• L3
  • Email :
  • Search :

30 Oktober 2012

Qurban, Ketidakpastian Heissenberg


Qurban, Ketidakpastian Heissenberg
Oleh Gede H. Cahyana


Kilatan cahaya atau energi foton yang membawa pahala untuk orang-orang yang berkurban memang dijamin Allah dan dijelaskan dalam hadis. Lumrah bagi manusia sebagai pedamba surga, titik akhir yang diminati pekurban adalah dekat dengan Allah setelah ikhlas melepas uang dalam bentuk kambing, domba, sapi, kerbau, atau unta. Kedekatan ini atau quraba, qoruba, bukanlah secara materi jasadiah, melainkan esensi ruhiyah. Karena makna batiniahnya tidak kasat mata maka banyak orang yang tidak percaya bahwa pahala berkurban betul-betul ada. Keraguan ini timbul serupa dengan keraguan manusia pada eksistensi akhirat, pada surga-neraka. Ini pulalah yang selalu memunculkan pertanyaan sejak dulu hingga akhir zaman nanti, yaitu adakah surga, adakah neraka? Betulkah ada?

Pertanyaan itu pun muncul ketika Idul Adha kemarin. Pastikah masuk surga orang-orang yang berkurban? Untuk menjawab kesangsian ini tidak bisa “to the point”. Harus ada penjelasan dulu, ada uraian awal tentang makna qurban, sebab-musabab adanya ibadah qurban, dan manfaat sosial-ekonomi-politiknya. Dengan kata lain, ada Teori Kemungkinan, ada Prinsip Ketidakpastian dalam balasan berupa surga-neraka. Di mana posisi atau kedudukan pequrban dapat dianalogikan dengan Prinsip Ketidakpastian Heissenberg yang menyatakan bahwa momentum linier & posisi partikel (elektron) tak dapat ditentukan dengan ketelitian tak terbatas secara simultan. Artinya, efek berkurban dalam pandangan surga-neraka tak dapat ditentukan secara otomatis untuk posisi surga karena itu merupakan hak “prerogatif” Allah. Karena hak privilese inilah Allah tak dapat diganggu gugat oleh siapapun dan dengan jumlah hewan kurban berapapun, sebesar apapun energi dan momentum yang dikeluarkan hewan itu untuk menarik manusia masuk ke dalam surga.

Kalau dikiaskan, Allah tidak bisa disogok dengan segepok uang dollar agar ibadah qurban seseorang diterima, juga tak dapat diluluhkan “hati-Nya” dengan ribuan hewan qurban. Jangankan satu, dua, tiga ekor sapi, dengan ribuan sapi pun Allah tak dapat disogok untuk memberikan surga-Nya  yang tak terbatas luasnya itu. Oleh sebab itu, orang-orang yang berqurban tetap diminta ikhlas, tidak sombong, tidak riya’ ketika berqurban atau ketika namanya disebut dalam prosesi pemotongan hewan di pelataran masjid. Prinsip probabilitas tetap berlaku bagi siapa saja yang berqurban. Ketidakpastian Heissenberg selalu mendampingi pequrban, apakah dihormati dengan surga ataukah dinistakan dengan neraka di alam baqa. Hanya saja, seperti jaminan Allah dalam Al Quran dan Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya, gelombang pahalanya berkelebat lebih cepat daripada kilat menuju pequrban. Tetapi hadiahnya apakah berupa surga, ini masuk ke dalam Teori Kemungkinan (Probability Theory) atau Prinsip Ketidakpastian (Uncertainty Principle).

Kenapa tak pasti? Sebab, urusan surga-neraka adalah murni pengetahuan Allah. Yang gaib-gaib seperti ini tak mampu diketahui oleh manusia, apalagi manusia yang belepotan dosa, yakni semua manusia hingga akhir zaman. Ada kisah, orang yang tidak beribadah haji karena sebagian biayanya disedekahkan untuk orang yang sangat membutuhkan, justru memperoleh predikat sebagai orang yang mabrur hajinya. Ini senada seirama dengan tulisan Haji Tanpa Makkah oleh KH. Ali Mustafa Yaqub di rubrik Hikmah, koran Republika, (Selasa, 30 Oktober 2012).  Sebaliknya, ada yang berhaji tetapi hajinya dinilai sebagai haji mardud. Hikmahnya apa? Seperti halnya loncatan elektron yang tereksitasi dengan energi yang besar, energi hewan qurban dikiaskan dapat meloncatkan manusia menuju maqam (bukan makam/kuburan) mulia, lepas dari sifat kebinatangannya. Ketika hewannya disembelih, disembelih pulalah sifat-sifat bengisnya kepada sesama manusia. Sudahkah perikehewanan dan kebengisan itu disembelih oleh pequrban pada hari Idul Adha dan tiga hari Tasyrik?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar