Jakarta Miskin Enviro Intelligence
Oleh Gede H. Cahyana
Alm. Benyamin S, seorang aktor dari Betawi, lewat lagunya sudah memperingatkan penduduk dan pejabat di Jakarta bahwa daerahnya rawan banjir. Sudah sejak 1970-an Jakarta dilanda banjir. Sekarang warning itu menjadi nyata, bahkan besar-besaran. Tidakkah kalangan pintar di Jakarta belajar dari pengalaman sehingga tinggi kecerdasan lingkungannya (Enviro Intelligence) atau EnQ?
Satu hal yang dilupakan pejabat di Jakarta ialah mengelola lingkungan secara bersahabat. Mereka tak optimal mengelola EnQ tetapi hanya berbekal kecerdasan otak dan miskin kecerdasan akhlak (Spiritual Intelligence). Padahal sejak 1970-an wanti-wanti itu dirilis oleh alm. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Begawan ekonomi penulis Science, Resources, and Development ini pada tahun 1977 telah memperingatkan pemerintah bahwa akan terjadi booming dan blooming teknologi yang dapat menjadi bumerang bagi manusia kalau tidak arif dalam menyikapinya. Mantan menteri ini menyatakan bahwa harus ada teknologi protektif (protective technology) atas lingkungan.
Teknologi protektif pada masa sekarang justru menjadi poin terpenting karena berkaitan langsung dengan kelestarian fungsi lingkungan, keterkaitan antara manusia dan alamnya. Semua manusia tanpa kecuali, kaya miskin tua muda, dapat menjadi agen perusak atau pemberdaya lingkungan. Sudah pula terbukti, deretan gelar akademik seseorang dan kepangkatannya di TNI-Polri tidak berkorelasi linier dengan pemahamannya atas persoalan lingkungan. Tak sedikit orang-orang pintar dan berjabatan-berpangkat itu justru menjadi pelaku masif balak-liar (illegal logging). Nihil sense of belonging-nya, tak hendak menjadi pemangku (stakeholders) fungsi lingkungan.
Sebaliknya, ada orang yang tidak sekolah, tak berbasiskan ilmu lingkungan dan tidak memiliki teori ilmu lingkungan tetapi sudah melaksanakan pelestarian fungsi lingkungan. Contohnya Mak Eroh. Beliau meninggal pada usia 70 tahun pada September 2004 dan dipredikati sebagai pahlawan hijau oleh penduduk Desa Pasirkadu. Apa yang dikerjakannya sampai dihadiahi Kalpataru pada tahun 1988? Wanita ini hanya mencangkul dan mencangkul seorang diri, setapak demi setapak selama berminggu-minggu untuk membuat saluran air. Ketika kanal itu sudah mencapai 2 km dan sudah 47 hari mencangkul sendirian, barulah warga desa membantunya. Awalnya warga mencibir dan menganggapnya gila. Lantaran “Mak Eroh Aquiduct” itulah desanya menjadi hijau.
Nyata di pelupuk mata, betapa orang awam sudah menjadi penggerak bela lingkungan dan tinggi EnQ-nya. Tanpa berkoar-koar pidato mereka langsung beraksi. Mereka sudah peduli lingkungan meskipun sering disebut orang lugu, bahkan bodoh. Saksikan saja tradisi ujung ladang masyarakat Melayu di Sumetera Utara misalnya, mereka senantiasa berwawasan lingkungan kalau membuka hutan. Meskipun menebang pohon, selalu saja ada vegetasi pelindung yang tersisa. Pola ini membantu menahan tanah agar tidak erosi, longsor, atau merusak tanaman. Suku Dayak di Kalimantan punya tradisi Nyaang. Mereka biasa membuat lajur isolasi pada ladang atau ketika membabat hutan untuk melokalisir kebakaran. Begitu pun awig-awig di Bali, melarang (selektif) menebang pohon. Tradisi sasi di Saparua Maluku berlaku di darat atau di laut atas komoditi yang haram dieksploitasi untuk waktu terbatas. Itulah bukti tingginya EnQ masyarakat awam.
Lalu kapankah muncul EnQ masyarakat pintar? Sekadar menyegarkan memori, berikut ini ada hal-hal yang pernah menjadi isu besar dan tersirat ada upaya peduli lingkungan tetapi setengah hati sehingga tak pernah sampai, malah berbalik arah ke posisi semula. Dulu ada program Segar Jakartaku dan Hari Tanpa Kendaraan Bermotor. Juga program Langit Biru. Ada juga Prokasih, Program Kali Bersih. Dalam lingkup Jawa Barat ada Citarum Bergeutar. Adakah hasilnya? Jakarta kian gerah, langit terus kelabu dan disesaki air banjir pula. Selain kaya polutan, Ciliwung meluap, begitu pula Citarum. Kaya pencemar. Di tingkat lokal, katakanlah di Kota Bandung, juga ada program Gerakan Cikapundung Bersih, tetapi sekarang sedang mati suri, kehabisan tenaga.
Jika demikian, satu pertanyaan reflektif, siapa yang lebih peduli pada lingkungan, masyarakat awamkah? Ataukah kalangan politisi-birokrat yang gelarnya berderet-deret itu? Dalam spirit EnQ, tak hendakkah kita belajar dari kearifan tradisional itu? Apakah kepedulian politisi-birokrat, akademisi, kalah oleh kalangan tradisionalis itu? Kapankah ada pejabat publik yang tak sekedar peduli dalam retorika politiknya ketika bicara soal lingkungan? Adakah partai politik yang tak sekedar proforma dalam membuat biro atau divisi lingkungan? Sudah saatnya kita memilih pejabat publik yang paham persoalan lingkungan dan telah berupaya merehabilitasi kondisi lingkungan dari rambahan degradasinya. Mari pilih bakal calon (balon) Gubernur DKI yang tinggi EnQ-nya.
Akhir kata, ada pesan dari E. F. Schumacher, “Krisis lingkungan terjadi bukan karena pengembangan sains dan teknologi, tetapi hasil dari sikap mental dan life-style (gaya hidup) dunia modern.” Semoga nanti muncul politisi berlabel enviro, enviropolitician yang tak sekadar vokalis sehingga advokasi environya hanya proforma belaka. Aksi partainya pun dalam banjir di Jakarta hendaklah tak sekadar rebutan simpati. Juga dicari birokrat, baik di daerah maupun di Jakarta, yang tinggi sense of enviro-nya sehingga tak sekadar menjadi dust in the wind.
Kenapa harus terperosok berkali-kali ke lubang yang sama, wahai amtenaar Jakarta?*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar