjaga, waswas besok harus puasa. Tak punya lagi apa-apa.

Triwarsa berselang menjadi raja, di tengah evaluasi politisi lawan dan pengamat yang intensif memata-matai sepak terjangnya, Raja tetap menjalankan rutinitasnya. Puas membekas, tenteramlah hatinya melihat begitu indah senyum itu. Barangkali, banyak yang cemburu melihat aku bahagia seperti ini. Punya istri cantik, tanah perdikan luas-makmur yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Rakyat pun mendukungku. Buktinya, tak ada yang kecewa atas malam “rusuh” itu. Resafel ponggawa dan hulubalang pun tak masalah. Harga-harga di pasar Giripurwo tetap stabil. “Paberjk Badjoe” di Wonitirto tetap berproduksi. Begitu gumam Sang Raja setiap ia duduk santai atau tatkala di pembaringan. Nyenyaklah tidurnya di samping istrinya nan rancak bana.

Tapi ia keliru rupanya. Tanpa disadarinya, kalangan dekat yang kepayang dengan gelimang harta, kemudahan dan berbagai hak privilese membuatnya kurang awas lan waspodo. Ponggawa, hulubalang dan prajurit pun terbuai sehingga tak siap lagi menangkal kemungkinan terburuk. Karenanya, ketika benar musuh menyerbu dari delapan penjuru angin, mereka terlena dan tak sigap lagi. Istana telah dikepung dari utara, timur dan barat. Padahal, daerah itulah sumber utama dukungan raja yang juga banyak memberikan upeti untuk pembangunan istana. Suara tetabuhan genderang perang memang terdengar dari kejauhan, menyusup ke pori-pori gedhek rumah penduduk. Namun terlambat. Tak ada lagi rakyat yang bangun dan peduli karena pertahanan berbasis massa telah sirna. Rakyat sudah tak percaya lagi. “Pasti Raja ingin melihat senyum manis permaisuri lagi,” bisik para suami kepada istrinya sambil menggeliat di atas dipan-dipan reyotnya.

Tutur sahibul hikayat, kerajaan itu, esoknya, telah dikuasai musuh, tergadaikan ke orang seberang yang putih kulitnya, tirus parasnya, mancung hidungnya. Yang sangat menyedihkan, musuh itu ternyata kalangan yang berkedok membantu dana pembangunan istana dan membantu sebuah perdikan yang luluh-lantak akibat “geger segoro” tsunami. Rupanya, telah lama dan dengan sabar mereka mengintai aktivitas istana dari rumah-rumah sewaan kecil di sekitar istana dan dari nusa-nusa di Segoro Tjina Kidul. Itulah ondergrondse actie.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar