Mengacu pada nama atau istilahnya, reaktor ini berjenis reaktor biologi (bioreactor) yang memberikan kesempatan kepada bakteri anaerobik untuk tumbuh-kembang optimal dan berlangsung di dalam reaktor yang bersekat-sekat (baffled), bermedia melayang-layang (fluidized). Selain bioproses, minimal ada dua unit operasi yang berlangsung di dalamnya, yang fenomenanya berlawanan, yaitu sedimentasi dan fluidasi. Sedimentasi berkenaan dengan bioflok yang besar massanya dan padatan (coarse solid, suspended solid) tanurai (nonbiodegradable) yang dapat diendapkan secara gravitasi.
Fluidasi berhubungan langsung dengan kecepatan ke atas aliran airnya yang mampu mengapungkan atau melayang-layangkan material tertentu seperti mikroflok, padatan, atau media lekat sintetis ringan. Secara tidak langsung, dalam tempo tertentu, biasanya setelah tiga bulan sejak reaktor dioperasikan, terbentuklah lapisan microbioflocc (sludge blanket) di tengah-tengah reaktor. Lapisan ini mampu memperbaiki kualitas pengolahan air limbah, mempertinggi efisiensinya sehingga harus dijaga agar lapisan ini tetap bertahan dan tidak rusak selama proses pengolahan. Kerusakan biasanya terjadi selama dan setelah pemompaan sludge-nya apabila operatornya ceroboh dalam memasukkan pipa lumpurnya sehingga mengoyak lapisan tersebut.
Karakteristik Reaktor
Kata kunci (keyword) dalam Baffled Fluidized Reactor adalah kecepatan ke atasnya (upflow velocity) yang nilainya kurang dari 2 m/jam. Dengan kecepatan ini biasanya reaktor dibuat agak besar tetapi relatif dangkal, kurang dari 2 meter sehingga lahan yang dibutuhkannya menjadi luas. Inilah yang menyebabkan BFR kurang dikenal dan tidak menjadi pilihan di instalasi yang besar debit air limbahnya. Namun kekurangan ini bisa diminimalkan bahkan dihilangkan kalau di dalam reaktornya diberi media lekat yang terfluidasi. Media ini bergerak dinamis di dalam reaktor dan memberikan peluang kepada bakteri yang cenderung melekat (attached growth) dalam pertumbuhannya. Pada saat yang lain, bakteri yang hidupnya tersuspensi pun bisa berkembang dengan optimal di ruang antarmedia.
Gradasi bakteri yang terlekat atau tersuspensi atau kombinasi keduanya pada BFR ini dipengaruhi oleh pH, temperatur air limbah, beban organik, dan asupan nutrisinya serta material seperti deterjen, logam berat, dan lemak-minyak. Nutrien sangat dibutuhkan oleh biomassa sehingga harus senantiasa tersedia sepanjang waktu tetapi tidak boleh melebihi kebutuhan total biomassanya. Di sinilah letak kesulitan mengelola bioreaktor agar nutrien yang dibutuhkan biomassanya ekivalen dengan asupan atau kandungan nutrien yang ada di dalam air limbah. Menjadi lebih sulit lagi apabila terjadi fluktuasi beban hidrolik (hydraulic loading) dan beban organik (organic loading) yang tinggi setiap hari. Oleh sebab itu, beberapa IPAL, terutama yang kapasitasnya relatif kecil seperti rumah sakit dilengkapi dengan unit ekualisasi (equalization) untuk merata-ratakan aliran airnya sehingga unit ini disebut tangki aliran rerata (TAR). Apabila pengoperasian unit dengan debit kecil itu dipandang kurang efisien maka dapat diterapkan sistem Sequencing Batch Reactor.
Berkaitan dengan media lekat bakterinya, bisa dikatakan bahwa BFR termasuk bioreaktor hibrid yang berada di tengah-tengah antara reaktor terlekat (attached reactor) dan reaktor tersuspensi (suspended reactor). Selain medianya yang dinamis bergerak melayang-layang di dalam air, sekatnya juga menjadi tempat tumbuh bakteri, bahkan semua pipa dan aksesorisnya pun menjadi media tumbuh. Inilah yang dapat mempengaruhi efisiensi pengolahannya, menjadi lebih efisien dengan menghasilkan konsentrasi biomassa yang pekat. Kemampuan retensi biomassanya itu berada di antara fase terlekat dan fase tersuspensi yang terbentuk di permukaan media (porositas, porosity) atau di ruang antarmedia (parasitas, perviousness).
Sejumlah penelitian menyatakan bahwa BFR bermedia lekat terfluidasi ini mampu menanggulangi beban hidrolik dan beban organik yang tinggi secara tiba-tiba (shock loading, baik limbah domestik, pabrik maupun rumah sakit, balai pengobatan, klinik) tanpa mengganggu efisiensinya secara signifikan. Selain media tersebut, peran ini pun diemban oleh sekat, dinding, dan sedimen bioflok. Malah bioflok yang hanyut (washout) dari ruang (chamber) pertama dapat ditangkap kembali di ruang berikutnya. Di ruang terakhir, misalnya ruang ketiga atau keempat dapat dilengkapi dengan skrin di bagian atasnya untuk menahan agar biofloknya tidak hanyut. Tetapi skrin ini tidak dibutuhkan apabila di dalam rangkaian pengolahannya dipasang unit biofilter anaerobik atau aerobik dengan aliran upflow.
Kinerja BFR dapat lebih ditingkatkan lagi dengan cara mendistribusikan debit airnya lewat jaringan pipa perforasi di bagian alas (dasar) reaktor. Konfigurasi “underdrain” ini serupa dengan jaringan pipa yang dipasang di alas filter air minum PDAM. Tentu saja susunan pipanya bisa dimodifikasi dan diameter lubangnya disesuaikan dengan keperluan dan kondisi reaktor. Secara tak langsung, jaringan pipa “underdrain” ini juga berfungsi menumbuhkan mikroba yang karakternya melekat pada media. Hanya saja, endapan yang tinggi setelah reaktor beroperasi lebih dari lima tahun dapat menghilangkan kemampuan biodegradasinya karena tertimbun lumpur sehingga kekurangan nutrisi. Namun kejadian ini tidak terlalu berpengaruh pada kinerjanya karena kuantitasnya dapat diabaikan dibandingkan dengan jumlah total biomassa terlekat lainnya di dalam reaktor.
Dimensi dan Aklimasi
Pendimensian BFR bergantung pada debit air limbah dan waktu detensi yang diterapkan, yang sudah terbukti berhasil dalam mengolah air limbah. Selain bersumber dari hasil penelitian, juga dapat digunakan kriteria desain yang sudah ada, tetapi harus dicek ulang agar tidak keliru. Selain itu, perlu dilihat juga kesamaan jenis air limbahnya dan lokasi geografisnya. Sebab, tidak sertamerta desain yang sukses di satu tempat dapat otomatis sukses dengan hasil yang sama di tempat lain. Beberapa parameter lingkungan ikut mempengaruhi kinerja reaktornya, selain keberadaan unit operasi-proses lainnya.
Dimensi reaktor juga perlu disinkronkan dengan bentuk dan posisi aksesoris lainnya seperti pipa, sekat, alirannya apakah horisontal atau vertikal, posisi inlet-outlet, dll. Sekat bisa berbahan beton, batubata, pelat antikarat, papan yang tak mudah lapuk, atau yang lainnya dengan satu fungsi yaitu, menambah intensitas pengadukan hidrolis tanpa alat mekanis. Jarak antarsekat pun harus dipertimbangkan agar pengadukan bisa optimal dan mudah dalam pelaksanaan pembangunannya. Perhatikan rasio antara tinggi reaktor dan panjang ruangnya (chamber). Bagian penting lainnya ialah media pengisi ruang sebagai tempat melekat mikroba. Media ini bisa berbahan plastik dengan beragam bentuk dan ukuran, tempurung kelapa tua, bambu, kayu, dll. Hanya satu syaratnya, berat jenisnya kurang dari satu agar mampu bergerak melayang-layang di dalam air (fluidized bed) atau melayang karena pengaruh upflow aliran airnya. Volume medianya maksimum 20% dari volume ruang kosong reaktor.
Dalam beberapa penelitian, BFR dibuat serupa dengan baffled flocculator dalam IPAM di PDAM tetapi ada juga yang berbeda, yaitu setiap ruang dipisahkan oleh sekat sehingga airnya dilewatkan melalui pipa berbentuk huruf H. Salah satu “kaki” pipanya (di bagian kiri) berfungsi sebagai inlet dan “kaki” lainnya sebagai outlet. Perlu diperhatikan, kaki-kaki pipa H ini berbeda panjangnya. Bagian inlet lebih panjang, yakni ujung bawahnya mendekati sludge yang mengendap di lantai reaktor. Ini memberikan kesempatan kepada air limbah untuk kontak dengan bioflok yang mengendap sehingga efisiensinya makin tinggi. Sedangkan kaki lainnya lebih pendek agar air yang baru masuk ke dalam bak tidak langsung menuju pipa keluar (short circuit) sehingga cukup waktu bagi mikroba untuk mengolah pencemarnya. Dengan konfigurasi pipa tersebut akan diperoleh waktu detensi yang berlipat-lipat lamanya.
Agar perkembangan biofloknya optimal, perlulah diatur lingkungan airnya, seperti asupan nutrisi dan pH. Pada tahap awal operasinya, harus dimasukkan bibit bakteri (seeding) yang dapat diperoleh dari biakan murni di balai penelitian atau dibeli dari pemasok, bisa juga dari rumen, tangki septik, atau lumpur filter anaerob. Bersamaan waktunya, diinjeksikan pula N dan P (NH4Cl dan K2HPO4). Setelah tiga hingga empat pekan, start-up dapat dimulai dengan memompakan sejumlah tertentu benih ke dalam reaktor untuk mengondisikan bakteri di dalam reaktor dengan air limbah. Proses ini relatif lama, bisa mencapai tiga bulan. Perlu ditambahkan juga larutan penyangga (buffer) pH, misalnya NaHCO3 agar pH-nya dalam rentang netral. Tanpa asupan alkalinitas ini, proses pengolahan dikhawatirkan gagal karena pH-nya menjadi rendah sehingga tidak nyaman bagi metanogen.
Dalam praktiknya, dosis injeksi NaHCO3 tersebut bervariasi, bergantung pada beban organiknya. Sudah diperoleh bahwa air limbah yang kaya karbohidrat dengan beban 10.000 mg/l COD dan menghasilkan 50% CO2 membutuhkan 2.300 mg/l alkalinitas sebagai CaCO3 agar pH-nya berkisar antara 6,8 - 7,0. Karena 1 g NaHCO3 = 0,6 g alkalinitas sebagai CaCO3 maka NaHCO3 yang dibutuhkan = 3,83 g. Jika efektivitas NaHCO3 (teknis) 75% maka dibutuhkan 5,1 g NaHCO3. Penambahan zat kimia tersebut tentu saja menambah biaya operasional instalasi. Oleh sebab itu, standar operasi prosedur (SOP) wajib diikuti oleh operator agar proses yang sudah berlangsung baik dapat bertahan lama. *
(Gede H. Cahyana, Majalah Air Minum, September 2010)