Kabar anyar yang dirilis pengkaji kelayakan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) (PR, 28/1): perlu 7.200 m3 atau 1.800 ton sampah per hari untuk menghasilkan 30 MW agar tercapai titik impas. Impas dalam berapa tahun, tak disebutkan dalam berita itu. Angka itu (mungkin) didasarkan pada asumsi berat sampah 0,25 ton/m3.
Menurut tim itu, PD Kebersihan hanya mampu mengangkut 500 ton atau 2.000 m3/hari. Sisanya 5.200 m3 teronggok di TPS. Agar semua terangkut perlu tambahan truk 2,5 kali armada eksisting yang otomatis menyedot miliaran rupiah dan makin memacetkan lalu lintas. Satu masalah lagi, mayoritas sampahnya berair kadar tinggi apalagi pada musim hujan. Makin tinggi kadar airnya, ditambah lagi oleh berangkal, logam, dan kaca makin kecillah potensi energinya. Lain halnya kalau mayoritas berupa kertas, karton, dan plastik.
Oleh sebab itu beredar isu, PLTS dijadikan proyek mercusuar. Betulkah? Terlepas dari isu itu ada satu program lagi yang erat kaitannya dengan lingkungan, yakni Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH). Dalam ranah berpikir positif, keduanya boleh dibilang bertujuan baik. Tujuan baik pun selayaknya diterapkan dengan cara-cara baik. Niat baik semestinya dikerjakan dalam kaidah baik dan benar, termasuk aspek legalnya serta mempertimbangkan dampaknya terhadap manusia dan lingkungan pada satu dua dekade ke depan.
Kontradiktif
PLTS dan PLH adalah dua program yang pasti berdampak pada lingkungan. Interelasinya begitu tinggi dan bisa berubah menjadi lawan yang saling menegasikan. Dalam jangka panjang, jika konsisten dilaksanakan, PLH dapat meningkatkan peran masyarakat yang sekarang berusia belia dalam meringankan beban polusi lingkungan. Sebaliknya PLTS malah mengancam fungsi lingkungan. Pelan tapi pasti, kontradiksinya akan terbukti.
PLTS dan PLH adalah dua program yang pasti berdampak pada lingkungan. Interelasinya begitu tinggi dan bisa berubah menjadi lawan yang saling menegasikan. Dalam jangka panjang, jika konsisten dilaksanakan, PLH dapat meningkatkan peran masyarakat yang sekarang berusia belia dalam meringankan beban polusi lingkungan. Sebaliknya PLTS malah mengancam fungsi lingkungan. Pelan tapi pasti, kontradiksinya akan terbukti.
Kenapa pemkot bersikeras atas PLTS? Cocokkah PLTS di daerah cekung bergunung-gunung? Apakah PLTS di Cina berlokasi serupa dengan Bandung yang dikitari gunung? Kengototan itu bisa diduga karena Leuwigajah “menampar” pemkot. Longsor TPA buang-bebas (open dumping) pada 21 Februari 2005 itu memicu pemkot untuk mengelola sampahnya secara lebih baik. Apalagi berbulan-bulan setelah longsor itu sampah masih berbukit-bukit di mana-mana. Malah pada Februari 2007 ini gundukan sampah terjadi lagi. Di sudut-sudut perumahan tampak sampah setinggi 3 - 4 m, seluas 4 x 5 m2. Di TPS resmi dan tak resmi juga sama, terutama yang di dekat pasar. Tampak masalah sampah terus berlanjut, seolah-olah pemkot tak jua mampu menanganinya.
Karena itulah muncul gagasan PLTS setelah upaya pencarian lokasi TPA di berbagai daerah di Garut, Lembang, dan Padalarang gagal karena ditolak warga sekitarnya. Tapi ada satu pertanyaan, tepatkah PLTS? Patut diingat, apapun alasannya, program hendaklah bersobat dengan lingkungan (enviro-friendly). Apakah tindakan membakar sampah sekota, sekali lagi: satu kota besar, selama 24 jam nonstop bertahun-tahun bisa disebut bersobat dengan lingkungan? Membakar memang cara termudah mereduksi sampah, terutama jenis kertas, karton, plastik, dan kain. Reduksi volumenya mencapai 90%. Apalagi kalau diembel-embeli energi listrik. Tapi sayang, dampak buruknya jauh lebih bahaya daripada raihan energinya.
Parahnya lagi, solusi PLTS itu tidak tuntas. Abunya tetap bermasalah seperti halnya bahan yang tak terbakar (inert). Keduanya terus menumpuk dari hari ke hari sehingga harus disiapkan TPA (Tempat Pembuangan Akhir untuk abu). Kalau volumenya sampai ratusan ribu meter kubik setahun tentu dibutuhkan berhektar-hektar lahan. Umpama saja abunya 100 ribu m3/tahun. Kalau tingginya 10 m maka perlu 10 ribu m2 atau satu hektar. Di mana lokasi TPA-nya? Padahal pencarian lokasi TPA terbukti gagal berkali-kali. Bahayanya lagi, abunya kaya logam berat. Tidakkah resistensi warga kian tinggi karena abunya mencemari air tanah dan jauh lebih bahaya ketimbang lindi dari TPA klasik? Satu hal lagi, air tanah yang dicemari lindi B3 langsung berubah menjadi air limbah B3 dan harus diolah dengan teknologi pengolahan B3, tidak bisa dengan pengolahan konvensional seperti di PDAM. Sudahkah ini dipertimbangkan?
Sebelum mencapai lokasi TPA, selama transportasinya pun abunya berisiko tinggi daripada pengangkutan sampah dari TPS ke TPA karena mudah diterbangkan angin, mencemari udara kota yang dikitari pegunungan. Ini berbeda dengan udara di negara lain yang menerapkan PLTS karena kotanya tak dibatasi gunung sehingga abunya bisa lepas ke udara luas. Selain macet, bising, dan meningkatkan stres, jadilah truk-truk pengangkut abu menuju TPA itu sebagai penebar penyakit paru dan saluran pernapasan selama bertahun-tahun. Berapa miliar rupiah dana masyarakat per tahun yang harus dikeluarkan untuk berobat? Padahal mereka takkan sakit kalau tak terpapar abu PLTS.
Belum lagi emisi gas SOx, NOx, CO, CO2, hidrokarbon, dan karbon organik volatil atau chlorinated carbon pembentuk furan (polychlorinated dibenzofurans, PCDF) dan dioksin (polychlorinated dibenzo-p-dioxins, PCDD). Yang disebut terakhir disinyalir dapat menurunkan tingkat kecerdasan. Peluang hujan asam (acid rain) kian besar dan makin merendahkan pH-nya. Lewat fenomena dispersi, difusi, transformasi fisika-kimia di atmosfer, semua polutan itu tersebar ke segala arah, melekat di daun, sayur, buah, sumber air, dan paru lalu beredar di pembuluh darah. Turunlah taraf kesehatan generasi muda dan orang tua di Bandung selama operasi PLTS dan puluhan tahun kemudian setelah PLTS, misalnya, ditutup. Sesal kemudian tak berguna, bukan?!
Kontradidaktik
Pendidikan sampah dan sampah pendidikan tentu berbeda. Yang pertama bertujuan memahamkan ilmu dan teknologi sampah kepada siswa dan masyarakat (seperti salah satu materi dalam PLH) dan yang kedua ialah material dan orang yang berperilaku buruk dalam dunia pendidikan formal, informal, dan nonformal. Termasuk kurikulumnya yang tidak memberikan kebebasan berpikir kepada peserta didik dan terlampau guru-sentris. Di sini pelaku pendidikan dan pemangku-didik (stakeholder) seperti pemkot atau Disdik tak cukup hanya berniat baik tetapi harus beraksi baik. Action-nya harus baik.
Dalam hal PLTS dan PLH, di mana posisi program tersebut? Tak dimungkiri, siratan niat baik pasti ada dalam PLTS. Namun PLTS sejatinya berlawanan dengan PLH. Keduanya bagai kutub magnet, berposisi diametral. PLH mirip kutub positif dan mewakili pemkot yang diwujudkan dalam muatan lokal (mulok) di SD, SMP dan SMA. Bagaimana di Madrasah Ibtida’iyah, Tsanawiyah, dan Aliyah? Program ini patut diapresiasi karena baru Pemkot Bandung saja yang memulokkan PLH. Tetapi informal sudah ada sekolah di daerah yang menerapkannya. Guru dan muridnya praktik PLH saat lewat di pematang sawah, ladang, dan tegal. Mereka belajar PLH sambil olah raga atau sepulang sekolah saat menapak jalan setapak dekat selokan berair jernih atau main di kebun kopi atau vanili. Mereka belajar PLH secara otodidak.
Di lain sisi, menggulirkan PLTS seperti menyulut api dalam sekam. Tak hanya orang Bandung yang terancam kehidupan sosial, ekonomi, dan ekologinya tetapi juga (pejabat) pemkot. Bayangkan, apa yang bakal terjadi kalau investor mengultimatum pemkot agar menepati janjinya memasok sebanyak 7.200 m3/hari atau lebih. Dari mana asal angka 7.200 m3/hari itu? Umumnya volume sampah per orang per hari di kota (Indonesia) antara 2 – 2,5 liter. Dengan asumsi itu, jumlah penduduk Kota Bandung adalah 3,6 juta orang. Kalau dibagi 2,5 hasilnya menjadi 2,88 juta orang. Reratanya 3,24 juta orang. Betulkah sekian jumlah penduduk Bandung?
Jumlah pastinya tak seorang pun yang tahu karena ada dinamika, lahir dan mati terjadi setiap detik. Data statistik dari BPS boleh dipakai asalkan absah (valid). Bagaimana kalau jumlah penduduknya kurang dari itu, misalnya 2,5 juta orang? Tentu volume sampahnya akan sedikit dan tak sesuai dengan harapan investornya. Andaikata nanti pemkot betul-betul kekurangan sampah untuk umpan PLTS, atau sampahnya tak menghasilkan energi seperti prediksi sebelumnya, boleh jadi masyarakat disuruh membuang sampah sebanyak-banyaknya. Boleh jadi juga pemkot membeli sampah dari luar Kota Bandung.
Yang terburuk ialah ketika murid dianjurkan membuang sampah sebanyak-banyaknya, bukan anjuran zero waste. Padahal spirit program PLH di bidang persampahan adalah zero waste. Muncullah pertanyaan retoris dari seorang murid: kenapa pemkot menggelar peduli lingkungan sekaligus merusaknya? Padahal inti pendidikan adalah keteladanan atau pemberian contoh yang baik secara saintifik dan benar secara etika. Solid antara kata dan tindakan. Akhirnya PLH menjadi isapan jempol karena vis-a-vis dengan PLTS dan langsung meruntuhkan kampanye 7R: reduce, reuse, recycle, recovery, replace, relocation, responsible?
Akhir kata, ada deklarasi begini: PLH jauh lebih baik ketimbang PLTS. PLH menuju pelestarian fungsi lingkungan; PLTS menuju perusakannya. Andai pemkot bersikukuh pada PLTS demi energi listrik, kenapa tidak melirik PLTS yang satu ini: Pembangkit Listrik Tenaga Surya? Tentu saja tak berkaitan langsung dengan reduksi sampah tetapi sebagai sumber energi “abadi” dan ramah lingkungan. Demikian.***
Penulis, dosen dan peneliti di Enviro Intelligence Center, Universitas Kebangsaan Bandung.
Maaf ada koreksian sedikit pak, karena saya hadir di tempat kejadian. Jumlah 500 ton atau 2000 m3 sampah per hari adalah jumlah yang terangkut oleh pd kebersihan, jadi tidak mungkin sisanya teronggok di TPS. 5200 m3 per hari itu besar lho Pak, kalo tanahnya sebesar lapangan bola (kira-kira 100x50 m) berarti per hari naik 1 meter, sebulan sudah 30 meter, setahun sudah jadi gunung sampah dong...
BalasHapusUntuk gas furan-dioksin, terutama dioksin: setahu saya, pembentukan dioksin terjadi di daerah 300-400'C. Itu sebabnya kalau kita membakar sampah sendiri (apalagi yang ada plastik PVCnya) sangatlah berbahaya, karena temperatur apinya rendah dan berpotensi menghasilkan dioksin :( Di daerah sekitar 800'C ke atas, dioksin akan hancur dan menjadi senyawa klorin sederhana. Berita baik kan?
Sialnya, yang naik pasti bakal turun, begitu juga temperatur. Keluar dari tungku dan terkena udara luar pasti turun lagi kan? dan di temperatur 300-400'C dioksin terbentuk lagi, lebih banyak malah. Itu sebabnya harus dilakukan pendinginan cepat (bisa disiram air) supaya dioksin tidak banyak terbentuk. Dari hasil penelitian yang pernah saya baca, dioksin terbesar bukan ada di cerobong, tetapi ada di abu, jadi abunya yang harus diperhatikan.
Nah, untuk kasus abu, ada link yang menarik nih: Ecocement di Jepang menggunakan abu insinerator (mayoritas sampah di Jepang dibakar)
http://www.pmij.org/index.php/content/view/162/41/
Saya tidak dapat lebih setuju lagi kalau dengan adanya PLTSampah ini bakal memicu pembuangan sampah sebanyak-banyaknya (apalagi kalau dipaksa ukuran insineratornya disesuaikan dengan apa kata Pak Walikota, 7200 m3 sampah/hari, padahal dari hitung2an sederhana juga terlihat hal itu tidak mungkin :( ).
Jadi menurut pendapat pribadi saya semua langkah harus dilakukan, PLTS sebagai sarana cepat mengurangi volume sampah dan PLH sebagai pembangun kecerdasan orang Bandung harus sama2 dikerjakan, jangan pilih kasih... mentang-mentang PLH tidak ekonomis ya hehehehe... cuciaaann deh kita...
tetap awas ya pak! tetap kritis!
ps: penduduk Bandung tahun 2003 kira-kira 2,2 juta orang, kalikan 2,5 saja cuma jadi 5500 m3/hari... masak sih bisa 7200... :p