• L3
  • Email :
  • Search :

6 Juni 2020

New Normal, Sudah Waktunya?

New Normal, Sudah Waktunya?
Oleh Gede H. Cahyana

Rencana new normal yang disampaikan pemerintah pusat menimbulkan pertanyaan. Sudahkah waktunya? Tergesa-gesakah? Apakah mengarah ke herd immunity atau dalam istilah lain adalah prinsip the survival of the fittest, yang terkuat yang bertahan hidup? Tentu masyarakat juga paham bahwa geliat ekonomi menjadi alasan utama untuk memulai new normal. Perlu disampaikan bahwa ini bukan soal setuju atau tidak setuju. Tetapi ini semata-mata masalah waktu. Kapankah waktu yang tepat untuk new normal (normal baru)?
Sebelum muncul wacana normal baru, sudah ada warga yang ingin segera membuka usaha menjelang Idulfitri. Keinginan ini bisa dimaknai sebagai ingin segera kembali berusaha, bekerja, berjualan. Ingin kembali normal. Berkaitan dengan hal ini, warga masyarakat terbelah menjadi dua kelompok besar. Yang pertama adalah kelompok yang ingin segera bekerja atau membuka usaha. Umumnya di sektor perdagangan seperti pemilik toko, warung, jualan di pasar, pemilik mall dan pekerjanya. Termasuk pemilik bisnis transportasi seperti angkot, bis, ojek pangkalan dan online, travel. Juga bisnis pariwisata seperti hotel, biro jasa wisata, taksi, rental motor dan mobil. Mereka berupaya untuk memenuhi kebutuhan primer seperti sembako dan biaya sekolah dan kuliah anak-anaknya.

Kelompok kedua adalah orang-orang yang nyaman work from home, bekerja di (dari) rumah dan tetap berpenghasilan. Mereka merasa aman dari bahaya Covid-19 karena sedikit berinteraksi dengan masyarakat luas tetapi tetap produktif di bidang pekerjaannya. Finansial tetap tersedia meskipun tidak berlebih dengan mengatur konsumsi harian, membagi kebutuhan menjadi primer, sekunder, dan tersier. Biaya sekolah dan kuliah anak-anak bisa menjadi masalah bagi sebagian di antara kelompok kedua ini. Terlebih lagi yang anaknya banyak. Kelompok kedua ini ada yang menjadi pegawai negeri atau ASN ada juga yang pegawai swasta.

Jika demikian, tentu ada parameter yang bisa dijadikan tolokukur untuk menyatakan bahwa keadaan sudah normal, yaitu normal baru, normal yang berbeda dengan normal sebelum pandemi. Cara yang paling tepat untuk mulai memberlakukan normal baru adalah dengan merujuk pada basis data epidemiologi, demografi, dan geografi (wilayah, daerah hingga ke RT/RW). Tentu tidak mudah memperoleh data akurat sampai ke daerah terkecil karena keterbatasan uji swab dan uji cepat (rapid test). Juga keterbatasan alat dan bahan di laboratorium, keterbatasan tenaga medis, dan kendala biaya.

Namun demikian, statistik membantu dalam membuat perkiraan (forecasting). Bisa dibuat kurva insidensi epidemi dengan memasangkan waktu dan jumlah orang yang sakit. Yang harus dianalisis adalah data perkembangan jumlah korban, kecenderungan jumlah yang sembuh, penurunan jumlah yang meninggal yang diiringi dengan peningkatan uji swab di seluruh kabupaten dan kota. Dugaan secara epidemiologis inilah yang akan memberikan hasil akurat perihal waktu untuk memulai status normal baru. Setiap daerah memiliki kurva khas masing-masing.

Selain itu bisa juga dibuat analogi dengan meninjaunya dari aspek mikrobiologi. Aspek ini memberikan pandangan apakah normal baru bisa dilaksanakan pada bulan Juni 2020 ini ataukah tidak. Apakah bisa secara nasional atau hanya daerah tertentu saja.

Analogi mikrobiologi
Secara mikrobiologi, normal baru adalah kondisi setelah wabah (pascapandemi) yang sudah melewati fase penurunan (declining). Di dalam jurnal Annu. Rev. Microbiology, 1949: 3: 371-394, Jacques Monod menjelaskan pola pertumbuhan bakteri. Monod yang bekerja di Pasteur Institute di Paris, Prancis adalah orang pertama yang menulis tentang grafik pertumbuhan bakteri. Kurva pertumbuhan bakteri ini bisa dijadikan analogi untuk persebaran wabah oleh novel Coronavirus. Sekali lagi disebutkan bahwa kurva ini adalah analogi pertumbuhan dan pengurangan jumlah penderita Covid-19, bukan kajian epidemiologis. Kurva Monod ini hanya pendekatan untuk memperoleh gambaran awal, apakah sudah waktunya normal baru atau belum.

Kurva dimulai dari fase lag, yaitu tahap adaptasi dengan laju pertumbuhan nol. Fase lag ini di Indonesia terjadi pada Januari sampai dengan medio Februari 2020. Sebagian orang Indonesia, terutama yang bermain media sosial memberikan perhatian pada kasus Corona di Wuhan, China. Pada periode ini pemerintah pusat menanggapi dengan santai dan memberikan ujaran senda-gurau di media massa. Berikutnya adalah fase akselerasi, yaitu percepatan laju pertumbuhan tetapi belum ada yang dinyatakan sakit karena belum banyak uji swab, juga belum ada uji cepat (rapid test). Ini berlangsung hingga medio Maret 2020, dua pekan setelah Presiden Jokowi mengumumkan bahwa ada dua orang yang sakit akibat Corona pada 2 Maret 2020.

Mulai pekan ketiga Maret 2020 terjadilah fase eksponensial, yaitu kenaikan laju pertumbuhan jumlah penderita. Laju yang tinggi ini terus naik selama beberapa waktu sampai memasuki fase pelambatan (retardation) ketika laju pertumbuhan mulai menurun. Dalam skala nasional, yang tentu berbeda dengan kejadian di daerah-daerah, pada awal Juni 2020 masih berada di fase eksponensial. Sampai kapan? Sampai tercapai puncaknya dengan indikasi terjadi laju pertumbuhan nol sehingga jumlah pertambahan penderita relatif konstan dari hari ke hari. Ini disebut fase stationary. Fase ini bisa berlangsung beberapa pekan bergantung pada perilaku hidup dan interaksi sosial masyarakat.

Terakhir adalah fase penurunan (decline), yaitu laju pertumbuhan negatif yang artinya jumlah penderita berkurang seiring dengan pergantian hari. Lama waktunya juga bergantung pada perilaku masyarakat dalam interaksi sosial di sekitar rumah, di pasar, toko, mall, dan di tempat kerja. Termasuk kesungguhan penegakan hukum oleh aparatur terhadap warga masyarakat yang melanggar. Setelah ini dilewati barulah masuk ke fase new normal, yaitu ketika lajunya tidak berkurang lagi tetapi stabil. Stabil artinya naik dan turun silih berganti secara dinamis sehingga masyarakat menjadi terbiasa seperti halnya terbiasa dengan penyakit akibat virus lainnya.

Patut dipahami oleh masyarakat bahwa normal baru adalah keadaan yang diasumsikan normal dalam kehidupan sosial masyarakat dan konsisten melaksanakan protokol kesehatan dari hari ke hari. Sampai kapan? Sampai ditemukan vaksin yang betul-betul mampu melawan novel Coronavirus dan vaksinnya sudah diproduksi masal dan murah harganya. Boleh jadi anak balita pun akan diberikan vaksi ini seperti vaksin lainnya. 

Dengan berpatokan pada temuan vaksin inilah maka tatanan dunia baru atau new normal bisa dinyatakan valid di seluruh dunia. Semua orang di dunia tidak akan merasa terancam lagi oleh wabah Covid-19.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar