Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2008 ini ada 407 buku yang bisa digandakan dan dijual bebas dengan mengacu pada harga eceran tertinggi. Teoretisnya, murid dan guru makin mudah memperoleh buku atau memfotokopinya kemudian dipelajari lalu diajarkan di sekolah. Namun faktanya, buku-buku yang sudah dibeli hak ciptanya oleh Depdiknas itu tidak serta merta bisa dipelajari murid. Masalahnya bukan pada ada tidaknya akses internet, bukan lantaran tak ada toko fotokopi. Sebabnya ialah keengganan sekolah (guru) mengunduh e-book (electronic-book) atau buku elektronik (bukel) dengan alasan malas, tidak tahu caranya, belum punya akses ke internet, alamat situsnya belum diketahui, dll. Yang terakhir ini dapat disebut www.bse.depdiknas.go.id.
Namun alasan yang paling “masuk akal” ialah soal penghasilan. Bukel itu otomatis akan mengurangi, bahkan menghapus peluang memperoleh uang dari “royalti” penjualan buku yang dihadiahkan oleh penerbit atau supplier. Sejak dulu tentakel gurita penerbit atau pemasok ini masuk ke sekolah dan bukan isapan jempol. Dulu ada PP No. 11/2005 yang intinya pemberlakuan buku selama lima tahun. Tapi faktanya, buku tetap bergonta-ganti dari semester ke semester dan sekolah (guru) serta pemerintah daerah (Disdik) tak berkutik pada untaian uang yang dikibaskan penerbit. Godaan ini kian besar dari semester ke semester seiring dengan kian variatifnya jenis buku dan LKS yang diterbitkan pebisnis buku.
Aspek legal, mulai dari pemerintah pusat s.d pemerintah daerah sudah tak terhitung lagi. Sudah banyak peraturan tentang tataniaga buku pelajaran tetapi tak ada yang menyentuh substansinya atau tak diacuhkan oleh guru dan kepala sekolah. Apalagi ada iming-iming komputer, motor, alat-alat laboratorium atau uang jutaan dari penerbit kalau guru dan kepala sekolah mau menggunakan bukunya, baik berupa buku pelajaran maupun lembar kerja siswa (LKS). Pemerintah daerah (cq. Disdik) “seolah-olah” tak menggubris peraturan dan keputusan pemerintah pusat karena merasa punya hak otonomi. “Aku yang berkuasa. Akulah yang memutuskan”, begitulah barangkali.
Itu sebabnya terus bermunculan modus operandi baru dalam penjualan buku di sekolah, misalnya penerbit atau pemasok datang ke sekolah menggunakan mobil display atau van. Tentu saja sebelumnya utusan penerbit sudah kontak dengan kepala sekolah dan guru-guru. Bukunya memang tidak dijualkan oleh guru tetapi murid-murid disuruh membeli langsung ke penerbit. Mobilnya pun tidak masuk ke halaman sekolah tetapi penerbit menjual buku-bukunya di luar sekolah. Untuk soal latihan, guru menyuruh murid mengerjakan soal-soal di buku LKS. Murid yang tidak punya buku dan LKS harus menulis soalnya dulu sehingga sering tidak selesai dan nilainya kecil.
Murid yang lemah ekonominya tidak dapat mengerjakan pelajaran dan tidak dapat menjawab soal LKS. Mau tak mau murid ini merengek ke orang tuanya agar dibelikan LKS. Namun sayangnya, buku berkategori LKS ini kerapkali hanya dibahas dua-tiga halaman lalu tidak pernah lagi dibahas oleh gurunya. Selama satu semester buku LKS itu hanya menumpuk di meja atau di rak buku murid dan tak pernah dibuka-buka lagi. Parahnya lagi, tahun berikutnya tak bisa digunakan oleh adiknya karena sekolah (guru) sudah beralih ke penerbit lain. Begitulah setiap semester atau setiap tahun. Dengan kata lain, guru menyuruh murid membeli buku dan LKS hanyalah demi “royalti” dari penerbit. Harganya pun tidak main-main, antara Rp 200.000 s.d Rp 400.000-an per semester per orang/murid. Bayangkan kalau satu keluarga beranak dua atau tiga orang, berapa juta rogohan ke dompetnya yang justru terjadi ketika ada gembar-gembor sekolah gratis?
Sebetulnya tak masalah kalau sekolah (guru) menggunakan buku apa saja, yang penting sesuai dengan kurikulum pembelajaran. Yang lebih penting lagi, dan ini mendukung sekolah murah (apalagi sekolah gratis) adalah harganya murah dan mudah diperoleh. Mudah diperoleh berarti kuantitasnya banyak di pasar, ada di mana-mana, dari kota sampai ke pelosok. Bukel memenuhi kriteria ini karena bisa diunduh di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Apabila ada niat kuat dari pihak sekolah (guru) dan Disdik setempat, tentu akan lebih mudah lagi memasok buku ini ke murid-muridnya.
Semoga uang yang dibayarkan pemerintah pusat untuk 407 unit bukel itu tidak mubazir karena tiada yang menggunakannya sekaligus dapat mengurangi KKN buku dan LKS.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar