Sekian waktu lalu, di koran Pikiran Rakyat ada tulisan yang mempertanyakan perihal Alquran Seluler (AS). Intinya, tulisan tersebut tidak setuju pada cara AS dalam meluaskan ajaran Islam lewat media seluler karena dianggap menjual ayat. Frase menjual ayat inilah yang menarik dibahas.
Betulkah AS menjual ayat? Pertanyaan serupa bisa juga berbunyi seperti ini. Betulkah penerbit buku X menjual ayat karena menerbitkan mushaf Quran? Betulkah da’i dikatakan menjual ayat ketika menyitir ayat Quran dalam ceramahnya? Betulkah buku kumpulan doa dari Quran dan kitab tafsir disebut menjual ayat? Betulkah website dan weblog yang memajang ayat Quran dituduh menjual ayat? Betulkah e-book (buku elektronik, bukel) yang berisi ayat Quran disebut menjual ayat?
Masih banyak lagi pertanyaan serupa itu. Kalau dakwah seperti AS diharamkan dengan tuduhan menjual ayat, sebetulnya "menjual" ayat dengan cara konvensional seperti mushaf dan buku pun layak diharamkan. Keduanya sama-sama “menjual” ayat. Yang berbeda hanya caranya. Andaikata "menjual" ayat model AS diharamkan, bagaimana cara dakwah di kalangan muslim yang bekerja 14 jam sehari. Tak dimungkiri, kalangan ini banyak yang belum paham Quran. Banyak eksekutif di gedung megah dengan lampu menyala siang malam yang tidak shalat dan miskin ilmu keislamannya. Dari menit ke menit hanya meeting dan meeting. Masuk gedung pagi hari, keluar jam sembilan malam. Jarang mengaji, tak sempat membaca Quran apalagi membaca buku keislaman.
Terjadilah pembodohan dalam hal ilmu agama di kalangan pintar yang bertentangan dengan firman Allah: iqra. Bacalah. Baca berarti belajar: bisa lewat buku, radio, TV, koran, dan media seluler. Apalagi sekarang ada beragam pirkom (piranti komunikasi) termasuk teknologi seluler sehingga memudahkan orang untuk meraih ilmu sebanyak-banyaknya. Kapan dan di mana pun orang mudah mengakses ilmu keislaman, syahdan berada di tengah hutan, di tengah laut dan di mana saja. Kehadiran AS jauh lebih positif ketimbang layanan serupa tetapi sekadar gosip, ramalan bintang, atau mesum belaka.
Jadi, manfaatkan saja semua teknologi yang ada demi meluaskan dakwah agar makin banyak orang selamat hidupnya di akhirat nanti. Mudah-mudahan da’i dan da’iyah yang ikhlas berbuat kebenaran selamat pula di akhirat nanti. Andaipun ada uang yang mesti dibayarkan, itu semua adalah harga atas jasa dan barangnya, bukan ayatnya. Ayatnya tidak dijual, tetapi teknologi dan proses mewujudkannya yang perlu dihargai dengan uang.
Hal serupa terjadi pada pembuatan mushaf Qur’an. Bukan ayat-ayatnya yang dijual tetapi kertas, tinta, lem, plastik, gaji karyawan, laba percetakan, laba penerbit, laba distributor, laba toko buku, transportasi, dan lain-lain. Masih banyak lagi. Semua komponen itulah yang ditukar dengan uang. Demikian pula AS, semua komponen teknologinya harus dibiayai dengan uang dan inilah yang dibayar oleh pelanggannya. Jelaslah, bukan ayatnya yang dijual melainkan pengadaan jasa dan barangnya. Bagaimana menurut Anda?***
Gede H. Cahyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar