Sebulan sudah sampah Bandung meresahkan warganya. Meskipun ini kejadian yang ke-3 kalinya, tetap saja masalahnya seperti dulu, seperti kejadian kedua dan kesatu, yaitu tak berhasil memperoleh lahan untuk TPA (Tempat Pembuangan Akhir; yang lebih tepat adalah Tempat ‘Pengolahan’ Akhir). Bahkan para pejabat di Bandung telah jalan-jalan ke Cina, Jerman dan Australia untuk melihat-lihat pengelolaan sampah di sana. Hasilnya nol besar padahal ratusan juta uang orang Bandung habis dalam langlang buana nirhasil itu.
Itulah faktanya. Fakta ketakbecusan aparat menangani sampah. Sampai-sampai seorang menteri dengan kesal berkata bahwa kita punya teknologinya! Tak hanya ITB yang bisa, tapi kampus lain pun bisa. Tak usah jauh-jauh ke luar negeri. Masalahnya, kata menteri itu, adalah soal korupsi. Korupsi. Korupsi retribusilah masalahnya, bukan teknologinya. Begitu katanya ketika sempat ke Bandung dan melihat bukit sampah di dekat kampus tempatnya menjadi rektor dulu. Di pinggir jalan ada sampah, di median jalan ada karung sampah, TPS meluas ke lahan parkir, bahkan lahan sekolah. Murid dan guru sudah protes karena bau busuknya membuyarkan konsentrasi belajar-mengajar. Apalagi anak SMA sedang ujian negara. Bisa banyak yang stres lantaran pusing oleh soal ujian dan oleh bau busuk.
Ada tujuh grup orang yang terkait dengan masalah sampah Bandung.
1. Tukang sapu. Penyapu sampah, kerapkali disebut pasukan kuning, yellow brigade, bekerja dari pagi sampai petang dan bahkan dinihari sudah mengumpulkan sampah. Ada yang mulai bekerja jam sepuluh malam sampai pagi. Mereka sering disebut manusia sampah dalam arti sebenarnya. Mereka dianggap orang hina sehingga jarang yang mau bertegur sapa dengannya. Jangankan menyapa, mendekatinya saja enggan. Padahal boleh jadi hati dan karakternya lebih bagus ketimbang orang yang menghinanya. Di antara mereka, yaitu yang muda-muda, ada yang sambil sekolah dan bahkan kuliah. Mereka tidak malu bekerja di tempat ‘bau’ dan dianggap rendah itu. Mereka lakoni hidupnya dengan semangat.
2. Pegawai administrasi. Ini adalah orang-orang yang bekerja di Dinas Kebersihan atau di PD Kebersihan. Mereka ada yang pernah menjadi tukang sapu sekian belas tahun lalu dan sekarang menjadi tukang tik. Ada juga yang berbekal ijazah setingkat SMA dan menjadi pegawai kelas menengah sampai pensiun. Juga ada yang sarjana, misalnya jebolan Teknik Lingkungan suatu PTN-PTS. Kebanyakan mereka bekerja di ruang bersih, tidak langsung berinteraksi dengan sampah. Mereka berada di lapis tengah manajemen di dinas atau perusahaan daerah. Mereka hanyalah pelaksana apa yang diputuskan atasannya, atau atasan dari atasannya. Mereka tak mampu berbuat demi membersihkan sampah domestik dan sampah pasar yang tersebar di sekujur pelosok Bandung. Kini pun mereka menanti ketakpastian lokasi TPA baru.
3. Pejabat teras Dinas atau PD Kebersihan. Secara umum mereka adalah sarjana dan bahkan magister. Ada yang memang berlatar Teknik Lingkungan tapi ada juga yang bukan. Bahkan sangat jauh latar ilmunya dari persampahan. Tapi lantaran telah lama berkarir di sana, bisalah mereka diangkat menjadi pejabat, baik karena kualitasnya yang memang bagus maupun karena pertemanan dekat dengan kepala daerah. Jalinan kolusif ini begitu gamblang terang benderang di setiap pemda. Sudah rahasia umum. Tak sedikit yang seperti ini. Mayoritas seperti ini, seperti yang terjadi di PD Air Minum alias PDAM. Akibatnya, semua sepak terjang pejabat itu tak bisa lepas dan selalu dikendalikan oleh kepala daerah. Tak bisa bebas total berkreasi.
4. Pejabat pemerintah. Inilah pejabat teras di pemerintah daerah. Mereka mengatur segalanya dan menjadi pemegang keputusan utama. Tentu saja ada orang-orang yang memberikan masukan tentang ilmu dan teknologinya, semacam staf ahli. Tapi andaikata masukannya salah, salah pulalah keputusannya. Bahkan pejabat di lapis bawahnya sering menjadi bulan-bulanan media: dari atas di tekan, dari bawah disodok. Maju kena, mundur pun kena. Tak bisa apa-apa dan serbasalah. Akhirnya mereka takut memberikan pernyataan di media massa, takut tak sesuai dengan atasannya. Jadilah mereka penunggu setia setiap hari. Mirip pahat, kalau tak diketok maka takkan jalan. Yang lebih memprihatinkan lagi, pejabat terasnya tak konsisten pada kata-kata yang diucapkannya, bahkan dikutip media massa. Hari ini bilang ada calon TPA di desa anu, sekian hari kemudian dibatalkan dan diganti dengan lokasi lain tapi masih dirahasiakan. Jika ada kepala negara yang datang ke Bandung, misalnya saat peringatan KAA, barulah sampah diangkut. Jika presiden ada rencana ke Bandung, sampah pun diangkut. Sedih sekali melihat aparat seperti itu.
5. Masyarakat dan Ormas. Kelompok inilah yang terbanyak jumlahnya. Kita pun termasuk di dalamnya. Tak bisa dimungkiri, kita selalu menghasilkan sampah setiap hari. Tubuh kita pun berisi sampah dan harus dibuang setiap hari.Kegiatan kita pun menghasilkan sampah dalam arti luas, yaitu sampah padat, cair, dan gas. Begitu pun perkumpulan orang-orang yang disebut organisasi. Ada yang langsung bergerak di sektor sampah, misalnya pemberdayaan masyarakat demi reduksi sampah. Ormas ini banyak bermunculan di Bandung setahun terakhir pascalongsor TPA Leuwigajah. Bahkan banyak yang membuat proposal untuk mendapatkan dana dan ujung-ujungnya masyarakat tetap saja tak berdaya. Uang itu sekadar uang proyek-proyekan. Sejumlah LSM begini perilakunya. Di lain pihak, masyarakat merasa tidak dirugikan karena merasa uang itu bukan uang dari sakunya. Padahal uang itu jelas-jelas adalah uang retribusi dan pajaknya.
6. Akademisi dan periset. Ini disebut kelompok ahli tapi sering mirip menara gading. Ilmunya tinggi sampai jauh di awang-awang, tak terjangkau, tak terpahami oleh masyarakat penggunanya. Mereka banyak paham soal sampah tapi tak mampu jua bicara banyak. Bukan lantaran ketiadaan ilmu dan ketiadaan teknologinya, seperti kata menteri di atas, melainkan lantaran kebijakan pemerintah yang tak proaktif atas ide-idenya. Ini sering terjadi. Mereka, periset dan akademisi itu telah berusaha menjadi ‘manusia sampah’, yaitu mempelajari sampah sampai sekolah S3, tapi tetap saja tak bisa berbuat banyak. Bahkan profesor sampah pun tak didengarkan kata-katanya. Bandung betul-betul luar biasa. Sekumpulan doktor dan profesor tak dianggap oleh anggota DPRD dan pemerintah kota yang, maaf, ‘hanya lulusan diploma, sarjana atau magister’. Kasus Punclut adalah yang paling jelas dan tragis. Luar biasa...... ....... ..... pandirnya.
7. Koruptor. Inilah jenis manusia sampah yang betul-betul sampah. Serakah dalam setiap langkah hidupnya. Apa pun diambilnya. Ketika di negeri seberang orang korupsi di bawah meja, di negeri jiran orang korupsi di atas meja, di Indonesia lain sendiri. Koruptor Indonesia tak hanya mengambil uangnya, tapi juga mejanya. Bahkan dengan tong sampahnya. Uangnya telah menjadi sampah. Perutnya penuh sampah dan juga ‘sampah’. Koruptor ini bisa siapa saja: bisa pejabat dan staf di pemda, bisa bos rekanan perusahaan swasta dan pekerjanya, bisa LSM, bisa aparat keamanan yang pagar makan tanaman, bisa juga warga masyarakat. Ia bisa muncul di mana saja dan berasal dari mana saja.
Itulah tujuh grup ‘orang sampah’ yang mengurusi tujuh ribu meter kubik sampah setiap hari di Bandung: 7 grup di dalam 7.000 m3 sampah per hari. *
komentar lagi Pak :D
BalasHapuskalo dibuat berima memang jadi cantik Pak, 7 grup dalam 7.000 m3 sampah setiap hari. Tapi menurut saya kedua angka itu tidaklah benar.
Pertama, seharusnya ada tiga grup lagi sehingga menjadi 10 grup, yaitu:
1. Grup mandor lapangan PD Kebersihan. bukan penyapu sampah ya pak, tapi yang menjadi perantara pegawai administrasi dan tukang sapu, biasanya bekerja di TPS. Mereka mengatur kapan sampah di TPS bisa diangkut, kapan gerobak sampah dari penduduk yang tidak terlewati truk sampah bisa membuang sampahnya di TPS, mencatat pengambilan sampah, mengawasi TPS (terutama di pinggiran kota, karena penduduk kabupaten Bandung banyak yang membuang sampahnya ke dalam TPS kota Bandung, seperti juga penduduk kota Bandung membuang sampah ke kab. Bandung, hehehe)
2. Grup tukang sampah swasta. Mereka membuang sampah dari penduduk yang lokasinya tidak dilewati truk sampah. Bisa hidup dari iuran warga, tetapi ternyata juga hidup sebagai...
3. Pemulung sampah. Memunguti sampah di rumah2 (kadang ada 'oknum' yang memungut barang di halaman rumah juga :D), di TPS, dan di TPA, lalu menjual kepada pengepul produsen kantong plastik dll. Pemulung ini bisa menyaru ke kesembilan grup di atas, pokoknya yang suka menjumput yang kecil-kecil dan berkata, "lumayaan" :(
Kedua, omongan walikota bahwa di Bandung diproduksi 7.000 m3 sampah per hari tidak pernah terbukti. Saya kira itu hitung2an kasar saja dari penduduk Bandung 2,5jt orang dengan keluaran 3 liter per hari (worst case).
Kalau saya boleh utak atik gathuk (kalo orang jawa bilang) jadinya begini: 10 orang dalam 1000 m3 sampah per hari...