Pembaca MAM yang terhormat, tulisan kali ini mengetengahkan salah satu masalah di PDAM. Walaupun tidak langsung berbicara tentang sainstek tetapi tetap berkaitan erat dengan sainstek yang diterapkan PDAM. Tulisan ini mengangkat kejadian di PDAM Kota Bandung. Tiada maksud negatif dalam tulisan ini kecuali berbagi kepada PDAM Kota Bandung dan agar dapat dijadikan ibrah bagi PDAM lainnya bahwa persoalan sumber air, transmisi air baku dan olahan, dan distribusinya tidak melulu diderita oleh PDAM kecil.
PDAM Kota Bandung dapat dikategorikan sebagai PDAM "raksasa" jika dipandang dari jumlah pelanggannya. Tak kurang dari 143.000-an pelanggan mengandalkan pasokan airnya dari PDAM yang sejarahnya bisa ditarik ke masa Technische Dienst Afdeling masa kolonial Belanda ini. Meskipun sudah berusia matang, namun masalahnya tetap banyak dan salah satunya ialah air baku. Mentransmisikan air baku dari luar kota ke pusat Kota Bandung bukanlah hal mudah. Pipa transmisi PDAM Kota Bandung berkali-kali pecah. Yang terakhir terjadi pada medio September 2008, tepat saat warga bersiap-siap makan sahur untuk puasa Ramadhan 1429 H.
Akibatnya, sekitar 105.000-an pelanggan PDAM tidak memperoleh air selama pipa yang pecah di Jalan Raya Banjaran, Kabupaten Bandung itu diperbaiki. Jumlah tersebut adalah pelanggan yang berlokasi selain di Bandung Utara. Dengan kata lain, jumlah pelanggan yang tidak kebagian air secara kontinu atau hanya memperoleh giliran singkat saja selama perbaikan pipa dan pemulihan aliran air mencapai 73% dengan asumsi jumlah pelanggan totalnya seperti di atas. Demikian menurut Kepala Seksi Distribusi, Ubang M. Besari, S.T yang juga alumnus Teknik Lingkungan Universitas Kebangsaan Bandung di sebuah koran lokal.
Menurut catatan, “ledakan” pipa itu memang sudah berkali-kali terjadi. Dalam hemat penulis, pipa pecah pernah terjadi pada Agustus 2001. Bahkan pada saat itu ada seloroh bahwa terjadi ledakan bom yang dikait-kaitkan dengan pelengseran Gus Dur oleh MPR dari kursi kepresidenan (Sumber: buku PDAM Bangkrut? Awas Perang Air). Ledakan juga terjadi pada Maret 2005 dan Juni 2005. Berikutnya pada 2006 dan pada bulan puasa 2008 ini ledakan yang memancurkan air baku setinggi dua meter (kata warga setempat) belum tentu menjadi ledakan terakhir. Sebab, ledakan atau pipa pecah tersebut dapat saja terjadi lagi pada masa yang akan datang. Adakah cara untuk mencegahnya?
Pipa Berlumpur
Cisangkuy adalah sungai yang menjadi sumber utama air baku PDAM Kota Bandung dengan debit sadapan mencapai 1.400 l/d. Panjang pipa transmisinya 32 km. Sumber air baku kedua berasal dari Sungai Cikapundung yang bangunan sadapnya berada di hilir jembatan Siliwangi, di dekat Sabuga ITB, berkapasitas 150 l/d. Sebetulnya ada lagi debit sadapan 600-an l/d dari Cikapundung ini tetapi instalasi pengolahan airnya berlokasi di Dago Pakar dan hanya untuk melayani pelanggan yang berada di Bandung Utara. Itu sebabnya, pelanggan Bandung Utara tidak akan (pernah) kekurangan air minum dari PDAM (selama hutan di Kawasan Bandung Utara (KBU) lestari). Apalagi ada sumber-sumber mata air yang banyak dieksploitasi PDAM untuk pelanggan Bandung Utara.
Hanya saja, Cisangkuy adalah sumber air baku utama bagi Kota Bandung. Itu sebabnya, ledakan atau pipa pecah seharusnya tidak boleh terjadi di sini. Kalaupun terjadi maka rentang waktu tercepatnya ialah 20 tahun masa desain. Namun faktanya tidak demikian, pipanya pecah berkali-kali. Menyalahkan usia pipa memang sah-sah saja, karena memang sudah tua. Akan tetapi, pipa yang ditanam di dalam tanah memiliki aturan khusus dengan syarat minimal lima meter sehingga praktis tidak terpengaruh oleh beban yang ada di permukaan tanah. Beban bergerak pun secara teoretis tidaklah besar pengaruhnya pada geseran pipa karena pipanya besar dan berisi air yang terus-menerus mengalir.
Lalu apa sebabnya? Ada sebab lain yang patut diduga lantaran airnya berlumpur. Kenapa berlumpur? Padahal di lokasi sadapan airnya sudah dilengkapi dengan fasilitas pemisah lumpur yang disebut prasedimentasi. Kalau lumpurnya banyak di dalam pipa transmisi berarti prasedimentasinya tidak berfungsi optimal. Apabila tidak berfungsi dengan baik maka dapat dicek di zone lumpurnya. Berapa kalikah frekuensi pembersihan lumpur prasedimentasi per pekan? Sedikitnya endapan lumpur di unit prasedimentasi ini, selain membuktikan disfungsi prasedimentasi juga mengindikasikan bahwa air sungai tersebut banyak mengandung koloid.
Hal ini bisa diduga andaikata di hulu Cisangkuy tidak sedang hujan. Koloid memang tidak akan mungkin diendapkan sehingga terbawa air dan mengalir di dalam pipa lalu masuk ke IPAM Badaksinga. Lumpur yang terbawa aliran ini akan banyak dibuang di IPAM Badaksinga. Lantas, betulkah banyak lumpur yang dibuang di Badaksinga? Kalau jawabnya tidak, patut diduga koloid itu sudah lebih dulu mengendap di sepanjang pipa transmisi. Endapan ini lama-lama bertambah banyak, bertumpuk-tumpuk sehingga suatu saat dapat menyumbat aliran air. Ketika tersumbat inilah terjadi tekanan air yang sangat tinggi, bisa berpuluh kali lipat dari tekanan normalnya ketika airnya mengalir lancar. Tekanan yang sangat besar ini, meskipun hanya sedetik dua detik dapat dengan mudah memecahkan pipa.
Pertanyaan berikutnya, kenapa koloidnya bisa mengendap di dalam pipa? Bukankah koloid tidak dapat diendapkan apalagi di dalam air yang mengalir? Memang betul, koloid tidak dapat diendapkan. Secara teoretis, sampai dunia kiamat pun koloid tidak akan bisa mengendap alamiah karena stabilitas muatannya. Namun demikian, ada hipotesis bahwa koagulasi-flokulasi dapat terjadi pada gerakan zig-zag dan akibat benturan dan gesekan secara fisika. Jadi, proses kogulasi dan flokulasi tidak hanya melulu dimonopoli oleh zat kimia koagulan seperti tawas dan polielektrolit (PAC) tetapi bisa juga akibat pusaran dan benturan antarkoloid ketika mengalir dengan kecepatan tinggi di dalam pipa transmisi air baku. Inilah yang menyebabkan banyak endapan di dalam pipa tersebut. Jika demikian, adakah jalan keluarnya?
Opsi Solusi
Ada beberapa opsi yang bisa ditempuh PDAM agar pipa transmisi air bakunya tidak lagi pecah pada masa yang akan datang. Opsi pertama, PDAM dapat merelokasi Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) di Badaksinga ke lokasi di dekat intake (unit sadap). IPAM dengan unit pengolahan konvensional yang dilengkapi unit koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan filtrasi dapat dibangun di sini. Air olahannya lalu dialirkan ke dalam pipa transmisi eksisting tanpa harus memasang pipa baru. Adapun IPAM Badaksinga bisa digunakan untuk mengolah debit tambahan dari Sungai Cikapundung atau menyadap air dari sungai lainnya yang berhulu di KBU.
Jika ditinjau dari sisi ekonomi, membuat IPAM di dekat intake memang mahal. Kalau air yang diolah 1.400 l/d maka diperkirakan pembangunanya memerlukan dana 120 Milyar. Begitu juga biaya operasi-perawatannya akan mahal karena harus memindahkan kantor operator dari Badaksinga ke lokasi baru. Belum lagi perumahaan bagi karyawan yang bertugas di instalasi, tentu lebih berat lagi beban finansialnya. Transportasi zat kimia pun menjadi lebih jauh sehingga menjadi mahal juga. Ini akan berakhir pada kenaikan tarif air minum kalau semua biayanya dibebankan kepada pelanggan. Gaji atau honor karyawan pun akan bertambah untuk memberikan insentif berupa honor daerah terpencil. Belum lagi urusan administrasi dan keluarga karyawan/operatornya.
Kalau berat memilih opsi pertama, masih ada opsi kedua. IPAM dibuat di suatu tempat yang menguntungkan secara hidrolis bagi PDAM sehingga aliran airnya masih tetap bisa secara gravitasi. Di lain pihak, tekanan sisa yang ditimbulkan akibat lokasi alternatif ini harus juga memenuhi kemampuan daya tahan bahan pipanya. Pipa air baku eksisting dialihkan fungsinya menjadi dua, yaitu ada yang berfungsi sebagai pipa air baku seperti sekarang dan satunya lagi beralih fungsi menjadi pipa transmisi air minum. Segmen pipa air minum ini akan sangat mengurangi beban pipa dan mengurangi erosi akibat lumpur sehingga daya tahannya lebih kuat. Pipa air baku sisanya tetap digunakan sebagai penyalur air baku tetapi tekanan sisanya sudah jauh berkurang sehingga ledakan pipa pun menjadi berkurang atau bahkan tidak akan pernah terjadi lagi. Selain itu beban yang ditanggung pipa akibat lumpur pun dapat dikurangi sampai batas toleransinya.
Cara ketiga, meskipun sepanjang pipa transmisi dilengkapi berbagai peralatan seperti pressure relief valve, wash out, air valve, dll PDAM masih perlu membuat sejumlah bak pelepas tekanan (BPT, break pressure tank) di lokasi yang tepat secara topografi. Selain memberikan efek aerasi dan reduksi tekanan, juga sebagai penjebak lumpur terutama saat hujan karena prasedimentasi tak mampu mengolahnya. Memang, perlu investasi dan perawatan untuk BPT ini. Selain itu, unit ini pun dapat menjadi bumerang bagi PDAM kalau teledor dalam pengawasan. BPT bisa saja dijadikan sumber air oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab atau bahkan menjadi tempat sabotase. Ini tentu berbahaya bagi pelanggan. Tapi kalau ada pengawasan ketat, kekhawatiran di atas tidak akan terjadi.
Yang keempat, PDAM Kota Bandung dapat mulai menata sistem distribusinya secara total. Katakanlah, sistem distribusinya harus “turun mesin” lalu dibuat dan dipetakan lagi secara akurat dengan memilah-milahnya menjadi beberapa zone. Minimal ada lima zone. Zone Bandung Utara sudah bisa dipisahkan dari zone lainnya dan tidak perlu ada interkoneksi pipa induk distribusi atau dari pipa sekundernya. Kalaupun terpaksa harus dikoneksikan, maka wajiblah dipasangi katup dan hanya dengan alasan yang kuat saja katup tersebut boleh dibuka dan mendapat persetujuan direksi dan badan pengawas.
Sesungguhnya, zonasi di Kota Bandung sangat perlu dibuat mengingat topografinya berupa cekungan dan area layanannya sangat luas. Tanpa zonasi, mustahil masalah K3T (kualitas, kuantitas, kontinuitas, tekanan) dapat tercapai dengan memuaskan. Pasti selalu terjadi masalah dari hari ke hari. Zonasi ini bisa disandarkan pada pembagian topografi dengan mengacu pada lereng tanah. Lerenglah penentu pola zonasi sekaligus menentukan lokasi, jumlah, dan volume reservoir distribusi di setiap zone. Pada saat yang sama, semua pipa distribusi harus dipetakan sekaligus memberikan keputusan mana pipa yang masuk ke zone satu dan mana yang masuk ke zone lainnya. Zonasi tidak perlu mengacu pada pembagian wilayah kecamatan. Zonasi hanya bergantung pada topografi, luas, dan bentuk lereng. Boleh jadi masih ada lagi opsi lainnya yang bisa dijadikan pertimbangan.
Demikian, semoga bermanfaat bagi PDAM Kota Bandung dan juga bagi PDAM lainnya. Bangkitlah PDAM! *
(Majalah Air Minum, edisi 157, Oktober 08)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar