Usia delapan puluh tahun sudah termasuk uzur. Usia senja bagi manusia. Pemuda 1928 sudah tiada. Kalaupun ada, usianya mendekati 95-100 tahun. Tetapi tidak demikian dengan semangatnya. Orientasi spirit pemuda masa itu bukanlah pada lingkungan yang bermakna ekologis, melainkan pada makna geografis dan politis (geopolitis). Kepedulian pemuda saat itu pun sudah masuk ke dalam ranah linguis yang berkesadaran bahwa bahasa adalah alat pemersatu bangsa di tengah ratusan ragam bahasa etnis. Fakta sejarah ini mengedepankan kalangan muda terdidik yang mampu berpikir jernih akibat kepedihannya sebagai orang terjajah.
Bagaimana pemuda sekarang pada kwartal pertama abad ke-21 ini? Perlukah pemuda masa kini berikrar seperti pemuda pada paruh pertama abad ke-20? Jujur diakui, sepuluh tahun pasca-Orde Baru, ruang gerak pemuda sudah menemukan titik pendakiannya menuju puncak. Kaum muda mulai menapaki kursi legislatif di daerah dan pusat. Ada juga yang menjadi bupati, walikota, gubernur-wakil gubernur. Yang lainnya ada yang diamanahi sebagai pejabat di lembaga pemerintahan, BUMD, BUMN, menteri, kampus, LSM, atau organisasi masa. Tinggal satu lagi, yaitu pemuda dipercaya oleh mayoritas orang Indonesia untuk mengemban peran sebagai presiden dan wakil presiden, atau sebagai ketua MPR-DPR.
Lantas, adakah peran pemuda pada pelestarian fungsi lingkungan? Seorang atau sekumpulan pemuda/di di DPR-DPRD yang berhasil menelurkan undang-undang atau peraturan daerah yang arahnya melestarikan fungsi lingkungan adalah bentuk hakiki dari sumpah pemuda di bidang lingkungan. Ketika kaum tua yang memiliki pabrik dan kawasan industri, baik investor domestik maupun asing, merusak dan bermain mata dengan pejabat di pemerintahan kabupaten/kota, provinsi, dan pusat (kementerian), ada kalangan muda yang menjadi generasi penerusnya yang berani ambil tanggung jawab dalam lingkungan. “Sumpah” mereka ini dapat dilihat pada upayanya dalam menerapkan teknologi bersih, berandil dalam reboisasi, penyediaan air minum dan penyaluran air limbah. Patut pula diakui, jumlah pengusaha muda yang ekologis ini memang tidak banyak, namun sebagai tahap awal, sudah dapat dikatakan cukup baik.
Begitu pula, pemuda yang peduli lingkungan sudah masuk dalam kategori peduli hak asasi manusia. HAM, lingkungan dan pemuda erat pertaliannya. Oksigen yang menjadi produk utama fotosintesis adalah hak asasi manusia, terutama bagi orang yang tidak mencemari lingkungan. Cuaca yang labil, perubahan ekstrim iklim, kota yang memanas dari tahun ke tahun, dan banjir ketika hujan rintik-rintik adalah dampak buruk komersialisasi kawasan dan industri yang disetir kaum tua, terdiri atas direksi dan komisaris perusahaan. Di sinilah fungsi strategis pemuda sebagai agen pelawan petua yang tak mau berubah dan dipenjara oleh pola pikir lamanya bahwa produksi harus ditingkatkan tanpa peduli pada lingkungan. Gagasan pemuda di sini menjadi penting dalam tapak idealismenya yang peduli lingkungan dan ekologi.
Salah satu unsur pemuda adalah mahasiswa, kalangan belia yang energik. Tonggak waktu 1908, 1928, 1945, 1966, 1998 terbukti disetir oleh pemuda terpelajar dan/atau mahasiswa dan alumni baru. Memang, di antara pemuda itu ada yang kemudian menyimpang dari idealismenya, digerus oleh kepentingan keluarga, partai dan kelompoknya. Namun ada juga yang bisa terus bertahan dan menjadi kaum tua yang ajeg dalam perjuangan untuk masyarakat. Yang tersulit adalah tetap setia di jalan idealisme ketika muda dulu pada saat godaan materi, lawan jenis, dan eksistensi diri merubungnya. Ini digambarkan oleh hirarki Maslow yang menempatkan aktualisasi diri sebagai puncak piramid. Ini pula yang menyebabkan kalangan tua saat ini, yang ketika muda juga terlibat dalam gerakan pemuda, ingin terus menggenggam jabatan dan menjadi elite di republik ini.
Perihal pemuda di atas, akankah semangatnya bertahan terus sampai beranjak tua dan mengemban amanah sebagai anggota dewan, kepala badan, lembaga, dinas, bupati, walikota, gubernur, menteri, bahkan presiden? Keajegan pikiran dan tindakan pemuda yang berangsur tua ini menjadi inspirasi bagi generasi muda berikutnya. Pemuda yang bersumpah untuk memelihara lingkungan adalah cermin orang berwawasan lingkungan yang sadar bahwa lingkungan ini (tanah, air) adalah milik anak cucunya. Pemuda ini berciri khas bebas, spiritnya tinggi, kreatif, idealis, ajeg (konsisten), inovatif dan berani merespon masalah lingkungan yang berpotensi merusak ekologi dan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan.
Memang faktanya, ada juga pemuda yang terlibat korupsi, premanisme, dan prostitusi baik pelacuran intelektual (ijazah palsu, beli gelar, main sogok dalam akreditasi sekolah-kampus) maupun pelacuran ekopolitis. Hanya saja, peluang berubah masih ada dan masih dapat diubah bersama dengan dinamika pikiran dan gerakan massa yang diikutinya. Yang juga penting ialah masukan, petuah, dan contoh perilaku dari kaum tua agar mengurangi laku buruknya dalam pencalonan dirinya sebagai anggota dewan, kepala daerah, dan presiden. Perbaikan moral ini hendaklah ditunjukkan oleh generasi tua dengan cara memberikan bukti pada pemberantasan manipulasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Akhir kata, lingkungan dapat menjadi pemersatu pemuda dalam gerakan bersama melawan pemerintah pusat dan daerah yang hanya mewacanakan lingkungan dalam tugasnya tetapi tidak membuat langkah riil di masyarakat. Bahkan langkah riilnya kerapkali ditunggangi nuansa ekonomis demi kepentingan segelintir orang dan investor sekaligus mengorbankan masyarakat umum. Gejala ini tampak di sejumlah kota besar. Oleh sebab itu, saatnyalah pemuda/di setia pada basisnya yang independen: kalau bergerak di LSM hendaklah independen, ormas dan kepemudaan yang independen sehingga tidak punya utang jasa yang harus dibayar dengan melunturkan idealismenya ketika bersumpah “lingkungan” pemuda.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar