Aku berdiri agak di tengah, wajah lurus menatap kamera, berambut panjang yang agak berkuncir di bagian belakang, berada di samping kanan Prof. A. Sadali. Kegiatan ini termasuk fase awal aku belajar tentang Islam, agama rahmat bagi alam, tetapi mayoritas manusia tidak menyadarinya lantaran bertekuk lutut di bawah kerling megah mewah nikmat dunia.
Studi Islam Intensif, disingkat SII, adalah salah satu kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh pengelola Masjid Salman ITB. Pada masa itu, ikhwan Yan Orgianus menjadi motornya, penggerak kegiatan kaderisasi di Salman, dibantu belasan orang lainnya.
Inilah kondisi koridor Timur masjid Salman pada masa itu yang nyaris tak beda dengan kondisinya sekarang, 2008.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Salman, bagi saya, begitu berjasa. Di masjid inilah kali pertama saya mendapat pencerahan Islam. Masjid kampus yang dikelola akademisi ITB ini mengajak saya lebih dalam menyelami dan lebih luas melayari samudra Islam. Berbagai ilmu saya dapatkan di masjid yang didirikan atas prakarsa Prof. T. M. Soelaiman, seorang Guru Besar Teknik Elektro ITB dan Prof. Achmad Sadali dosen FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain) ITB.
Lewat Studi Islam Intensif atau SII-lah saya makin tahu tentang Islam. Setelah SII dan menjadi panitia SII periode berikutnya mulailah saya betah di Salman. Nyaris tiap hari di Salman. Kawan-kawan meluas, ada yang dari Universitas Padjadjaran, STKS, IKIP Bandung (UPI), Univ. Parahyangan dan banyak lagi yang lain. Di antara kawan-kawan itu ada yang fasih baca Qur’an dan ternyata ada juga yang masih dalam taraf belajar bahkan tak tahu huruf Hijaiyah. Pendeknya, kami berasal dari bermacam latar belakang perguruan tinggi, jurusan dan suku. Yang sama ialah kami sama-sama mahasiswa muslim, sama-sama ingin memperbaiki diri dan melepas keburukan diri.
Saat SII itulah saya rutin shalat berjamaah. Apalagi yang dibaca ayat 27-29 al-Fath. Ayat ini begitu menggugah rasa keislaman saya terutama setelah mendengar dan membaca uraian sebab-sebab turunnya ayat tersebut. Saya berkali-kali membaca buku Kumpulan Materi LMD dan SII. Buku yang saya miliki ialah yang cetakan ketiga, tahun 1987. Bab I, Kemenangan berisi kupasan al-Fath 27-29, ditulis oleh Yan Orgianus dengan memikat. Senang saya jadi makmumnya lantaran ayat yang dibacanya al-Fath 27-29. Saat Maghrib dan Isya saya upayakan di Salman agar hafalan saya makin lancar. Maklum, baru belajar.
Selain Kak Yan, ada Prof. Achmad Sadali. Namun, tak lama setelah SII itu beliau pulang ke rahmatullah; saya sempat ke pemakaman beliau. Waktu itu saya bertanya dalam hati, mengapa orang sekaliber Prof. Sadali dimakamkan dengan acara yang sederhana. Menurut batin saya beliau seharusnya dihormati dengan cara pemakaman yang meriah layaknya pahlawan. Tapi pertanyaan itu tak jua terjawab. Saya lupa, apakah rektor ITB hadir waktu itu, entahlah anggota senatnya. Yang saya lihat hanya kalangan aktivis Salman dan penceramah atau pemateri di Salman.
Pada masa itu saya rutin mengikuti ceramah K.H. Rusyad Nurdin. Ceramah beliau selalu saya nanti-nantikan. Isinya selalu menggugah hati walau sederhana dan tak banyak istilah asing yang muncul. Beliau sering bercerita tentang baju besi Ali bin Abi Thalib, juga Newton dan Einstein. Juga pernah bertutur tentang persaingan bisnis teh. Ada dua perusahaan teh, tutur beliau suatu kali, yang bersaing. Yang satu berupaya membeli teh dari perusahaan yang lain lalu menaruh teh itu di gudangnya. Setelah busuk perusahaan ini mengedarkannya ke semua pasar sehingga image masyarakat terhadap teh itu menjadi buruk. Pembeli beralih membeli teh perusahaan satunya lagi sehingga perusahaan teh lainnya bangkrut. Inilah akhlak berdagang yang buruk, kata beliau.
Beliau juga berkisah tentang penguasa yang wajib dicontoh. Ini ada pada diri Umar bin Abdul Aziz yang tak mau menggunakan lampu minyak milik negara untuk urusan keluarga. Waktu itu saya merasa aneh pada pernyataan Pak Rusyad. Kok ada orang seperti itu? Apakah itu betul-betul terjadi atau sekadar kisah hikmah saja? Begitulah saya membatin. Inti kuliah beliau saat itu adalah jangan gunakan apa pun milik negara jika bukan untuk urusan negara. Pejabat, lanjutnya, akan berat tanggung jawabnya di akhirat kecuali sudah tak percaya lagi pada siksa neraka, merasa akan hidup selama-lamanya.
Akhlak memang inti utama bahasan beliau. Apakah akhlak? Akhlak, menurut Al Ghazali, ialah pembawaan atau sifat seseorang yang terpendam dalam lubuk hatinya yang dapat mendorongnya melahirkan amal perbuatan dengan spontan, tanpa dipikirkan lebih dulu.
Demikian.... adanya. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar