Seingatku, beliaulah yang selalu mengajar murid kelas satu dan kelas dua. Yang kelas satu mulai sekolah jam tujuh, pulang jam sembilan. Yang kelas dua mulai sekolah jam sepuluh, pulang jam dua belas. Waktu itu Bali termasuk Waktu Indonesia Barat (WIB) bukan Indonesia Tengah (WITA). Rumahnya masih satu jalan dengan lokasi SD, ke arah Selatan, di depan SMEA sehingga beliau pergi-pulang ke-dari sekolah berjalan kaki meskipun punya mobil. Pada dekade 1970-an itu jarang orang punya mobil di Tabanan kecuali kalangan tertentu. Telefon pun beliau punya pada masa itu ketika pemilik telefon dapat dihitung dengan jari tangan dan kaki. Beliau pun berjualan di sekolah, berjualan kue, rujak, dan plecing kangkung. Yang menjualnya bukan beliau, tentu saja, tetapi murid-murid kelas empat atau kelas lima. Imbalannya berupa kue atau uang. Nyaris tak ada sisanya setiap pulang sekolah. Habis dibeli murid-murid.
Ada lagi guru yang lain, berperawakan kekar, tegap dan besar rangka tubuhnya. Menaiki vespa, beliau selalu datang pagi-pagi benar. Rumahnya pun masih satu jalan dengan lokasi sekolah, menuju arah Utara, ke Banjar Kamasan. Sebagai kepala sekolah, beliau selalu menjadi inspektur upacara. Suara baritonnya keras terdengar dalam jarak tiga kelas. Yang tak mungkin kulupakan adalah ketika beliau mengajak kami menyanyikan lagu-lagu wajib, lagu perjuangan pada siang hari menjelang bubar sekolah. Sambil bertepuk tangan, kami nyanyikan Garuda Pancasila, Maju Tak Gentar, dan lagu lainnya. Halo Halo Bandung pun tak ketinggalan. Pada waktu itu aku tak tahu bagaimana kondisi Bandung. Tetapi aku tahu dari pelajaran di sekolah bahwa Bandung terletak di Jawa Barat, berhawa dingin dan katanya..., gadis-gadisnya berkulit kuning langsat. Mojang Priangan..., begitu katanya.
Guru...., guru.... guruku.
Teman-temanku bilang, dan patutlah diakui, guru masa lalu... berbeda dengan guru pada masa kini. Aku mengiyakannya. Kutahu bedanya, misalnya dalam hal spiritnya, jenjang pendidikannya, kedalaman - keluasan ilmunya, fasilitasnya, dan... tentu saja..., gajinya. Guru anak-anakku pun sekarang berbeda dengan guru-guruku dulu dalam banyak hal. Yang pasti..., tak satu pun guruku itu bergelar sarjana. Mereka tamatan sekolah guru, semacam Sekolah Pendidikan Guru (SPG) atau Sekolah Guru Bawah (SGB), Sekolah Guru Atas (SGA). Kini mereka sudah pensiun, ada beberapa yang meninggal.
Layaknya manusia, memang ada guru yang baik dan ada juga yang buruk perilakunya. Mereka seperti profesi lainnya, ada yang saleh, ada juga yang salah sehingga menjadi tidak adil kalau yang disorot hanya sisi buruknya. Sisi baiknya juga wajib diapresiasi. Satu hal yang aku yakini, guru sekarang sudah jauh lebih maju, terutama pendidikannya. Ada guru yang bergelar profesor, ada yang doktor dan banyak guru yang menyandang magister. Yang bergelar sarjana pun terus bertambah karena ada poinnya dalam portofolio sertifikasi guru.
Kuakui, lantaran guru pula aku bisa membaca dan menulis. Adapun kritikku pada guru selama ini, terutama terhadap guru masa kini, lebih karena kecintaanku kepada mereka. Sejumlah temanku kini menjadi guru, ada yang sudah menjadi kepala sekolah. Adikku, saudaraku juga berprofesi sebagai guru. Dulu, ketika masih kuliah, aku dan adikku, juga dengan teman-temannya sering bergurau. Aku katakan bahwa aku akan jadi insinyur. Mereka pun lantang menjawab dengan mimik serius bahwa mereka akan menjadi gurunyur.
Akhir kata, untuk bapak dan ibu guru yang saya hormati, juga untuk adik-adik guru dan calon guru (yang sedang prajabatan), juga guru honorer, saya ucapkan selamat memperingati Hari Guru Nasional, 25 November 2008.
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung, ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar