Rokok kini berada di ambang haram lewat fatwa MUI. Menurut ulama (atau sebagian ulama), rokok sudah lama diharamkan, atau menurut jumhur ulama, dimakruhkan lantaran tak bermanfaat bagi si perokok apalagi bagi orang lain yang terpaksa mengisap asapnya. Perokok yang “nyandu” selalu berkilah bahwa dirinya tak bisa bekerja, tidak kreatif kalau tidak memilin-milin rokok. Idenya pun, katanya, tak bisa keluar kalau tidak mencium bau tembakau dan aroma cengkeh. Maka, apapun kondisinya, seorang perokok akan rela ke warung pada malam dingin berhujan deras untuk membeli rokok. Ia rela menggigil sambil terbatuk-batuk demi memperoleh “mainannya” sebagai teman di kala sunyi, dingin, dan suntuk.
“Fatwa” lain sudah ada, yakni dari ahli lingkungan dan kesehatan. Menurut mereka, rokok adalah sumber pencemar, ikut menaikkan temperatur Bumi (global warming) yang berasal dari asapnya. Di asap inilah terkandung 4.000-an zat kimia beracun per batang rokok, seperti nikotin, tar, asbes, arsen, radon, benzene, bermacam-macam gas, dll yang berbahaya bagi paru, jantung, mata dan kulit. Racun ini memicu kanker (carcinogenic), sakit jantung, darah tinggi, pewarna gigi, dan lain-lain yang berasal dari bahan penyusun rokok: tembakau, kertas, dan zat perasa. Apa yang akan terjadi kalau asap yang dihirup manusia mengandung lebih banyak lagi zat pencemar daripada asap rokok? Contohnya, asap kendaraan bermotor kaya akan karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), timbal, jelaga, dll.
Bagaimana kalau asapnya lebih bahaya daripada asap kendaraan, yaitu asap bakaran sampah? Efeknya jauh lebih banyak, tak hanya orang dewasa yang mengisapnya tetapi juga anak-anak dan bayi. Bahkan yang tidak merokok dapat menjadi “perokok aktif” setiap detik dari asap bakaran sampah. Itu sebabnya, mesin pembakar sampah (insinerator) atau PLTSa menjadi ancaman terbesar bagi masyarakat di cekungan Bandung. Kondisi atmosfer di cekungan ini menyulitkan sebaran pencemar ke luar cekungan. Kepulan pencemar yang berisi asap, gas, uap logam beracun dengan mudah masuk ke paru-paru manusia. Tak hanya paru orang dewasa, tetapi juga masuk ke paru, kulit, jantung, dan pembuluh darah anak balita, bahkan ke bayi yang baru saja lahir.
Apa yang akan terjadi pada anak dan cucu orang Bandung dua atau tiga generasi mendatang sejak PLTSa dioperasikan? Semua paru generasi muda itu akan dipenuhi pencemar beracun PLTSa yang melekat di bronkioli dan alveolinya. Insidensi kanker paru, kulit, tenggorokan, mata, dan bahkan usus akibat sayur, ikan, daging yang juga tercemari polutan beracun dari PLTSa. Umur harapan hidup orang Bandung otomatis turun dan usia produktifnya berkurang karena dalam usia tiga puluhan atau empat puluhan mereka sudah kena kanker paru, tenggorokan, usus, dll.
Mari jujur menakar bahwa potensi bahaya PLTSa jauh lebih besar daripada sampah yang ditangani secara sanitary landfill (urugan saniter). Polusi udaranya terjadi hanya karena penguraian anaerobik (anaerobic degradation) berwujud CO2 dan CH4. Tiada uap logam, tiada pewarna beracun yang melayang-layang di udara sehingga nihillah potensi polusinya bagi hidung, paru, jantung, pembuluh darah, usus halus, usus besar, dll. Insindensi kanker pun bisa dikurangi dan kesehatan masyarakat bisa ditingkatkan, minimal dipertahankan agar tidak memburuk dari bulan ke bulan.
Mari jujur menilai bahwa energi hasil PLTSa pun jauh lebih kecil taraf ekonominya jika dibandingkan dengan kerusakan dan kesakitan yang ditimbulkannya. Ini serupa dengan rokok. “Menghalalkan” rokok dapat menghasilkan uang Rp 50 triliunan. Namun menurut Kak Seto (Dr. Seto Mulyadi) dari Komnas HAM, biaya berobat akibat rokok justru mencapai Rp 100 triliun per tahun. Artinya, efek buruknya jauh lebih banyak daripada manfaatnya. Serupa dengan itu, PLTSa pun jauh lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. PLTSa bak fatamorgana, dikira dapat memberikan solusi tetapi malah membuat letih dan payah saja.
Seorang spesialis paru menyatakan, ancaman rokok baru terasa setelah 15 s.d 20 tahun kemudian. Serangannya sangat mematikan. Tapi sedihnya, ancaman ini pun menyerang orang yang tidak merokok (perokok pasif)! Yah..., semoga dosa perokok pasif ini dialihkan ke para perokok yang menyebabkannya ikut kena kanker. Lantas, siapa yang menanggung biaya pengobatan orang yang menghirup asap, debu, dan gas pencemar beracun keluaran PLTSa? Sebab, dua puluh tahun lagi mungkin saja kalangan yang menggebu-gebu ingin membuat PLTSa ini sudah meninggal. Oh..., andaikata dosa penderita akibat PLTSa dapat dipikulkan kepada orang-orang yang membuat kebijakan PLTSa! Sebab, sesal kemudian tak berguna.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar