• L3
  • Email :
  • Search :

6 Februari 2007

Pustakawan, Perlukah Jafung?

Saya membaca tulisan seorang pustakawan atau yang merasa dirinya sebagai pustakawan di milis Referensi Maya. Berikut ini adalah sebagian dari tulisannya.

"Jangan ngaku-ngaku PUSTAKAWAN kalo enggak ada bukti!! Anda bisa mengatakan bahwa anda PUSTAKAWAN tapi apa iya orang akan percaya kalo tidak ada bukti!!! Buktinya apa kalo anda pustakawan? Ya anda punya JABATAN FUNGSIONAL PUSTAKAWAN!!! Sebuah pernyataan dari 'pustakawan senior' di universitas tercinta yang cukup mengejutkan bagi telinga saya."

Saya ingin menanggapinya lewat tulisan di bawah ini, semacam urun pendapat.

Seperti halnya peneliti (periset) di lembaga atau badan penelitian (riset) resmi pemerintah dan dosen PTN-PTS, pustakawan pun dianjurkan (diwajibkan?) memiliki jabatan fungsional atau jafung. Pertanyaan serupa bisa diarahkan kepada dosen yang tidak atau belum berjabatan fungsional, bisakah mereka disebut dosen? Dalam lingkungan kerja dan pergaulan, bisa saja mereka menyebut dirinya sebagai dosen karena memang mengajar di PTN dan/atau PTS, baik sebagai dosen tetap (PNS atau yayasan) maupun sebagai dosen tidak tetap (luar biasa, LB).

Dosen tetap memang diharuskan memiliki jafung agar dirinya berguna dalam akreditasi jurusannya. Malah ada perguruan tinggi yang membiayai pengurusan jafung ini, minimal pada pengurusan kali pertama. Selanjutnya diserahkan kepada masing-masing. Dosen LB pun dianjurkan memiliki jafung agar dapat digunakan oleh perguruan tinggi sebagai bahan akreditasi. Jadi, semua dosen, baik tetap maupun LB, hendaklah berjafung dan berhak secara hukum negara Indonesia menyebut dirinya sebagai dosen. Ada aspek legalnya yang menguatkan predikat dirinya sebagai dosen. Inilah kuncinya.

Bagaimana dengan dosen yang tidak berjafung. Mengaku-aku sebagai dosen dan menuliskannya di dalam kartu nama sebagai dosen, tentu boleh-boleh saja. Orang pasti percaya bahwa Anda seorang dosen kalau mereka melihat Anda mengajar di perguruan tinggi. Apalagi Anda juga menjadi pembimbing skripsi mahasiswa dan mengujinya dalam ujian sarjana. Tak seorang pun bakal menafikan Anda. Hanya saja, secara legal formal Anda pasti tidak disebut sebagai dosen karena belum berjafung. Kedosenan Anda pun tidak bisa digunakan oleh jurusan tempat Anda mengajar untuk akreditasinya. Dan yang pasti, Anda tidak memperoleh tunjangan jafung yang besarnya bergantung pada tingkat jafung. Selain itu, Anda tidak akan bisa disebut profesor suatu saat kelak karena Anda tidak bisa meraih jafung Guru Besar.

Berbeda dengan masa lalu, pada masa sekarang gelar profesor (prof) bisa juga disandang oleh peneliti di lembaga penelitian formal. Setelah berjuang lama, akhirnya peneliti yang sudah mencapai taraf tertentu (APU, Ahli Peneliti Utama) dengan dukungan “kum” bisa menaruh gelar prof di depan namanya. Maka tak perlu heran ada peneliti yang tak pernah mengajar tetapi tiba-tiba bergelar profesor. Profesornya ini disebut profesor riset. Tetap sah secara hukum negara kita. Untuk pekerjaan (baca: karir) sebagai dosen di Indonesia, seseorang memang harus bergelar akademik sampai S3 dan sekaligus harus mumpuni ilmunya. Jadi, di dunia akademis berlaku prinsip: Gelar Yes, Ilmu Yes. Ini berbeda dengan di dunia bisnis yang semboyannya justru: Gelar No, Ilmu Yes.

Lantas..., bagaimana dengan pustakawan? Tak berbeda dengan dosen dan peneliti. Siapa pun boleh mengklaim dirinya sebagai pustakawan. Seseorang boleh mencantumkan sebutan itu di kartu namanya dan boleh disebut-sebut ketika bertemu dengan kolega atau teman lamanya. Namun demikian, tanpa jafung maka hak-haknya sebagai pustakawan takkan diperoleh. Bahkan secara legal formal tidak dianggap sebagai pustakawan tetapi hanya sebagai orang yang bekerja di perpustakaan, mengurusi perbukuan dengan semua aspeknya. Sekali lagi, negara tidak akan mengakui seseorang yang belum berjafung pustakawan sebagai insan perpustakaan.

Oleh sebab itu, tak ada ruginya mengurus jafung pustakawan. Perlu dana memang, juga tenaga dan waktu. Tetapi itu semua demi predikat sebagai pustakawan dan ikut menjadi warga masyarakat dalam negara yang berdasarkan hukum. Semua ada aturan mainnya agar menjadi teratur, tersusun, dan mudah dalam penilaian. Kalau ada kekurangan dan kecurangan dalam pengurusan jafung itu, dan ini sangaaa...ttt banyak terjadi di dunia dosen, tentu bukan “institusi” jafungnya yang buruk melainkan manusianya yang jahat. Semuanya memang berujung pada uang dan uang.

Tetapi ... sudahlah, tak usahlah ikut-ikutan yang salah itu. Jalan benar masih terbentang dan selamat menjadi pustakawan sejati, pustakawan yang tak sekadar mengejar jafung belaka, tanpa sumbangsih hakiki bagi orang lain. Demikian. ***


Gede H. Cahyana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar