Selama Februari 2007 ini gencar sekali perbincangan tentang beras. Di rumah, di kantor, apalagi di pasar terdengar kata beras, mahal, dan naik. “Pak, beras sekarang Rp 5.500 sekilo. Yang lebih bagus Rp 6.500. Dan yang paling mahal Rp 7.000. “Mendengar “laporan” itu, saya menerawang. Kenapa berkali-kali bangsa ini jatuh ke lubang yang sama? Lebih sewindu lalu kasus serupa terjadi sebagai ekses reformasi. Waktu itu krisis beras menimpa Indonesia yang justru pernah dihadiahi predikat swasembada pangan oleh FAO PBB.
Kenapa sekarang setali tiga uang? Tak adakah perbaikan di bidang pertanian? Reformasi tetap reformasi tanpa formasi baru. Siapa yang peduli pada wong cilik? Partaikah? Anggota dewankah? Faktanya, anggota dewan lebih memikirkan dirinya dan ikut-ikutan demo. Biasanya mereka yang didemo tetapi sekarang mereka yang demo lantaran masalah uang. Padahal gajinya (apalagi penghasilannya) jauh di atas rerata rakyat pemilihnya. Pada saat yang sama, puluhan ribu rakyat di Jakarta direndam banjir, hartanya habis dan sulit memperoleh makanan. Di lain tempat 38 juta rakyat dalam kondisi sangat miskin dan didera krisis beras.
Ini baru soal beras, krisis kebutuhan pokok manusia, salah satu di antara sembilan bahan pokok (sembako). Padahal yang dibutuhkan manusia tak hanya beras atau nasi alias karbohidrat. Yang juga diperlukan dalam komposisi seimbang ialah asupan protein, mineral dan vitamin. Juga lemak dalam jumlah terbatas. Artinya, kalau seseorang hanya mampu membeli beras dan itu pun dengan susah payah mengumpulkan rupiah demi rupiah berarti bisa dipastikan mereka sulit membeli lauk-pauk dan sayur-mayur demi asupan protein, lemak, mineral dan vitamin.
Tak mengherankan terjadi kelaparan di beberapa daerah, sampai-sampai rakyat makan nasi aking: nasi sisa yang dicuci lalu ditanak lagi. Yang biasanya makan dua kali menjadi sekali. Ada yang tidak makan nasi lagi. Ada yang makan ampas makanan, sisa-sisa yang didapat dari kaisan sampah. Kalau ada anak yang sampai busung lapar, kwashiorkor, ini tandanya anak tersebut sudah tak pernah lagi mendapat asupan gizi dalam batas minimal selama berbulan-bulan. Berarti sudah berbulan-bulan mereka tidak makan dan tidak terpenuhi gizinya. Banjir Jakarta hanyalah sebagai pemicu “kelaparan” nasional.
Aneh, memang. Paradoks! Sebuah negeri begitu menderita di tengah slogan tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Kawasan suburnya jauh lebih luas ketimbang lahan gersangnya. Tanaman apapun bisa tumbuh di negeri ini. Apalagi padi-padian dan umbi-umbian. Juga hasil laut berupa ikan. Belum lagi hasil lainnya seperti cumi, kerang, udang, agar dll. Banyak sekali. Semestinya krisis makanan khususnya beras tak terjadi. Tapi fakta bicara lain. Harga beras membubung tinggi. Orang-orang antri dalam operasi pasar. Ada pejabat yang bilang, krisis beras terjadi karena ada banjir di Jakarta dan gudang beras terendam.
Hanya itukah sebabnya? Adakah sebab prinsipil yang tak terkesan menyalahkan banjir? Ada apa dengan impor beras 500 ribu ton? Inilah keputusan tanpa intelectual planning! Budaya instan, budaya mie rebus! Semua orang juga bisa menjadi pejabat kalau caranya demikian. Ini sama dengan membunuh petani kita. Bagaimana kalau beras impor itu datang bertepatan dengan panen raya? Petani niscaya pailit. Sekian bulan setelahnya krisis beras pun berulang kembali karena petani sudah beralih profesi menjadi pemulung sampah di kota-kota besar. Mereka bangkrut karena perlakukan pemerintah yang tidak intelek dalam menangani beras. Apalagi lahan pertanian terus menyusut sehingga perlu upaya intensifikasi dengan memanfaatkan sains dan teknologi seperti dibahas di bawah ini.
Ada juga yang berdalih lain. Misalnya, karena banjir di Pantura: Karawang, Subang, Cirebon, dan Purwakarta sehingga terjadi puso. Di provinsi lain juga sama, puso! Inilah yang disinyalir sebagai penguat krisis beras. Menurut seorang kepala dinas pertanian, ada 497 hektar sawah yang puso di Jawa Barat. Sebaliknya, ada juga pejabat di Jawa Barat yang optimis bahwa stok berasnya aman sampai tiga bulan ke depan. Pertanyaannya: aman bagi siapa? Apakah aman bagi kalangan bawah? Mudahkah mereka memperoleh beras? Beras memang ada tetapi harganya selangit. Apakah aman bagi kalangan kaya saja, bagi pejabat? Aman bagi anggota dewan yang begitu peduli pada dirinya semata?
Di tengah ketakmampuan pemerintah mengelola produksi dan distribusi beras, apapun alasannya, patutlah diapresiasi operasi pasarnya meskipun tak mampu menurunkan harga beras. Alasannya, ada banyak tengkulak yang memanfaatkan kesempitan ini untuk mencari kesempatan untung besar. Merekalah spekulan yang tak berhati nurani dan cenderung menganut kapitalisme negatif. Selain itu, dan ini dapat diakui dalam batas-batas tertentu, krisis beras terjadi karena ada banjir di Jakarta dan di sejumlah daerah. Transportasi sempat lumpuh. Juga karena beras, katanya, diarahkan ke Jakarta pascabanjir. Betulkah?
Manfaatkan CO2
Terlepas dari sebab-musababnya di atas, sebetulnya negara agraris ini mampu berkelit dari krisis beras. Tapi faktanya berbeda dengan logika, sebuah anomali yang dipertontonkan ke dunia luas. Teorinya, untuk menambah pasokan beras maka panen harus ditingkatkan. Prinsip dasar peningkatan panen ialah menggiatkan proses fotosintesis tanaman padi. Bagaimana caranya? Tak lain dari menambah pasokan gas CO2. Sebagai gas pencemar, CO2 banyak ada di bumi terutama di kota-kota dan daerah industri. Dengan bantuan sinar matahari, CO2 dan air akan berubah menjadi karbohidrat dan disimpan di akar, batang, daun, dan biji. Logikanya, panen padi dapat ditingkatkan kalau gas CO2 dinaikkan pasokannya ke daun padi.
Tapi sayang, konsentrasinya di udara hanya 0,04% atau 360 ppmv (parts per million by volume). Gas yang menjadi “anggota” greenhouse gases ini dapat memanaskan atmosfer. Sumbernya industri, transportasi dan pembukaan hutan dengan pembakaran (land clearing) seperti kebakaran (pembakaran) hutan. Masalahnya, bagaimana cara memanfaatkan CO2 ini untuk meningkatkan produksi beras sekaligus mereduksi global warming? Hasil riset di Jepang, pemberian CO2 sebanyak 700 ppmv (sekitar 200% kadar CO2 di udara) diperoleh kenaikan 20 – 30%. Di lapangan tentu berbeda dengan di laboratorium. Di lapangan ada banyak tanaman lain selain padi yang juga perlu CO2 dan ini mempengaruhi hasilnya.
Pemanfaatan pencemar udara ini sudah dicoba oleh periset di Shizukuishi, Iwate Prefecture Jepang dan dinamai The Rice Face. FACE (Free-Air CO2 Enrichment) adalah pembubuhan CO2 ke sawah tanpa melakukan perubahan pada ekosistemnya, seperti apa adanya saja. Bentuk bidang pembubuhannya oktagonal (segidelapan), terbuat dari pipa perforasi (perforated pipe) untuk pengaturan volume injeksi CO2 dan ini bergantung juga pada arah dan kecepatan angin. Dikendalikan oleh program CREST (Core Research for Evolutional Science and Technology) yang dimulai satu dekade lalu di bawah direkturnya Kobayashi Kazuhiko, seorang profesor di Univ. Tokyo, 25 metrics ton gas CO2 cair (liquid CO2) diinjeksikan melalui pipa itu.
Kekurangannya memang ada, yaitu terjadi peningkatan kadar CH4 (metana) yang notabene gas rumah kaca juga akibat peningkatan kadar karbon ke akar padi sehingga menyokong aktivitas mikroba anaerob (archae). Bagaimana teknologi yang layak dan ekonomis, tentu perlu kajian lebih dalam. Yang pasti, polusi udara khususnya CO2 oleh kendaraan bermotor akan bernilai positif atas produktivitas pangan kalau tepat teknologinya dan kita mampu melakukannya. Bisakah kita seperti orang-orang di negeri sakura itu?
Mudah-mudahan pakar pertanian di Indonesia dapat membuat berbagai inovasi untuk melawan krisis beras ini dan melakukan diversifikasi pangan. Pemerintah pun hendaklah mampu mengatur tataniaganya sehingga terdistribusi merata. Janganlah seperti ayam mati di lumbung padi dan terperosok dua kali di lubang yang sama. Keledai saja tak seperti itu. Pandir nian jika demikian. Tabik. *
Penulis, peneliti di Enviro Intelligence Center, Univ. Kebangsaan Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar