Bahaya Laten Virus Corona
Oleh Gede H. Cahyana
Pengamat Sanitasi Lingkungan Universitas Kebangsaan
Jejak genetis novel Coronavirus sudah ditemukan di dalam air limbah. Pernyataan ini dirilis oleh peneliti di RIVM National Institute for Public Health and the Environment di laman situsnya pada Maret 2020. Jejak di dalam air limbah domestik tersebut diperoleh dari sampel yang diambil di instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di bandara Schiphol dan di IPAL Kaatsheuvel, Netherland. Memang tidak semua sampel yang dianalisis menghasilkan data positif jejak genetis virus Corona baru. Tetapi sampel yang positif memberikan indikasi bahwa air limbah berpotensi menjadi sumber biakan Corona.
Materi genetis virus Corona juga pernah ditemukan di dalam air limbah dalam kasus wabah SARS (severe acute respiratory syndrome) tahun 2002/2003 di China. Dengan uji PCR (polymerase-chain reaction) asam nukleat SARS-CoV ditemukan di dalam air limbah sebelum proses disinfeksi di rumah sakit di Beijing. Setelah disinfeksi ternyata RNA SARS-CoV masih dapat dideteksi di dalam air limbah di rumah sakit Chinese People's Liberation Army, Beijing. Peneliti menyatakan bahwa virus mampu bertahan 14 hari di dalam air limbah pada temperatur 4 derajat Celcius, 2 hari pada 20 derajat Celcius, dan RNA virus dapat dideteksi selama 8 hari meskipun virus sudah dinonaktifkan.
Pengamat Sanitasi Lingkungan Universitas Kebangsaan
Jejak genetis novel Coronavirus sudah ditemukan di dalam air limbah. Pernyataan ini dirilis oleh peneliti di RIVM National Institute for Public Health and the Environment di laman situsnya pada Maret 2020. Jejak di dalam air limbah domestik tersebut diperoleh dari sampel yang diambil di instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di bandara Schiphol dan di IPAL Kaatsheuvel, Netherland. Memang tidak semua sampel yang dianalisis menghasilkan data positif jejak genetis virus Corona baru. Tetapi sampel yang positif memberikan indikasi bahwa air limbah berpotensi menjadi sumber biakan Corona.
Materi genetis virus Corona juga pernah ditemukan di dalam air limbah dalam kasus wabah SARS (severe acute respiratory syndrome) tahun 2002/2003 di China. Dengan uji PCR (polymerase-chain reaction) asam nukleat SARS-CoV ditemukan di dalam air limbah sebelum proses disinfeksi di rumah sakit di Beijing. Setelah disinfeksi ternyata RNA SARS-CoV masih dapat dideteksi di dalam air limbah di rumah sakit Chinese People's Liberation Army, Beijing. Peneliti menyatakan bahwa virus mampu bertahan 14 hari di dalam air limbah pada temperatur 4 derajat Celcius, 2 hari pada 20 derajat Celcius, dan RNA virus dapat dideteksi selama 8 hari meskipun virus sudah dinonaktifkan.
Bagaimana dengan air limbah domestik di
Indonesia? Setiap kota besar di Indonesia memiliki fasilitas IPAL. Kota Bandung
misalnya memiliki kolam oksidasi (oxidation
pond).
Kolam
Oksidasi
Bojongsoang adalah desa di tepi Sungai
Citarum. Di desa ini ada IPAL domestik jenis kolam oksidasi terluas (85 hektar)
di ASEAN. IPAL ini terdiri atas tiga jenis kolam. Kolam pertama yang menerima
air limbah disebut kolam anaerobik, yaitu kolam tanpa oksigen. Di kolam inilah
feses (tinja) orang yang andaikata berisi virus masuk pertama kali setelah
dibuang di water closet (WC). Pengolahan air limbah dilaksanakan oleh mikroba
anaerob yang kurang mampu mereduksi persistensi virus dibandingkan dengan
mikroba aerob.
Kedalaman kolam anarobik antara 3-5 m. Proses
pengolahan berlangsung selama 24 jam sehari, yaitu selama air limbah dari
penduduk mengalir ke dalam IPAL. Konsentrasi virus di dalam air limbah mentah
antara 5,000–100,000 pfu per liter (pfu: plaque
forming unit, satuan konsentrasi untuk virus). Virus tersebut mampu
direduksi oleh unit pengolahan. Tetapi efisiensi tidak mencapai 100%. Virus
yang mampu bertahan aktif kemudian mengalir ke kolam kedua, yaitu fakultatif.
Kedalaman kolam fakultatif antara
1,2–2,5 m. Secara alamiah kolam ini terbagi menjadi dua lapisan, yaitu lapisan
anaerobik di bagian bawah dan lapisan aerobik di bagian atas yang kaya oksigen.
Oksigen di lapisan aerobik ini berasal dari dua proses alamiah, yaitu reaerasi
dari atmosfer dan fotosintesis algae. Kondisi anaerobik di bagian bawah mendukung
pertumbuhan virus. Sedangkan di bagian atas yang aerob mampu mereduksi
persistensi virus. Kondisi aerobik ini membantu bakteri aerob menonaktifkan
virus.
Efluen (air olahan) kolam fakultatif kemudian
masuk ke kolam ketiga, yaitu maturasi. Kolam ini paling dangkal, antara 30–45
cm sehingga sinar matahari dapat menembus ke dasar kolam apabila airnya jernih.
Sinar ultraviolet mampu membasmi bakteri dan virus. Tetapi umumnya hanya efektif
di bagian permukaan air. Daya destruksi sinar ultraviolet berkurang apabila virus
berada makin dalam dari permukaan air. Adanya serpihan feses berukuran mikron
juga menyulitkan sinar matahari mengenai virus karena seolah-olah virus
sembunyi di dalam ruang feses. Begitu juga pada waktu malam ketika tidak ada sinar
matahari yang mengenai air limbah. Maka, efluen kolam maturasi ini pun belum
bisa bebas dari bakteri dan virus. Bakteri dan virus yang bertahan aktif di
kolam maturasi akhirnya dibuang ke Sungai Citarum. Potensi kontak bakteri dan virus
dengan manusia menjadi lebih besar.
Masalah lainnya, IPAL Bojongsoang tidak
dilengkapi dengan unit klorinasi. IPAL hanya mengandalkan peran bakteri dan
cahaya matahari dalam pengolahan air. Selayaknya ada, minimal digunakan secara
insidentil, seperti pada saat wabah Covid-19. Masalah berikutnya adalah Buang
Air Besar Sembarang (BABS). Mungkin masyarakat sudah buang air besar di dalam
WC (water closet) tetapi disalurkan
langsung ke selokan atau sungai. Perilaku buruk sanitasi seperti ini pernah
menimbulkan wabah penyakit hepatitis dengan 30.000 kasus di India karena air
limbah yang berlimpah virus masuk ke air Sungai Yamuna (Jumna).
Operator
Waspada
Operator IPAL Bojongsoang harus waspada
karena air limbah banyak mengandung bakteri dan virus. Juga mewaspadai aliran
air limbah yang mungkin teraduk (mixing)
secara alamiah sehingga bagian atas yang aerob bisa pindah ke bawah dan bagian
bawah yang anaerob bisa pindah ke atas. Fenomena ini disebut upwelling (balikan)
yang terjadi karena perbedaan densitas air akibat perubahan temperatur.
Selain air limbah, lumpur (sludge) juga berisiko. Lumpur dalam
pengolahan air limbah secara biologi adalah endapan biosolid atau bioflocc yang
terdiri atas banyak jenis mikroba dan virus. Lumpur di tiga jenis kolam
tersebut berpotensi menyebarkan patogen ke dalam air sungai, air tanah, dan
tanah yang dapat meningkatkan risiko terhadap kesehatan. Semua lumpur di kolam
anerobik, fakultatif dan maturasi berisiko karena cahaya matahari hanya mampu
mencapai permukaan air. Juga karena tidak terjadi disinfeksi oleh cahaya
matahari pada waktu malam.
Operator sebaiknya tidak kontak langsung
dengan lumpur tanpa APD (masker, sarung tangan, dan sepatu boots). Juga harus
disiplin memakai APD. Operator harus mendahulukan precautionary principle (prinsip kehati-hatian) karena bekerja di
lokasi yang justru bakteri sengaja dikembangbiakkan sebagai pengolah pencemar
organik.
Kalau bakteri berkembang dengan subur
maka subur juga potensi keaktifan virus karena bakteri bisa dijadikan inang
oleh virus. Virus mereplikasi diri di dalam sel bakteri anaerob yang jumlahnya
berlimpah di kolam oksidasi. Upaya tersebut perlu dilaksanakan sebagai cara
untuk memutus rantai pesebaran virus. Juga untuk mencegah bahaya laten munculnya
virus-virus baru dari air limbah yang masuk ke sungai pada masa yang akan
datang.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar