• L3
  • Email :
  • Search :

24 Agustus 2014

Adakah Larangan Jilbab di Bali?

Adakah Larangan Jilbab di Bali?
Oleh Gede H. Cahyana


Agustus 2014 ini media massa cetak dan elektronik dipenuhi oleh berita tentang larangan jilbab di Bali. Sebetulnya menyebut Bali sebagai sebuah provinsi tentu tidak tepat. Sebab, larangan itu hanya terjadi di Hypermart menurut berita yang tersebar. Dalam hemat saya, kejadian ini karena salah paham dan kurang informasi di pihak pelarang. 

Menurut Ida Bagus Yudha Triguna, Dirjen Bimas Hindhu di Kementerian Agama, isu ini berawal dari surat perusahaan yang menyarankan agar karyawannya mengenakan jilbab selama bulan Ramadhan. Tentu maksudnya bisa diduga, yaitu agar mendukung suasana bulan suci, terutama untuk menarik simpati kaum muslim dan muslimah untuk belanja. Lantas, The Hindhu Center of Indonesia memberikan tanggapan dengan cara meminta agar substansi surat tersebut tidak berlaku di Bali.


Bagaimana ajaran Hindhu memberikan ruang dalam toleransi antarumat beragama? Dalam ajaran Hindhu, ada Tat Twam Asi yang artinya, menurut guru agama Hindhu waktu di SD, Ida Bagus Manuaba, “aku adalah kamu, kamu adalah aku. Adapun arti menurut Wikipedia, “itu adalah kau”. Tafsir atas kalimat tersebut adalah kesamaan antara setiap orang dalam hak dan kewajiban, saling menghargai, dan adil. Jika engkau saya sakiti, maka rasa sakitmu itu akan saya rasakan sama jika engkau menyakiti saya. Dengan satu kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa umat Hindhu yang mengamalkan ajaran tersebut akan toleran kepada umat agama lain, baik Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan aliran kepercayaan lainnya.

Terlepas dari kasus di Hypermart itu, secara umum kehidupan kaum muslim dan Hindhu di Bali, sepengetahuan saya, baik-baik saja. Ketika Jum’atan (shalat Jum’at), polisi yang beragama Hindhu pun mengatur lalu-lintas dengan baik. Begitu juga pada waktu Idulfitri, mereka mengamankannya dibantu oleh warga setempat yang beragama Hindhu. Anak-anak sekolah, misalnya di SMP dan SMA, selalu toleran. Guru pun begitu, tidak usil atas gerak tubuh dan gestur muslim saat shalat. Memang pertanyaan tentu ada, misalnya pertanyaan antarteman akrab, kenapa cara ibadah seperti itu. Kenapa harus pakai baju itu, kenapa ke Ka'bah dan sebagainya. Sekadar contoh, kalau saya bertemu teman, mereka mengajak makan, selalu saja mereka berusaha untuk menyajikan masakan yang non-babi, misalnya telur, dll.  Sepengetahuan mereka, orang Islam itu tidak boleh makan babi sehingga mereka pun tidak akan menghidangkan makanan yang demikian. Ucapan salam pun mereka fasih, dilontarkan saat bertemu atau bertamu di rumah, bahkan dalam rapat resmi di kantor pemerintah daerah, kalau ada kaum muslim di dalam rapat itu, mereka pun mengucapkan assalaamu'alaikum. Ini tentu saja terlepas dari pandangan Islam perihal salam. Mereka memang tidak tahu dan belum paham soal aqidah Islam. 

Secara historis, umat Islam dan Hindhu sudah lama bersaudara di Bali. Tidak hanya di "Kampung Jawa", muslimin - muslimah pun berbaur di dalam banjar, di tempat tinggalnya di perumahan atau permukiman. Bahkan ada daerah yang bisa dikatakan 99,99% beragama Islam seperti di Soka Tabanan dan Pegayaman Buleleng. Interaksi pun masif sekaligus cair. Dalam setiap Galungan dan Kuningan, umat Hindhu ngejot (memberikan makanan, kue, buah-buahan) kepada kaum muslim dan agama lainnya. Pada hari Idulfitri, kaum muslim membagikan makanan kepada pemeluk Hindhu dan agama lainnya, di sekitar rumahnya, yaitu para tetangga. Yang seperti ini menjadi kebiasaaan sampai saat ini. Banyak juga terjadi pernikahan antara pemeluk Hindhu dan muslimin - muslimah, baik lelaki muslim dengan wanita Hindhu atau lelaki Hindu dengan wanita muslimah. Ada yang menjadi mualaf, ada juga yang pindah agama menjadi Hindhu. Ini fakta di Bali dan sudah terjadi sejak lama.

Lantas, adakah larangan jilbab di Bali?

Kalau merujuk pada kasus di Hypermart itu, memang ada, dan itu terjadi lantaran salah paham atas surat yang menyarankan karyawan mengenakan busana muslim pada bulan Ramadhan. Karena suratnya dibuat satu lembar dan diartikan sebagai kewajiban juga bagi yang non-muslim - muslimah, maka ini yang menimbulkan “reaksi jawaban” dari The  Hindhu Center of Indonesia lantaran kurang informasi dan komunikasi (salah paham atas substansi surat). Artinya, larangan itu hanya di Hypermart saja dan tidak terjadi secara luas, apalagi di Bali sebagai sebuah provinsi.

Mari laksanakan pasal 29 UUD 1945 dan sila pertama Pancasila. Semua warga negara Indonesia mempersilakan setiap umat beragama untuk melaksanakan ajarannya masing-masing. Hindari isu yang merusak persatuan umat beragama. Umat beragama harus bersatu, sedangkan ajaran agamanya jangan disatukan. Ajarannya tetap ekslusif sesuai dengan petunjuk kitab suci dan nabi masing-masing. *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar