Oleh Gede H. Cahyana
Tulisan ini
berangkat dari pengalaman naik
bis dari terminal baru Tirtonadi, Solo pada libur tahun baru 2013. Ruang penjualan
tiket dilengkapi dengan pengondisi udara atau AC tetapi sayang, banyak penumpang merokok sambil
makan di warung atau
toko di dalam ruang
loket. Pengumuman
“area bebas asap rokok” sudah ditempelkan di pintu masuk dekat loket karcis
peron. Namun demikian, penjual tiket atau penjaga loket yang memang
terbiasa merokok, tidak
mampu menahan diri untuk tidak merokok sehingga menambah polusi asap di ruangan
ber-AC itu.
Asap knalpot juga
masuk ke dalam ruangan ini karena pintu yang menuju tempat parkir bis dan lajur keberangkatan bis terbuka terus-menerus. Pintu masuk
ke ruang ini dari arah penjual karcis peron juga terbuka terus. Asap knalpot
yang kaya jelaga mencemari udara di dalam ruang ber-AC itu. Keberadaan AC hampir tidak berpengaruh
karena udara tetap panas, baik akibat gas karbondioksida hasil pernapasan
manusia maupun akibat asap dan udara panas di luar yang masuk ke ruangan.
Kondisi ini justru menjadi boros energi karena AC terus bekerja tetapi udara
tidak dingin. Malah orang-orang mengisap gas beracun dari knalpot yang dihembus
angin dan masuk dari pintu di depan jalur keberangkatan bis.
Kelemahan lainnya, toilet pria tidak
nyaman karena orang yang buang air kecil di urinal langsung dapat dilihat oleh
penumpang yang antri di depan loket bis masing-masing. Seharusnya ruang ini
dapat menjaga privasi orang yang buang hajat kecil dan besar. Untuk ukuran
terminal yang besar, jumlah urinal hanya empat buah sehingga antrian menjadi
panjang dan lama. Kalau
pengguna toilet digratiskan maka petugas kebersihan harus siap setiap saat
untuk mengepel lantai agar bersih dan kesat. Lantai licin dapat memelesetkan
pengguna, terutama orangtua dan anak-anak. Bayarpun sebetulnya bagus-bagus saja
asalkan uang itu digunakan untk menjaga kebersihan dan kesehatan toilet dan
perawatan tangki septik atau IPAL-nya. Sebab, tak selamanya yang gratis itu
akan membawa dampak baik bagi penumpang dan awak bis serta pegawai terminal
lainnya.
Petugas kebersihan
perlu ditambah, terutama yang menyapu lantai dan mengepelnya. Bak-bak sampahnya berukuran kecil sehingga hanya beberapa jam saja sudah penuh.
Gantilah bak sampah dengan yang lebih besar dan mudah diangkat, upayakan ada
minimal dua di satu
lokasi, yaitu untuk sampah “basah” dan sampah “kering”. Agar penumpang yang sudah biasa
membuang sampah sembarangan
menjadi terdidik sedikit demi sedikit, maka sertakan gambar-gambar jenis
sampah di bak sampah tersebut. Sampah berserakan di ruang tunggu menjadi bukti
bahwa masyarakat pengguna terminal belum paham dan belum terbiasa menaruh
sampah di bak-bak sampah yang disediakan. Makin banyak bak sampah tentu makin
bagus, tentu saja letakkan di tempat yang tepat dan relatif dekat dari kursi-kursi tunggu.
Agar tidak terjadi teriak sana teriak
sini, ruang tunggu perlu juga dilengkapi dengan pengeras suara sehingga awak bis mudah
memberitahukan bahwa bis sudah siap berangkat atau memberitahu penumpang agar
segera naik ke bis di jalur sekian. Kalau pemberitahuan secara manual, yaitu
awak atau petugas loket langsung datang ke ruang tunggu untuk memberitahu penumpang tentu tidak
efektif. Penumpang
jangan sampai tergesa-gesa dan tidak awas akibat diteriaki oleh awak atau
petugas loket. Sebab, ada potensi bahaya di terminal ini, yaitu ketika
penumpang, khususnya
anak-anak dan orang tua, menuju tempat parkir bis. Mereka harus melewati jalur
keberangkatan bis. Ini membahayakan keselamatan penumpang karena gerakan bis
begitu cepat dan sopir juga dalam kondisi lelah sehingga keawasannya berkurang.
Yang paling parah
adalah lokasi parkir bis.
Bis mengeluarkan asap knalpot dengan pencemarnya tetapi asap ini tidak bisa langsung membubung ke atas karena ada
plafon beton. Penumpang
harus berada di area penuh asap ini sehingga membahayakan kesehatan paru-paru dan saluran pernapasannya.
Apalagi awak bis yang setiap saat berada di sini tentu polutan asap makin
banyak masuk ke paru-parunya. Ancaman kesehatan paru dapat terjadi dan
merugikan awak bis dan karyawan bis yang setiap hari berada di terminal.
Selayaknya atap terminal itu tinggi seperti hanggar atau stasiun kereta api sehingga udara dapat keluar
dengan bebas. Yang terbaik justru tanpa atap agar pencemar udara dari knalpot
bisa langsung lepas ke
udara bebas. Kalau dibatasi oleh plafon maka gas pencemar akan berputar-putar
saja dan mendedah semua paru-paru orang di terminal. Apalagi bayi dan
anak-anak, ini dapat mengurangi daya tahan tubuhnya.
Green terminal sesungguhnya bermakna terminal
yang hemat energi sehingga meminimalkan AC dan memaksimalkan pendingin dari
pohon yang tumbuh di sekitarnya. Bayangkan, kalau listrik padam, maka ruang itu
akan menjadi pengap dan panas dan akan ada orang yang pingsan karena kekurangan
oksigen. Stasiun kereta api yang jarang lokomotifnya saja beratap tinggi dan
ada celah ke udara luar. Lantas, kenapa terminal yang dipadati puluhan, bahkan
ratusan bis beratap rendah tanpa celah ventilasi udara. Asap knalpot terjebak
di sekitarnya dan masuk sebanyak-banyaknya ke paru-paru awak bis dan penumpang.
Apalagi penumpang minimal menunggu sampai setengah jam dalam keadaan pintu bis
terbuka sehingga otomatis asap juga masuk ke kabin bis dan berputar-putar di
dalam bis, diisap oleh penumpang dan awak bis.
Akhir kata, tulisan ini dimaksudkan
sebagai masukan kepada para pihak yang berkaitan dengan pembangunan terminal
baru Tirtonadi agar sudi memperhatikan kesehatan dan keselamatan awak bis dan
penumpangnya dari berbagai fasilitas yang berpotensi malfungsi. *
yang toilet itu menurut saya juga fail pak, yg toilet keberangkatan bus ke barat, yg lain ane kurang tau kondisinya, harusnya didesain agar orang yang lewat depan pintu toilet itu tidak melihat langsung orang kencing, semoga menjadi perbaikan kedepannya.
BalasHapus