Semburan Merapi makin berbahaya. Lava pijar memerah tumpah meleleh ke arah hulu-hulu sungai sepanjang empat kilometer. Sementara itu kawahnya terus meluas dan jangan-jangan nanti sama dengan kawah di Gunung Tangkuban Parahu di Bandung. Wedus gembel, campuran gas dan debu vulkanik bertemperatur 900o C (di puncaknya) meletup bak jamur lalu turun merayapi lereng sambil menghanguskan semua benda yang disapunya. Hanya arang yang tertinggal, tanpa tanda-tanda kehidupan. Mulai semut sampai monyet, jika mereka belum menyingkir, akan terpanggang mengkerut atau mengecil gosong, bukan terpanggang matang. Seorang korban wedhus gembel erupsi tahun 1994 yang pernah kulihat, kaki dan tangannya tak berbentuk lagi, hanya seonggok tungkai lunglai akibat temperatur 400o C (di pemukiman). Jejarinya habis, telinganya hilang, pipinya.... sulit kukatakan dengan kata-kata. Monster di film pun tak separah itu.
Yang juga tak kalah bahayanya adalah hujan debu. Kemarin debu telah jatuh di beberapa desa di Magelang. Sakit pernapasan mulai terjadi. Radang tenggorokan mengancam. Sakit ini menyiksa penderitanya karena terasa sakit sekali saat menelan sesuatu. Menelan ludah saja sakit, mirip makan kulit rambutan, apalagi makan nasi yang agak keras atau sayur tanpa kuah terutama yang sakitnya sudah parah. Minum pun sebaiknya air hangat atau agak panas. Sayangnya, makanan jenis ini dan air minum dingin atau bahkan air tak bersih justru yang terbanyak tersedia di kam pengungsian. Batuknya memang jarang, tapi sekali batuk tak berdahak ini serupa dengan letusan peluru dari senjata AK47. Beruntun. Sakitnya bukan kepalang. Perut sampai terguncang-guncang dan melilit. Apa yang akan tampak andaikata ribuan orang berjejer dan batuk bersahut-sahutan saat malam?
Parahnya lagi, di daerah bencana biasanya sulit diperoleh obat-obatan dan tenaga medis, terutama dokter. Ada memang, tapi rasionya terhadap jumlah pengungsi sangat-sangat kecil. Yang kebetulan bisa dilayani dokter dan sakitnya ditangani dengan baik bisa dikatakan beruntung. Yang tak beruntung jauh lebih banyak. Apalagi di tengah kelangkaan makanan dan minuman itu ada yang ‘mengail di air keruh’ demi keuntungan pribadi seperti di Aceh.
Andaikata pengungsi itu punya cukup uang mungkin mereka bisa membeli obat yang dijual bebas di warung dekat barak di kam. Hanya saja, kalau salah obat yang terjadi malah mual-mual dan mulut terus mengeluarkan ludah. Siang malam mual dan tak bisa tidur. Lama-lama ketahanan tubuhnya melemah dan sakit lain pun muncul. Sakit bertubi-tubi. Diare dan sakit menular lainnya mengancam, kebutuhan masker meningkat, pengungsi dan relawan kian capek dan stres, begitu pun petugas di dapur umum dan tim medis.
Merapi, gunung setinggi 2.914 m dpl itu kini batuk. Gemuruh suaranya, luruh lavanya dan awan panasnya menyatakan dengan tegas bahwa manusia tak ada apa-apanya. Mampu apa manusia melawan Merapi sepanjang sejarahnya? Mampukah membatalkan atau menghentikan karakter Merapi?
Itu sebabnya, di tengah kelemahan manusia, saling bantu adalah jawabnya. Yang mampu dan punya kelapangan waktu, rejeki, ilmu dan teknologi membantu yang mengungsi. Siapa lagi yang bisa meringankan derita mereka selain saudaranya sesama orang Indonesia?
Maka, salurkanlah bantuan Anda ke lembaga yang Anda percayai.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar