• L3
  • Email :
  • Search :

24 Mei 2006

Saran Untuk Walikota Bandung

Belasan daerah yang direncanakan menjadi TPA sampah kota Bandung ditolak mentah-mentah oleh warga di sekitar lokasi. Yang terakhir adalah Pasir Bajing di Garut. Kemudian, pada Selasa 23 Mei lalu muncul nama Pasir Buluh seluas 100 ha di Lembang dan akan digunakan selama dua bulan ke depan. Tapi masalahnya, bagaimana dengan air tanah dangkalnya? Tidakkah ini seperti meludah ke atas lalu kena muka sendiri? Air tanahnya dicemari lalu lindinya mengalir ke bawah, ke arah Bandung?

Apa yang dapat disimpulkan dari semua penolakan itu? Yang pasti, tak ada orang yang rela lahan di dekat rumahnya dijadikan bukit sampah, apalagi sampah itu berasal dari daerah lain. Jika demikian, mungkinkah memperoleh lahan untuk TPA sampah Bandung? Bagaimana dengan sampah yang terus menumpuk, mencapai 7.000 m3 per hari dan makin busuk baunya? Presiden SBY pada 20 Mei lalu sudah mewanti-wanti walikota agar segera menuntaskan masalahnya dan walikota berjanji bahwa Selasa, 23 Mei sudah tuntas. Tapi faktanya tidak demikian. Maka, pada 23 Mei lalu Menneg Lingkungan Hidup mengultimatum walikota agar tiga pekan ke depan sejak 23 Mei itu sampah Bandung sudah selesai masalahnya. Mari kita tunggu.

Kerahkan PNS
Pelikkah masalah sampah Bandung? Sebetulnya walikota bisa mengerahkan PNS sekota Bandung untuk membantu mengurangi sampahnya. Cobalah adakan kerja bakti atau gotong royong setiap Senin, Rabu, dan Jumat. Walaupun mengurangi jam kerja tapi ini kondisi darurat dan lebih baik daripada digunakan jalan-jalan tak karuan. Lewat PNS inilah pemerintah kota mengajak lurah dan aparatnya, juga RW untuk membuat pengomposan. Cara ini jika sudah ditempuh tiga bulan lalu, walikota takkan pusing-pusing mencari TPA dan tak disindir oleh presiden dan menterinya.

Akan berhasilkah gerakan tersebut? Optimislah sebelum bertindak. Gerakan Posyandu saja bisa rutin dilaksanakan. Kenapa gerakan hidup bersih tak mengikuti pola Posyandu? Terlebih lagi walikota punya aparat yang bisa dikerahkan kapan saja dan di/ke mana saja. Sebagai penguasa daerah, walikota berhak mengatur mereka. Cobalah terapkan pola olah sampah di tingkat kelurahan atau RW. Kerahkan saja dana untuk membeli TPA atau transportasi truk sampah itu ke pemberdayaan ini. Masyarakat diajak mereduksi sampahnya. Minimal di rumahnya dibuat lubang untuk menimbun sampahnya atau membakarnya untuk kertas dan plastik yang tak layak dijual atau tak diambil pemulung.

Sampah organiknya ditanam di lubang seukuran, misalnya, 100 cm x 60 cm x 60 cm. Agar cepat membusuk, setiap menaruh sampah segera lapisi dengan lumpur selokan. Dalam tempo sebulan akan berubah menjadi kompos dan bisa digunakan untuk memupuk tanaman, pot atau sekadar merabuki rumput. Buat lagi lubang serupa di sebelahnya dan gunakan bergantian. Cara ini dapat mereduksi sampah sampai 60%. Di RW juga bisa dilakukan hal yang sama secara kolektif. Tinggal walikota menugaskan siapa orangnya yang bertanggung jawab mengelola itu dan diberi honor. Honornya diambil dari retribusi sampah yang terus saja dikutip padahal sampahnya tak diambil oleh PD Kebersihan. Hal seperti ini adalah tindakan zalim yang sekarang lazim terjadi di Bandung.

Oleh sebab itu, walikota tak perlu jauh-jauh berpikir untuk menerapkan teknologi canggih. Tak usahlah berpikir tentang pengolahan sampah terpadu dengan teknologi tinggi. Teknologi bukanlah masalahnya melainkan korupsi, ini kata Menristek yang mantan rektor ITB. Tapi untuk sampah Bandung tak perlulah teknologi tinggi itu. Apalagi ada yang menyarankan insinerasi di tiap RW. Ini latar belakangnya pastilah bisnis. Apalagi insineratornya hanya bertemperatur rendah. Selain pencemaran udara oleh asap dan gas-gas lainnya, juga butuh waktu dalam instalasinya dan mahal biaya operasi-rawatnya. Jadi, janganlah berutang lagi demi teknologi canggih itu dan tak usah muluk-muluk. Jangan lagi ada pihak yang mengail di air keruh demi projek dan bisnisnya, berpura-pura memberikan solusi tapi tujuannya adalah bisnis. Cobalah cara tradisional yang diterapkan nenek moyang kita, yaitu dengan cara ditanam alias dibusukkan. Hal serupa juga secara alamiah terjadi di hutan. Semua daun, ranting dan pohon yang mati langsung dibusukkan oleh mikroba, berubah menjadi pupuk bagi pohon lainnya. Jika sudah menumpuk komposnya, walikota membelinya lalu gunakan untuk penghijauan di seluruh taman kota Bandung. Atau dibeli oleh dinas terkait, misalnya perkebuan, pertanian, dll.

Urungkanlah niat untuk mendirikan dan membeli teknologi yang belum tentu cocok diterapkan di Bandung. Apalagi sampah Bandung lebih banyak organik atau basah yang rendah kandungan energinya. Tak perlu tergiur membeli teknologi canggih dari berbagai negara itu meskipun sudah pergi ke berbagai negara untuk mencari tahu teknologi mereka. Jangan habiskan lagi uang rakyat demi wira-wiri seperti itu. Gunakan saja teknologi alami, yaitu biodegradasi. Tanah sudah disediakan oleh Sang Pencipta sebagai bioreaktor raksasa sampah manusia. Lupakanlah insinerasi, lupakan energi listrik, lupakan proses yang aneh-aneh itu. Muaranya memang boleh-boleh saja bisnis tapi harus layak dan sesuai dengan komposisi kimia sampah Bandung. Komposisi kimia ini menentukan energy content-nya dan ini dipengaruhi oleh kadar air, volatil, abu, combustible component dan heating value-nya. Sekadar contoh, energy/heating content kertas sekitar 16.750 kJ/kg dan sisa makanan 4.650 kJ/kg.

Berita terakhir, Gubernur Jawa Barat akan ikut turun tangan. Mudah-mudahan saja mampu memberikan solusi yang tepat. Tapi untuk kondisi lampu merah ini, cobalah manfaatkan tenaga PNS, TNI-Polri, Satpol PP, ibu-ibu PKK dll di kota Bandung, libatkan semua aparat abdi negara di berbagai dinas untuk membersihkan dan mengomposkan sampah di tempat masing-masing dan juga di kantornya. Mereka potensial mereduksi sampahnya. Wajibkan saja dan anggap ‘negara’ Bandung dalam kondisi bahaya. Bahaya bagi eksistensi kepala daerah, bahaya bagi eksistensi kepala dinas, dan terus ke jajaran di bawahnya. Jabatan adalah taruhannya jika setiap dinas, badan, dan lembaga tak bisa mengurangi sampahnya.

Hal tersebut akan ditiru oleh warga non-PNS, misalnya pedagang pasar dan warga umumnya. Apa yang dilakukan aparat kota akan berdampak pada warganya dan sekaligus mendidik mereka agar mengubah perilakunya dalam membuang sampah dan tahu cara sederhana dalam mengembalikan sampah ke sistem alaminya. Dan akhirnya adalah kembali ke goodwill, politicalwill, responsif dari walikota. Palu keputusan (masih tetap) ada di tangannya. Tunggu apa lagi? *

1 komentar:

  1. Pak Gede Yth,

    Salut dan tabik banget atas ide pak Gede yang orisinal, cerdas dan cemerlang. Teapi nampaknya alam kita ini - alam pikiran, perasaan, hati nurani, moral, jiwa - jadi bukan hanya negara kita, sudah dijajah oleh kapitalis. Sehingga hampir semua orang kalau melakukan tindakan selalu berfikir: nanti aku dapat uang berapa ya ? dapat untung apa ya ? nanti saya akan menguasai asset apa ? dst sehingga tidak dapat berfikir jernih seperti bapak. Alam pikiran bapak itu jernih, murni dan belum dikotori kapitalis.

    Salam,


    (Joko S.)

    BalasHapus