Bergurau dengan Monyet
di Sangeh
Oleh
Gede H. Cahyana
Bagaimana rasanya dinaiki monyet (monkey) atau raja monyet? Bagaimana rasanya bersenda gurau dengan monyet? Tegang, senang, takut, larut dalam
kemelut atau gemetar menjalar di sekujur tubuh? Wisatawan yang belum tahu
karakter monyet di Sangeh tentu kaget, bahkan menjerit-jerit. Anak-anak dan
orang dewasa, apalagi kakek-nenek atau lansia (lanjut usia) bisa berdebar-debar
bahkan berdentum-dentum jantungnya. Yang sudah tiga kali atau lebih ke Sangeh
tentu tidak demikian. Mereka paham karakter monyet dan tahu cara
“menjinakkannya”.
Sangeh adalah objek wisata yang berada nyaris di tengah-tengah
Pulau Bali, di Desa Adat Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Badung
adalah kabupaten terkaya di Bali dengan sumber PAD terbesarnya dari sektor
wisata. Tak kurang dari 2,6 juta orang masuk ke Badung pertahun lewat Bandara Ngurah Rai, mayoritas dari Asia Pasifik. Belum lagi yang
masuk lewat pelabuhan laut Gilimanuk dan Padangbai. Itu sebabnya, kabupaten ini
memiliki kompleks perkantoran terpusat yang terluas, termegah dan artistik di
Indonesia, mengalahkan Tenggarong. Namanya Mangupura, lalu sekarang menjadi
Mangupraja, Sempidi. Betapa tidak, Kuta, Legian, Seminyak, Kerobokan, Sanur, Art Center, Benoa, Nusa Dua, Taman Ayun,
Uluwatu, dan sederet lagi yang lain berpijak di Badung dan menjadi tujuan utama
wisata biro perjalanan.
Kembali ke Sangeh. Secara
legal formal, Sangeh dijadikan objek wisata pada tahun baru 1 Januari 1969. Dengan
dana dari sumbangan wisatawan yang ke Sangeh, objek ini terus berbenah. Baru
pada tahun 1996, tepatnya 1 Januari, resmilah penarikan retribusi berdasarkan
Perda No. 20 tahun 1995 Kab. Badung dengan pengelola resminya adalah Desa Adat
Sangeh. Awalnya, hutan seluas 10,8 Ha ini berupa cagar
alam kemudian berubah menjadi Taman Wisata Alam berlandaskan SK Menteri Kehutanan
no. 87/Kps-II/1993 yang luas hutannya ditambah 3,169 hektar. Selain populasi monyet yang
terdiri atas 600-an ekor, daerah ini juga kaya dengan pohon pala, Dipterocarpus trinervis. Juga ada 54 jenis pohon lainnya, antara lain amplas
(Tetracera scandens), Pule (Alstonia scholaris), buni (Antidesma bunius), cempaka kuning (Michella campaka), kepohpoh (Buchanania arborescens).
Selain monyet abu-abu tersebut (Macaca fascicularis), ada 22 jenis satwa lain, di antaranya
alap-alap (Elanus hypoleuca), elang (Haliaster indus), burung hantu (Type java albanica), terocok (Gouvier ahalis), musang (Paradorurus hermaproditus), kucing hutan
(Felis bengalensis), sendang lawe (Ciconia episcopus). Hanya saja, wisatawan
harus sabar untuk dapat melihat hewan-hewan ini. Dengan bantuan guide, kita bisa minta tolong di mana
saja lokasi hewan tersebut. Satu lagi, amankan atau simpan perhiasan, jam
tangan, kaca mata, kamera, ponsel, dll agar tidak diincar oleh monyet. Meskipun
tidak senakal monyet di Uluwatu, wisatawan sebaiknya waspada. Ia pun tidaklah
sejinak monyet di Alas Kedaton, Tabanan.
subhanalloh.. jadi ingin kesana,
BalasHapusingin menyaksikan secara langsung kekayaan budaya & alam Indonesia