Science, Resources, and Development adalah karya tulis alm. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, tiga puluh tahun lalu (1977). Isinya tak lain dari wanti-wanti bahwa booming dan blooming teknologi dapat menjadi bumerang bagi manusia kalau tidak arif dalam menyikapinya. Pada tahun 1977 mantan menteri yang digelari begawan ekonomi ini dengan lugas menyatakan bahwa harus ada teknologi yang protektif atas lingkungan. Idenya itu dipublikasikan sebelum rezim Orde Baru merilis Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup pada tahun 1978. Kecuali itu, menurutnya, ada dua jenis teknologi lagi yaitu, teknologi maju (advanced technology) yang dua dekade terakhir ini diistilahkan dengan teknologi canggih dan teknologi adaptif (adaptive technology).
Khusus teknologi protektif, pada masa sekarang justru menjadi poin terpenting karena berkaitan langsung dengan kelestarian fungsi lingkungan, keterkaitan antara manusia dan alamnya. Semua manusia tanpa kecuali, kaya miskin tua muda, dapat menjadi agen perusak atau pemberdaya lingkungan. Sudah terbukti, deretan gelar akademik seseorang dan kepangkatannya di TNI-Polri tidak berkorelasi linier dengan pemahamannya atas persoalan lingkungan. Tak sedikit orang-orang pintar dan berjabatan/berpangkat itu justru pelaku masif balak-liar (illegal logging). Nyaris nihil sense of belonging-nya. Mungkin ketika kuliah dulu tak ada satu pun mata kuliah perihal lingkungan yang ditempuhnya. Mungkin juga lantaran nafsu serakahnya lebih dituruti ketimbang empatinya kepada nasib orang lain.
Oleh sebab itu, demi spirit peduli lingkungan, ada PTN dan PTS yang mengadakan kuliah lingkungan, apapun nama mata kuliahnya, minimal dalam bentuk studium general. Inilah upaya alih ilmu lingkungan yang hakikatnya adalah hijrah dari satu kondisi ilmu menuju kondisi ilmu baru. Demi hijrah Enviro-intelligence (EnQ) ini, hendaklah semua jurusan memberikan kuliah lingkungan kepada mahasiswanya, syahdan jurusannya jauh dari “garis demarkasi” lingkungan. Sebab, tak bisa dimungkiri, semua jurusan pasti berkaitan dengan lingkungan. Apapun sekolahnya, apapun program studinya, seorang mahasiswa perlu ilmu yang berkaitan dengan lingkungan. Tanpa “hijrah lingkungan” yang dipola sejak di bangku sekolah dasar (bahkan prasekolah: play group, TK) hingga perguruan tinggi maka mustahillah tercipta kelanggengan fungsi lingkungan. Sebaliknya yang terjadi: perusakan dan pencemaran karena tak ada rasa memiliki dan egosentris.
Satu prototipe, jika bisa disebut demikian, yang menarik ialah pencanangan mulok Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) yang digagas Pemkot Bandung. Lewat Dinas Pendidikannya, Kota Bandung kini memiliki program yang (mudahan-mudahan) menjadi the avant garde dalam realisasi peduli lingkungan di tingkat Jawa Barat, kalau tak bisa disebut di seluruh Indonesia. Tetapi janganlah puas hanya menjadi pionir. Belum tentu pionir akan lebih taat asas dalam menjalankan programnya. Apalagi menjadi pionir saja tidak cukup jika nihil tindak lanjutnya secara terpola dengan program kerja yang baik dan pembinaan guru secara sinambung. Terlebih lagi materi lingkungan ini demikian luas dan seolah-olah tumpang tindih dengan materi lainnya semacam biologi, geografi dan sains. Kejelasan pola inilah yang belum dicetuskan dan masyarakat hanya tahu ada mulok PLH tanpa tahu arah materinya. Namun, sebagai sebuah awal, tetaplah harus diapresiasi.
Teladan hijrah
Sejatinya, lansir program PLH bukanlah poin terberat dan bukan pula terpenting dalam suatu program jangka panjang (bahkan “abadi”)yang menyangkut pengembangan masyarakat (public development), khususnya anak didik. Yang terpenting ialah proses pelaksanaannya, tanpa dibebani oleh tingkat hasilnya. Tentu sah-sah saja kalau hasilnya diharapkan optimal. Tetapi hasilnya itu baru tampak setelah lewat satu atau dua generasi sejak pencanangan. Boleh jadi pemrakarsa dan guru-gurunya sudah pensiun atau bahkan sudah tidak ada lagi di dunia ini. Mesti disadari, membangun EnQ atau kecerdasan enviro justru yang tersulit dalam proses pendidikan lingkungan. Tak semua orang yang terdidik apik akan otomatis paham dan rela melaksanakan ilmu yang sudah diterimanya.
Mari bertanya kepada pemrakarsa PLH dan (bakal) guru-gurunya. Sudahkah mereka melaksanakan materi yang (bakal) diajarkan kepada muridnya? Sudahkah mereka memilah sampah basah dan sampah kering di rumahnya? Masihkah mereka melemparkan begitu saja tisu, bungkus permen dan puntung korek api dan rokoknya? Banyak lagi hal “remeh temeh” lainnya. Jangan sampai guru PLH enggan melaksanakan sesuatu yang disuruhnya kepada muridnya, khususnya hal-hal remeh tadi. Ini mirip orang tua yang selalu menyuruh anaknya shalat tetapi dirinya tidak shalat. Selalu menitah anaknya agar belajar tetapi dirinya malah menonton sinetron yang sarat kekerasan, dugem, hura-hura dan huru-hara. Menyedihkan kalau hal tersebut terjadi di kalangan yang selayaknya menjadi benteng cinta lingkungan.
Sebaliknya, ada orang yang sama sekali tidak berbasiskan ilmu lingkungan dan tidak memiliki teori ilmu lingkungan tetapi sudah melaksanakan pelestarian fungsi lingkungan. Sebagai contoh, di tatar Sunda ini ada wanita bernama Mak Eroh. Beliau meninggal pada usia 70 tahun pada September 2004 lalu dan dipredikati sebagai pahlawan hijau, minimal oleh penduduk Desa Pasirkadu. Apa yang dikerjakannya sampai dihadiahi Kalpataru pada tahun 1988? Hanya mencangkul dan mencangkul seorang diri, setapak demi setapak selama berminggu-minggu untuk membuat saluran air. Ketika kanal itu sudah mencapai 2 km dan sudah 47 hari mencangkul sendirian, barulah warga desa membantunya. Awalnya warga mencibir dan menganggapnya gila. Lantaran "Mak Eroh Aquiduct" itulah desanya menjadi hijau.
Nyata di pelupuk mata, betapa orang awam sudah berhasil hijrah menuju EnQ, menjadi teladan hijrah. Tanpa berkoar-koar pidato mereka sudah in-action, langsung beraksi-bekerja. Mereka sudah lebih dulu hijrah enviro meskipun sering disebut orang lugu dan bahkan bodoh. Saksikan saja tradisi ujung ladang masyarakat Melayu di Sumetera Utara misalnya, mereka senantiasa berwawasan lingkungan kalau membuka hutan. Meskipun menebang pohon, selalu saja ada vegetasi pelindung yang tersisa. Pola ini membantu menahan tanah agar tidak erosi, longsor, atau merusak tanaman. Suku Dayak di Kalimantan punya tradisi Nyaang. Mereka biasa membuat lajur isolasi pada ladang atau ketika membabat hutan untuk melokalisir kebakaran. Begitu pun awig-awig di Bali, melarang (selektif) menebang pohon. Tradisi sasi di Saparua Maluku berlaku di darat atau di laut atas komoditi yang haram dieksploitasi untuk waktu terbatas. Itulah bukti hijrah enviro masyarakat awam.
Kapankah hijrah enviro masyarakat pintar? Sekadar menyegarkan memori, berikut ini ada hal-hal yang pernah menjadi isu besar dan tersirat ada upaya hijrah enviro tetapi setengah hati sehingga tak pernah sampai, malah berbalik arah ke posisi semula. Dulu ada program Segar Jakartaku dan Hari Tanpa Kendaraan Bermotor. Juga program Langit Biru. Ada juga Prokasih, Program Kali Bersih. Dalam lingkup Jawa Barat ada Citarum Bergeutar. Adakah hasilnya? Jakarta kian gerah, langit terus kelabu. Citarum terpolusi. Program lokal juga ada seperti Gerakan Cikapundung Bersih di Bandung. Pasca-KAA gerakan ini nyaris mati dan kehabisan tenaga. Satu pertanyaan reflektif, siapa yang lebih peduli pada lingkungan, Mak Erohkah? Masyarakat awamkah? Ataukah kalangan politisi-birokrat yang gelarnya berderet-deret itu?
Dalam spirit tahun baru Hijriyah ini, tak hendakkah kita belajar dari kearifan tradisional itu? Apakah kepedulian politisi-birokrat, akademisi, kalah oleh kalangan tradisionalis itu? Kapankah ada pejabat publik yang tak sekedar peduli dalam retorika politiknya ketika bicara soal lingkungan? Adakah partai politik yang tak sekedar proforma dalam membuat biro atau divisi lingkungan? Sudah saatnya kita memilih pejabat publik yang paham persoalan lingkungan dan telah berupaya merehabilitasi kondisi lingkungan dari rambahan degradasinya
Akhir kata, ada pesan E. F. Schumacher, "Krisis lingkungan terjadi bukan karena pengembangan sains dan teknologi, tetapi hasil dari sikap mental dan life-style (gaya hidup) dunia modern." Good luck Mak Eroh, suvenir bagi lingkungan dari Pasirkadu. Hijrahmu semoga mampu menghijrahkan EnQ orang sekarang. Semoga nanti muncul politisi berlabel enviro, enviropolitician yang tak sekadar vokalis sehingga advokasi environya hanya proforma belaka. Juga dicari birokrat yang tinggi sense of enviro-nya, tak sekadar menjadi dust in the wind.
Selamat tahun baru 1428 H, selamat hijrah menuju EnQ yang kian smart. ***
Gede H. Cahyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar