Qurban, Ketidakpastian Heissenberg
Oleh Gede H. Cahyana
Kilatan cahaya
atau energi foton yang membawa pahala untuk orang-orang yang berkurban memang dijamin
Allah dan dijelaskan dalam hadis. Lumrah bagi manusia sebagai pedamba surga, titik
akhir yang diminati pekurban adalah dekat dengan Allah setelah ikhlas melepas
uang dalam bentuk kambing, domba, sapi, kerbau, atau unta. Kedekatan ini atau quraba, qoruba, bukanlah secara materi
jasadiah, melainkan esensi ruhiyah. Karena makna batiniahnya tidak kasat mata maka
banyak orang yang tidak percaya bahwa pahala berkurban betul-betul ada. Keraguan
ini timbul serupa dengan keraguan manusia pada eksistensi akhirat, pada surga-neraka.
Ini pulalah yang selalu memunculkan pertanyaan sejak dulu hingga akhir zaman
nanti, yaitu adakah surga, adakah neraka? Betulkah ada?
Pertanyaan itu pun
muncul ketika Idul Adha kemarin. Pastikah masuk surga orang-orang yang
berkurban? Untuk menjawab kesangsian ini tidak bisa “to the point”. Harus ada penjelasan dulu, ada uraian awal tentang
makna qurban, sebab-musabab adanya
ibadah qurban, dan manfaat sosial-ekonomi-politiknya. Dengan kata lain, ada Teori
Kemungkinan, ada Prinsip Ketidakpastian dalam balasan berupa surga-neraka. Di
mana posisi atau kedudukan pequrban
dapat dianalogikan dengan Prinsip Ketidakpastian Heissenberg yang menyatakan bahwa
momentum linier & posisi partikel (elektron) tak dapat ditentukan dengan
ketelitian tak terbatas secara simultan. Artinya, efek berkurban dalam
pandangan surga-neraka tak dapat ditentukan secara otomatis untuk posisi surga karena
itu merupakan hak “prerogatif” Allah. Karena hak privilese inilah Allah tak dapat
diganggu gugat oleh siapapun dan dengan jumlah hewan kurban berapapun, sebesar
apapun energi dan momentum yang dikeluarkan hewan itu untuk menarik manusia
masuk ke dalam surga.
Kalau dikiaskan, Allah tidak bisa disogok dengan segepok
uang dollar agar ibadah qurban seseorang diterima, juga tak dapat diluluhkan
“hati-Nya” dengan ribuan hewan qurban. Jangankan satu, dua, tiga ekor sapi,
dengan ribuan sapi pun Allah tak dapat disogok untuk memberikan surga-Nya yang tak terbatas luasnya itu. Oleh sebab
itu, orang-orang yang berqurban
tetap diminta ikhlas, tidak sombong, tidak riya’ ketika berqurban atau
ketika namanya disebut dalam prosesi pemotongan hewan di pelataran masjid. Prinsip
probabilitas tetap berlaku bagi siapa saja yang berqurban.
Ketidakpastian Heissenberg selalu mendampingi pequrban, apakah dihormati dengan surga ataukah dinistakan
dengan neraka di alam baqa. Hanya saja, seperti jaminan Allah dalam Al Quran dan
Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya, gelombang pahalanya berkelebat lebih cepat
daripada kilat menuju pequrban.
Tetapi hadiahnya apakah berupa surga, ini masuk ke dalam Teori Kemungkinan (Probability
Theory) atau Prinsip Ketidakpastian (Uncertainty Principle).
Kenapa tak
pasti? Sebab, urusan surga-neraka adalah murni pengetahuan Allah. Yang
gaib-gaib seperti ini tak mampu diketahui oleh manusia, apalagi manusia yang
belepotan dosa, yakni semua manusia hingga akhir zaman. Ada kisah, orang yang
tidak beribadah haji karena sebagian biayanya disedekahkan untuk orang yang
sangat membutuhkan, justru memperoleh predikat sebagai orang yang mabrur
hajinya. Ini senada
seirama dengan tulisan Haji Tanpa Makkah
oleh KH. Ali Mustafa Yaqub di rubrik Hikmah, koran Republika, (Selasa, 30
Oktober 2012). Sebaliknya, ada
yang berhaji tetapi hajinya dinilai sebagai haji mardud. Hikmahnya apa? Seperti
halnya loncatan elektron yang tereksitasi dengan energi yang besar, energi
hewan qurban dikiaskan dapat meloncatkan manusia menuju maqam (bukan
makam/kuburan) mulia, lepas dari sifat kebinatangannya. Ketika hewannya
disembelih, disembelih pulalah sifat-sifat bengisnya kepada sesama manusia. Sudahkah
perikehewanan dan kebengisan itu disembelih oleh pequrban pada hari
Idul Adha dan tiga hari Tasyrik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar