Oleh Gede H. Cahyana
Sejak seorang ponggawa lengser keprabon
lantaran kasus di Perdikan Ngumbalang Hardjo, berhembuslah wacana
tukar-pasang ponggawa. Kejadian ini berselang setunggal sasih setelah pedati-pedati
di kerajaan itu bertubrukan, mesin terbangnya berjatuhan, dan perahu-perahunya
tenggelam. Ular besinya pun masuk jurang lantaran roda besinya ke luar bantalan
atau longsor tanahnya. Malah tak sampai sepekan kabinet raja diresafel kaping
dua, dua ular besinya sudah pula ke luar rel. Sementara itu, lumpur panas di
Perdikan Timur terus menggelegak, merusak jalan tol pedati dan rel roda besi.
Gegerlah seantero negeri. Raja murka. Angkaranya memerahkan kuping ponggawa.
Nyata sudah, kabinet Kerajaan Bersatu negeri
Mandalagiri bertukar ponggawa kaping sasih Karo. Ada beberapa yang baru, ada juga yang anyar
tapi lawas, dan ada pula mantan kepala perdikan di negeri Timur. Memang asa
telah ditanam agar ponggawa mampu membawa ekonomi kerajaan menjadi lebih baik
dan mantap, agar busung lapar, kelaparan atau apapun namanya, bisa berkurang. Ada
banyak saudagar luar membawa ringgit ke dalam istana. Selain itu, tugas besar
ponggawa baru tak lain daripada penstabilan ekonomi tanpa gejolak seperti pada
rusuh massal saat raja lengser pascatridasawarsa memangku negeri itu.
Menurut warta teranyar harian Serat
Centono, tukar-menukar posisi itu demi menyelamatkan
muka ponggawa agar masih tampak berwibawa di mata rakyat Kerajaan Mandalagiri.
Muka-muka itu pada masa lalu pernah dianggap kaki tangan raja yang lengser
keprabon lantaran gerakan brutalyudha atau minimal punya ikatan kekerabatan.
Asas pini sepuh anutannya dan tepo selironya sebagai pemangku adat selalu menjunjung
prinsip mikul dhuwur mendhem jero. Tatkala urun rembuk tentang arah
tumbuh kerajaan, semua lurah, demang, panditha, ponggawa dan tetua perdikan
tanah seberang telah seia-sekata. Kerajaan seberang pun ramai mengutus dutanya
untuk bersahabat luhur, menimba ilmu ulah kanuragan dan ulah jiwa. Balas
kunjung kerap dilaksanakan hingga ke negeri Jagatnatha di tataran Antah
Berantah yang butuh tujuh siang tujuh malam perjalanan naik kuda sembrani.
Itulah kedigjayaan Raja yang pernah memimpin
paguyuban hulubalang di kerajaan itu. Pangkatnya mencapai taraf tertinggi,
yaitu Pangageng Utomo sepulang dari akademi di Breda, Nederlands. Di tataran
olah-ilmu, Sinuhun berhasil merengkuh Mahaguru setelah dinobatkan menjadi Doctor Ingenieur dari Landbouwuniversiteit. Selain
pamornya itu, ia pun menyunting sekar kedaton yang mewangi nan elok, memukau
bukan hanya yang empunya tapi juga hulubalang dan rakyatnya. Hanya sayang, Sang
Raja acap gundah-gulana karena permaisurinya tak pernah tersenyum lagi setelah
penobatannya menjadi raja. Ini tentu masalah besar apalagi saat jamuan makan
malam di hadapan raja-raja sahabat.
Setelah sejumlah upaya, ditemukanlah siasat
agar kuntum itu menyungging lagi. Atas usul paguyuban penasihat raja, tepat
purnama bulan kesembilan ketika orang terlelap di tengah sunyi malam, serdadu
penjaga istana diperintahkan membunyikan genderang perang. Pecahlah keheningan
malam menjadi hiruk-pikuk dan kepanikan. Bunga api di menara kerajaan pun
menghiasi langit. Tampak indah. Dan benarlah, Permaisuri tersenyum manis,
mengalahkan keindahan bulan bulat terselimuti awan tipis saat itu. Ceria sekali
ia, tampak dari semburat merah merona pipinya, membuat terkesiap darah
pemandangnya.
Sementara itu, rakyat kian panik sambil
memanggul tombak, busur dan anak panah serta menghunus keris. Riuh rendah
teriakannya, berlari kian kemari tak tentu arah. Tapi mereka tetap belum tahu,
dari mana arah musuh menyerang istana. Baru setelah obor mati karena minyaknya
habis, mereka tersadar bahwa genderang tadi hanyalah untuk memuaskan raja,
ponggawa, kerabat istana, hulubalang dan penasihat Raja. Senyaplah lagi
suasana. Sembari masuk ke serambi biliknya, terdengar gumaman keluhan dan
sungutan kekecewaan. Beginilah nasib wong cilik. Minyak mahal habis sia-sia,
kantuk berat kian terasa tapi hati terus terjaga, waswas besok harus puasa. Tak
punya lagi apa-apa.
Triwarsa berselang menjadi raja, di tengah
evaluasi politisi lawan dan pengamat yang intensif memata-matai sepak
terjangnya, Raja tetap menjalankan rutinitasnya. Puas membekas, tenteramlah
hatinya melihat begitu indah senyum itu. Barangkali, banyak yang cemburu
melihat aku bahagia seperti ini. Punya istri cantik, tanah perdikan luas-makmur
yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Rakyat pun
mendukungku. Buktinya, tak ada yang kecewa atas malam “rusuh” itu. Resafel
ponggawa dan hulubalang pun tak masalah. Harga-harga di pasar Giripurwo tetap
stabil. “Paberjk Badjoe” di Wonitirto tetap berproduksi. Begitu gumam Sang Raja
setiap ia duduk santai atau tatkala di pembaringan. Nyenyaklah tidurnya di
samping istrinya nan rancak bana.
Tapi ia keliru rupanya. Tanpa disadarinya,
kalangan dekat yang kepayang dengan gelimang harta, kemudahan dan berbagai hak
privilese membuatnya kurang awas lan waspodo. Ponggawa, hulubalang
dan prajurit pun terbuai sehingga tak siap lagi menangkal kemungkinan terburuk.
Karenanya, ketika benar musuh menyerbu dari delapan penjuru angin, mereka
terlena dan tak sigap lagi. Istana telah dikepung dari utara, timur dan barat. Padahal,
daerah itulah sumber utama dukungan raja yang juga banyak memberikan upeti
untuk pembangunan istana. Suara tetabuhan genderang perang memang terdengar
dari kejauhan, menyusup ke pori-pori gedhek rumah penduduk.
Namun terlambat. Tak ada lagi rakyat yang bangun dan peduli karena pertahanan
berbasis massa telah sirna. Rakyat sudah tak percaya lagi. “Pasti
Raja ingin melihat senyum manis permaisuri lagi,”
bisik para suami kepada istrinya sambil menggeliat di atas dipan-dipan
reyotnya.
Tutur sahibul hikayat, kerajaan itu, esoknya,
telah dikuasai musuh, tergadaikan ke orang seberang yang putih kulitnya, tirus
parasnya, mancung hidungnya. Yang sangat menyedihkan, musuh itu ternyata
kalangan yang berkedok membantu dana pembangunan istana dan membantu sebuah
perdikan yang luluh-lantak akibat “geger segoro” tsunami. Rupanya, telah lama
dan dengan sabar mereka mengintai aktivitas istana dari rumah-rumah sewaan
kecil di sekitar istana dan dari nusa-nusa di Segoro Tjina Kidul. Itulah ondergrondse
actie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar