• L3
  • Email :
  • Search :

2 Mei 2006

Buruh… Oh... Buruh

Siang hari, 1 Mei 2006, demo buruh di Gasibu Bandung berlangsung tertib. Tidak anarkhistis seperti yang ditakuti aparat. Semarak dalam damai. Lalu-lintas lancar-lancar saja dan kalaupun macet, macetnya terkendali, sama seperti hari-hari biasanya. Malah di Jakarta, kudengar lewat radio, jauh lebih cepat bubar. Berkah hujan?

Terlepas dari kondisi kondusif di atas, buruh sebetulnya sangat berjasa bagi majikannya. Tanpa buruh, tak adalah majikan. Tanpa buruh, tak ada produksi dan tak ada produk. Tanpa buruh, ekonomi mandeg. Begitu pun, tanpa majikan yang punya pabrik, buruh pun tak ada, atau tak bisa bekerja. Tanpa projek dari APBN-APBD, tak ada buruh. Tanpa putaran roda ekonomi, buruh pun tak dibutuhkan. Jadi..., bagiku, kedua belah pihak sama-sama saling membutuhkan, saling dibutuhkan. Idealnya, saling take and give.

Itu tadi sisi idealnya. Buruh-majikan saling butuh. Interaksi mutualisme. Hanya saja, seperti masa Orde Baru dulu, dan terus berlangsung sampai sekarang, terjadi rekayasa dalam kaitannya dengan segala macam undang-undang. Buruh selalu saja dikalahkan oleh pemerintah dan legislatif karena kekuatan uang. Undang-undang dimanipulasi, atau minimal dibelokkan dari arah sebenarnya. Lembaran fulus selalu saja memutar pikiran aparat negara sehingga tak waras lagi hatinya. Otaknya stabil, tapi hatinya beringas memandang uang. Terjadilah eksploitasi manusia atas manusia. Bahkan undang-undang adalah uang. Rancangan peraturan apa pun adalah projek bagi dewan dan eksekutif, menghabiskan uang rakyat. Padahal mereka dipilih oleh rakyat. Orang-orang seperti ini bukanlah pemimpin, mereka sekadar pejabat.

Kembali ke soal buruh. Bandung adalah gudangnya pabrik, terutama pabrik tekstil. Otomatis di Bandung banyak ada buruh. Wajar saja macet dan semrawut di titik-titik demo. Namun unjuk aspirasi buruh bisa disikapi dengan tenang oleh masyarakat Bandung. Tenang dan tampak bussiness as usual. Biasa-biasa saja. Ini luar biasa jika dibandingkan respon atau reaksi pemerintah pusat dan daerah yang demikian berlebihan. Ketakutannya sudah berubah menjadi paranoid, tampak dari pengerahan Satpol PP, Polisi, TNI, organisasi kepemudaan, PNS, dll. Semuanya dikerahkan sembari memboroskan uang rakyat (baca: buruh) demi konsumsi, BBM, uang berjaga-jaba (lembur) petugas. Pemborosan anggaran daerah dan anggaran negara. Atau, adakah ini disengaja demi bisnis segelintir kalangan yang mengeruk keuntungan dari demo buruh?

Salahkah kita berempati pada buruh? Jika kita bukan buruh karena merasa PNS, anggota TNI-Polri, pegawai BUMN-BUMD, guru-dosen, dll, coba bayangkan sebentar saja. Bayangkanlah ini. Mereka rata-rata pergi pagi pulang sore atau pergi sore pulang dini hari. Bahkan ada yang harus berangkat sebelum subuh untuk menanti bis jemputan. Terlambat lima menit saja, dia ditinggal dan harus keluar ongkos angkot atau bis kota. Jika tak berangkat kerja, tak lama lagi dia akan dipecat dengan alasan indisipliner. Bahkan kadang-kadang alasannya mengada-ada. Sebab, majikan dan manajernya sudah yakin pada kalimat bertuah ini: pecat satu, seribu melamar. Esa hilang seribu terbilang. Betul-betul buruh sudah tak berharga lagi di depan majikannya, terutama majikan dari negeri seberang. (NB. Menurut Robert T. Kiyosaki, penulis buku Cashflow Quadrant, kita semua adalah employee alias pekerja alias karyawan alias pegawai alias buruh jika kita bukan seorang pebisnis-investor).

Pelecehan seksual? Tak perlu lagi ditanyakan. Nyaris terjadi setiap hari jika ditelusuri di setiap pabrik. Tak hanya mereka yang dari luar negeri pelakunya, tapi juga orang asli Nusantara berkulit sawo masak. Malah ada yang kelakuannya jauh lebih bejat ketimbang ekspatriat itu. Ini mirip sekali dengan Nica Gandek semasa perang kemerdekaan, ketika clash kedua. Karakternya sama persis. Begitulah yang kudengar dari kakek dan orang tuaku dulu, ketika aku di SD.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar