• L3
  • Email :
  • Search :

23 Mei 2006

TPS Balaikota

Luasnya tak lebih dari 50 m2. Untuk sebuah TPS, tak terlalu luas memang. Letaknya hanya selemparan batu dari balaikota, tepat di belakang agak ke kiri dari kantor walikota, pas di sudut jalan, di bawah beringin yang ditanam pada masa kolonial, seabad lalu. Pagar besi dua meteran berujung tajam berkarat di sana-sini membatasi TPS itu dengan selokan yang tersumbat sampah sehingga airnya tergenang. Ketika hujan, luapannya merendam jalan di sepanjang sisi kiri balaikota. Saat kemarau, angin menerbangkan plastik dan daun kering ke selokan dan ke jalan, lalu terbang lagi dihempas mobil lewat.

Sisa makanan adalah jenis sampah yang terbanyak di TPS itu bercampur dengan kertas dan karton. Di sela-sela busukan hitam kecoklatan kerapkali tersisa plastik dan kaleng-kaleng makanan instan. Remahan kue dan roti tersebar dari atas bukitan sampah sampai ke dasarnya di dekat bibir selokan. Semuanya dirubung lalat sebesar kacang polong berperut hitam, kuning, dan hijau. Di bagian atasnya segerombolan tikus mencicit berebut usus ayam. Yang satu mengejar yang lain, lalu dirampas lagi oleh tikus lainnya. Di dekat karton bermerek fried chicken tertentu segumpal belatung merubungi kepala kambing.

Dilihat dari jauh, dari jarak 30 m, keluarlah uap yang mirip asap. Bisa diduga uap itu mengandung gas metan, karbondioksida, dan amoniak. Juga ada H2S yang baunya sama dengan telur busuk. Itu semua bersatu dengan asam hasil busukan sampah organik seperti sisa makanan. Ada angin sedikit saja sesaklah napas, muallah perut. Untung ada beringin yang meskipun keropos batangnya dimakan usia, tapi mampu berfotosintesis sehingga agak mengurangi bau sampah. Yang pasti, air sampah yang kaya zat organik itu menjadi sumber makanan bagi beringin. Sampah dan beringin bersimbiosis mutualisme, saling menguntungkan.

Di belakang TPS, dua meter dari garis sempadan yang berupa pasangan bata ada tripleks bopeng penyangga atap seng berkarat, diikat dengan sabut ke terpal biru. Ujung atap satunya lagi diikatkan ke untaian akar beringin sebesar lengan orang dewasa menggunakan tambang. Sepintas mirip tenda rombengan, lebih buruk daripada kandang anjing. Dindingnya dari kardus rokok yang diperkuat bambu bekas tiang bendera. Di sebelahnya ada perapian dari bata berangkal; seonggok abu di sebelah kiri dan baranya masih tampak di antara kayu bakar hitam. Pancinya dari aluminum, penyok di dekat kupingnya, hitam berjelaga. Di atas perapian ada satu panci lagi, lebih bersih, digantung di dekat wajan berlapis teflon. Semuanya dipungut di TPS seperti halnya sendok, garpu, gayung, ember, dan kursi kayu. Semuanya berkah TPS.

Kinem, perempuan di bedeng belakang TPS itu, sedang menyiapkan makanan untuk anaknya. Rambut pendek kelabunya di jalin satu mirip ekor kuda, dan berminyak. Di selingi batuk-batuk kering kecil, tangannya gemetar ketika mengambil gayung penuh air. Tampak semangat dan mungkin gembira. Sebab, dua ikat buncis layu, bunga kol, dan segenggam bayam didapatnya dari plastik kresek di depan TPS tadi pagi. Di sebelah piring bergerigi terhidang ikan asin, juga dari kantong kresek yang sama. Inilah hari besar bagi keluarganya yang hanya terdiri atas tiga orang; satunya lagi adalah seorang pemulung keliling yang berperan sebagai ‘suami’ sebab mereka belum ijab-kabul. "Kumpul kebokah?"

Buah ‘perkawinannya’ adalah Tole, anak semata wayangnya, seusia anak SD kelas dua. Karena tak sekolah, sehari-hari mainnya hanya mengais-ngais di TPS. Sekali waktu Tole pernah menemukan arloji yang lantas dijual ibunya seharga Rp 20.000. Pada kali lain ia memperoleh ‘balon’ bekas pakai teman kencan seorang WTS yang sesekali mangkal di dekat beringin. Seperti umumnya anak-anak, Tole senang menyanyi. Berkaos singlet ‘Popeye’ yang robek lengannya, sebait-dua bait lirik lagu Radja yang didengarnya dari pengamen prapatan lepas dari mulutnya, menampakkan empat bekas lokasi gigi serinya yang ompong. Perut buncitnya naik-turun lalu menyembul di balik kaosnya. Lutut kirinya dikitari lalat yang tergoda oleh bau korengnya. Ia kelihatan senang-senang saja, tanpa beban.

Kini layangkanlah pandangan ke depan, ke arah gedung berpilar, berlapis-lapis, melengkung, bergaya Art Deco. Warna putih mendominasi gedung yang dijadikan pusat upacara pejabat itu. Setiap ada pejabat baru, seremonial yang tak ketinggalan adalah prasmanan. Makan-makan. Di aula seluas 400 m2 itu terhidang belasan stand makanan, mulai baso-tahu, es krim, sate, aneka buah, beragam sayur, dan ... banyak lagi yang lain. Lengkap semua, mulai makanan pembuka, utama hingga penutup.

Seperti biasa, seusai acara sisanya masih banyak dan selalu dibagi-bagi dalam bungkusan di antara pegawai. Baru setelah itu, dicampur dengan bekas makanan yang terserak di piring dan gelas, dibuang ke TPS. Inilah saat Kinem dan Tole berpesta menikmati makanan gedongan sekaligus sisa wadah karton dan plastik yang bisa dijualnya ke bandar rongsokan. Ini pulalah yang menyebabkan mereka bertahan di belakang TPS itu dan tak hendak bangkit.

Bangkit? Bangkit ke mana?

Kebangkitan keluarga? Anaknya tak sekolah. Hardiknas 2 Mei lalu tak berbekas, Harkitnas 20 Mei kemarin juga berlalu begitu saja. Sejumlah tokoh bersarasehan, yang lain lari-lari pagi dan ada yang ber-weekend. Dan kini, 21 Mei 2006, adalah Hari Reformasi. Membentuk kembali, membangun kembali serpihan negara....

Akankah Tole menjadi pemuda yang pekerjaannya lebih baik daripada bapaknya atau menjadi pengusaha yang memproduksi barang dari sampah dan mampu membuka lapangan kerja bagi pemulung? *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar