Bulan ini, yaitu Mei, ada empat peristiwa penting.
Yang pertama adalah Hari Buruh Internasional. Mayday, 1 Mei lalu. Banyak yang memvonis kaum buruh sebagai kaum marjinal, kaum pinggiran dan bisa dipermainkan oleh majikannya. Selama ini buruh selalu berada di bawah atau malah di telapak kaki majikan dan pemerintah. Padahal mereka sebetulnya saling butuh. Tripartit adalah segitiga sama sisi, sebuah ciri kesetaraan. Namun dalam penetapan upahnya, kaum buruh dianggap kumpulan orang bodoh dan dianggap akan menerima tanpa syarat setiap peraturan yang dibuat penguasa dan pengusaha. Demo buruh kemarin lusa adalah buktinya.
Peristiwa kedua terjadi sehari setelah Hari Buruh, yaitu Hari Pendidikan Nasional. Mendidik adalah poses pembelajaran. Proses artinya sedang berubah dan di sini diartikan sebagai proses perubahan dari tidak tahu (baca: bodoh) menjadi tahu atau berilmu. Selanjutnya, dengan ilmu itulah kalangan terdidik akan membuat alat dan teknologi demi mempermudah dan memajukan kehidupannya. Dan ini terkait erat dengan buruh di pabrik.
Namun demikian, adakah orang yang sudah sekolah bahkan sampai doktor disebut orang bodoh? Menurut saya, mereka adalah orang berilmu sampai batas-batas tertentu. Mereka tidak bodoh. Buruh pun tidak bodoh. Mereka pernah sekolah, minimal SMP. Bahkan jarang sekarang yang SMP. Banyak yang sudah lulus SMK atau SMA. Dengan parameter di alinea kedua itu bisa dikatakan bahwa buruh adalah kalangan berilmu. Sang majikan juga bukan orang bodoh. Mereka bahkan bergelar master, magister dalam ekonomi, akuntansi, dan manajemen. Mereka kalangan terdidik apik, kaum tercerahkan.
Momen ketiga adalah Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), sekitar tiga pekan dari Hari Buruh, tepatnya 20 Mei. Harkitnas adalah cermin perlawanan kaum buruh (petani) dan kaum borjuis melawan penjajah. Tapi yang memelopori perang memakai otak adalah kaum terdidik di kalangan ningrat. Orang-orang inilah yang bangkit lantaran mereka berilmu. Merekalah yang mengawali perjuangan lewat diplomasi bahkan sampai ke Belanda. Di Indonesia akhirnya muncullah Budi Utomo, didirikan oleh kaum terpelajar juga. Mereka memanfaatkan ilmunya untuk membantu pribumi yang kebanyakan buta huruf melawan penjajah. Mereka berperilaku pintar. Pintar perilakunya.
(NB. Namun ada satu hal yang ingin saya tambahkan di sini dan pasti terjadi silang pendapat. Lepas dari silang pendapat itu, saya hanya ingin kita punya wawasan yang jarang disebut-sebut di media massa. Berikut ini saya kutipkan tulisan dalam buku Menemukan Sejarah karya Prof. Ahmad M. Suryanegara. Begini bunyinya: Walau Kartini relatif muda usia, 20 tahun, George McTuman Kahin, dalam Nationalism and Revolution in Indonesia, menilai Kartinilah sebenarnya pelopor pembaruan pendidikan dalam era Pergerakan Nasional, bukan Budi Utomo. Kartini bukan berjuang hanya untuk wanita, tetapi untuk kemajuan bangsanya).
Inilah peristiwa keempat. Peristiwa ini terjadi tanggal 21 Mei atau sehari setelah Hari Kebangkitan Nasional. Inilah Hari Reformasi. Adakah para pejabat masa 30 tahun Orde Baru berkuasa adalah orang bodoh? Sama sekali tidak. Mereka 100% pintar, bergelar doktor dan sebagian lainnya sudah profesor dari berbagai-bagai ilmu. Mereka pun kumpulan jenderal. Kabinetnya pun disebut Zaken kabinet, kabinet ahli. Luar biasa. Tapi kenapa negara ini tak jua maju? Alih-alih maju, kita justru kian dililit utang sampai 1.400 tiliun rupiah.
Bagaimana sekarang?
Sekarang, pada Mei 2006 ini, sudah ada jutaa kaum terpelajar. Ribuan profesor, puluhan ribu doktor, dan jutaan sarjana. Ahli madya apalagi, jauh lebih banyak. Dalam batas minimal, bisalah mereka disebut orang pintar alias tidak bodoh. Tapi kenapa kita masih saja dijajah lewat serbuan ekonomi, politik, budaya dan juga pendidikan? Dalam ekonomi kita tak berdaya. Dulu, sewindu lalu, kita dijajah IMF dan bahkan Michael Camdessus sampai angkuh bersidakep ketika Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent. Perih hati ini melihat perilaku kaum bule atas pejabat eksekutif tertinggi di negeri ini, di tanah ini. Rendah nian bangsa ini.
Tapi masalahnya, betulkah kita ini direndahkan ataukah merendahkan diri (bukan hati) di depan kaum bule atau kaum Asia Timur? Betulkah kita bodoh? Di atas sudah disebut, kita sudah terdidik. Kita kaum terpelajar bahkan jumlahnya sangat-sangat banyak. Kita tidak bodoh. Yang terjadi, kita berperilaku bodoh. Kita mau memperbodoh diri kita. Lihat saja, betapa bodohnya perilaku bangsa kita sampai-sampai tambang terbesar di dunia, yaitu di Irian Jaya diambil begitu saja oleh orang asing. Inilah yang menyodok hati Pak Amien Rais sehingga rasa nasionalismenya melonjak lalu keluarlah artikelnya yang berjudul Inkonstitusional dan menjadi artikel legendaris. Menyusul lagi kasus Exxonmobil di blok Cepu. Ada lagi illegal logging di semua pulau besar kita. Dan yang tak kalah aneh adalah impor limbah B3 dari Singapura untuk ditaruh di pulau kecil kita. Pelakunya 100% orang pintar, kaum terdidik, sering melancong ke luar negeri, tapi mereka bertindak bodoh. Tindakannya sangat bodoh!
Jadi..., kita tidak bodoh. Kaum buruh pun orang pintar. Kaum majikan juga pintar. Pejabat negara, dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah juga pintar. Guru, dosen, PNS lain, TNI-Polri, jaksa, hakim, pengacara, bahkan para pedagang adalah orang pintar alias tidak bodoh. Mereka bisa berhitung, mampu membaca dan juga lancar menulis. Yang terjadi adalah berperilaku bodoh. Bertindak bodoh dan bahkan bangga diperbodoh bangsa asing.
Ingat, kita tidak bodoh, tapi BERPERILAKU BODOH!!!*
salam kenal pak gede. menarik sekali tulisan anda mengenai betapa kita sudah berperilaku bodoh. oh ya kalau tidak keberatan bisa berdiskusi dan berkunjung ke blog saya di emsigitar.multiply.com atau emsigitar.blogs.friendter.com
BalasHapus