• L3
  • Email :
  • Search :

5 Mei 2006

Amien Rais, Sewindu Lalu

Bulan ini, yaitu Mei, memasuki pekan kedua delapan tahun lalu, Indonesia sedang genting-gentingnya. Pada pekan itu, saya lupa tanggal berapa, Presiden Soeharto akan atau malah sedang berada di luar negeri. Salah satu negara yang didatanginya adalah Mesir. Sementara itu, di dalam negeri kegawatan terus berubah dari detik ke detik. Percepatannya sangat terasa. Sejumlah aksi demo kian marak. Mahasiswa dari 99,99% perguruan tinggi bergerak. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di Bandung, di Yogya, Solo, Semarang, Surabaya, Makasar, Medan, Padang dll. Semuanya bersatu menyerukan perlawanan terhadap status quo yang dilakoni Orde Baru.

Bulan ini, yaitu Mei, memasuki pekan ketiga delapan tahun lalu, seorang dosen dari UGM, Amien Rais namanya, diisukan akan ditangkap. Orang Jawa sederhana ini memang sedang merancang pertemuan besar (saya tidak menyebutnya akbar karena hanya Allah saja yang Akbar) di Monas. Itu sebabnya, bala tentara telah disiapkan untuk menggagalkan acara itu dan bila perlu menindak tegas (baca: menembak) Amin Rais di tempat. Isu ini terus meletus dan sampai juga ke telinga rakyat kecil. Mereka tak rela pemimpinnya dinista seperti itu dan bersama mahasiswa mereka ikut bergerak. Gedung MPR-DPR dijejali ratusan ribu manusia, bahkan sampai sesak hingga radius satu kilometer. Luar-dalam gedung milik rakyat itu sarat rakyat. Mereka menagih miliknya kepada wakil-wakilnya yang tetap bersikukuh atas pilihan mereka.

Bulan ini, yaitu Mei, tepat pada akhir pekan ketiga, yaitu 21 Mei, terjadi peristiwa sejarah yang akan abadi selama-lamanya. Soeharto, presiden yang berkuasa nyaris 30 tahun, akhirnya turun. Lengser keprabon, tapi tanpa mandeg pandhito. (Kudengar tadi pagi bahwa beliau masuk rumah sakit karena pendarahan di perutnya). Kulihat semua orang yang ada di gedung DPR-MPR itu menangis. Menangis sejadi-jadinya... Kulihat mereka saling berpelukan, berbaur. Tua muda, anggota dewan dan mahasiswa, semuanya kulihat mengusap air mata. Bahagia tak terkira. Satu tahap perjuangannya telah berbuah. Mereka tahu, banyak pengorbanan yang telah keluar. Tak hanya tenaga, uang, pikiran, perasaan, tapi juga nyawa kawan mereka. Peristiwa Semanggi dan deretan lagi peristiwa lainnya. Entah berapa banyak orang yang hilang dan tak diketahui kabarnya sampai sekarang. Hanya Allah yang Mahatahu dan pasti akan mengganjar siapa saja yang bersalah, nanti di akhirat kelak.

Bulan ini, yaitu Mei, memasuki pekan keempat, Habibie mulai menjalankan tugasnya sebagai presiden. Pertentangan terjadi. Mekanismenya dianggap salah. Runyamlah lagi suasana. Namun akhirnya para politisi dan ekonom kita dapat memberikan pengertian kepada mayoritas pihak bahwa Habibie hanya sementara. Ia menjadi presiden sampai jangka waktu tertentu, yaitu sampai Pemilu. Dan ini sudah dilaksanakannya. Pemilu multipartai. Tapi sayang, satu kesalahan terbesar Habibie adalah lepasnya Timor Timur dari NKRI. Tragis memang. Setelah puluhan ribu nyawa melayang, Timtim akhirnya bukan milik kita lagi. Ia menjadi negara baru bernama Timor Leste dan Xanana Gusmao, seteru Jenderal (Purn) Wiranto ketika perang dulu, malah menjadi presiden. Kini ia gagah berkunjung ke mana saja, ke PBB, dan juga ke Jakarta. Ketika lawannya mulai meninggal dan pensiun, ia justru menjadi presiden.

Begitulah sekilas peristiwanya. Mari kembali ke sosok Amien Rais. Dialah orang pertama yang berani menyuarakan isu suksesi tanpa huru-hara. Itu dilontarkannya tahun 1993, ketika baru saja Soeharto terpilih kembali menjadi presiden. Dalam rentang waktu lima tahun itu, yaitu dari 1993 sampai 1998, Amien Rais selalu berada di garda depan. Ia bahkan dicerca oleh semua lawan kampus dan lawan politiknya. Bahkan di PP Muhammadiyah pun ia dilawan, ketika ia menjadi ketuanya. Dari sekian poin kasusnya, artikel berjudul Inkonstitusional di Republika inilah yang melambungkan namanya dan dianggap kontra-Orde Baru padahal dia seorang PNS. Bagi Orde baru, PNS adalah Golkar, sebuah organisasi yang tak mau mengaku sebagai partai tapi selalu berpolitik. Aneh memang. ABRI pun masuk ke Golkar. Maka tak heran Golkar menang dengan suara mayoritas telak.

Bulan ini, yaitu Mei, delapan tahun lalu, Amien Rais berhasil membawa lokomotif yang menarik gerbong berisi 180 juta orang waktu itu. Ia antarkan sampai stasiun untuk kemudian berganti masinis dan melanjutkan perjalanan lagi. Mau ke mana? Tentu saja arahnya bergantung pada mayoritas rakyat Indonesia, lewat mekanisme Pemilu. Jika masih terus saja mau bodoh dan rela diperbodoh, maka hasilnya takkan lebih baik daripada masa Orde Baru dulu. Maka, berpikir dan berpikirlah.... Cuma akal dan pikir inilah yang mampu melepaskan diri kita dari kungkungan kebodohan, ketidakadilan, dan kenistaan. Bayangkan, sekarang kita sudah 220 juta orang! Sangat potensial untuk melawan kesialan selama ini, bukan?!

Bulan ini, yaitu Mei, delapan tahun lalu, Amien Rais membuktikan satu perkara penting. Yaitu, tetap berada di jalur kebenaran, sekuat apa pun badai menerjang. Ujungnya, semua berakhir. Mau sebagai pecundang atau pemenang? Itu semua adalah opsi kita. Jadi, pilihlah! Pilihlah seperti angsa memilih tumpahan susu di kolam lumpur. Akal sehat kuncinya.

Bulan ini, yaitu Mei 2006 ini, kuucapkan selamat buat Amien Rais, Bapak Reformasi. **

1 komentar:

  1. Penghormatan yang sebesar-besarnya saya haturkan bagi pak Amien Rais. Semoga semangat dan jerih payah beliau menjadi contoh bagi generasi seperti kami.
    hadingrh@yahoo.com
    Come!! to Bandung http://www.visitbandung.net

    BalasHapus