Helical Flocculator
Oleh Gede H. Cahyana
Dimuat di Majalah Air Minum edisi 135, Desember 2006.
Tak kenal maka tak sayang! Ungkapan ini cocok dinisbatkan pada Helical Flocculator. Dari sekian banyak cara flokulasi, unit yang diindonesiakan menjadi Flokulasi Pilin (FLOLIN) ini jarang atau bahkan tak ada yang menerapkannya. Tak satu pun PDAM mencoba mengeksplorasi kemampuannya, padahal kompetitif dari sisi biaya konstruksi dan dari sudut efektivitas pengolahannya. Ia bisa ditandingkan dengan unit lain yang kadung familiar di PDAM.
Selain itu, estetika bentuknya yang berpilin (helix), apalagi kalau dicat dengan warna yang kontras dengan sekitarnya, mampu memperindah lahan instalasi dan menjadi daya tarik bagi orang-orang yang datang (berwisata) ke PDAM. Jadilah PDAM sebagai opsi atau alternatif tujuan wisata, khususnya wisata sainstek bagi siswa. Otomatis juga dapat menambah satu segmen ilmu bagi murid dan memperluas peran sainstek lingkungan di masyarakat. Jika demikian, maukah PDAM memulainya dan ber-open house minimal pada setiap HUT-nya?
Prinsip Hidrolika
Dari tiga cara flokulasi yang tersedia, yaitu pneumatis, hidrolis, dan mekanis, maka cara pneumatislah yang paling sulit diterapkan karena sukar diatur diameter gelembung udaranya. Lebih mungkin ia diterapkan untuk unit koagulasi. Adapun cara mekanis lebih bisa diatur tetapi biaya operasi-rawatnya lebih mahal. Tinggallah sekarang cara hidrolis. Hal terpenting dalam desain flokulator hidrolis ialah cara untuk mencapai nilai G yang diharapkan lalu dipertahankan dalam satu ruang (kompartemen) sehingga tidak memecah flok. Itu sebabnya, cara hidrolis ini lebih cocok diterapkan pada debit olahan yang relatif konstan dan kecil.
Berkaitan dengan waktu tinggalnya (detention time, td), unit flokulator selalu lebih banyak membutuhkan waktu daripada unit koagulator demi pertumbuhan floknya. Angka yang biasa diambil antara 20 ? 60 menit. Ada juga literatur yang menuliskan 25 - 55 menit. Angka mana yang akan dipilih bergantung pada kesukaan (preferensi) desainer yang diacu dari bahan bacaannya dan dari pengalamannya. Artinya, tak ada yang saklek dalam desain flokulator ini, malah cenderung dinamis, fleksibel dan berpeluang diubah-ubah kapan saja. Bahkan bisa dikatakan, perubahan kualitas air baku sedikit saja logikanya akan mengubah kinerja flokulator. Yang seperti ini biasanya luput dari perhatian operatornya.
Selain gradien kecepatan (velocity gradient, G), faktor utama dalam desainnya ialah Gtd, yaitu angka tak berdimensi (dimensionless) yang merupakan hasil kali antara G dan td dengan rentang nilai antara 10.000 - 100.000. Nilai lainnya antara 10.000 - 150.000. Adapun kisaran G-nya antara 20 - 90 per detik dan diterapkan menurun (gradasi), misalnya mulai dari 90, 70, 50, 30, dan 20. Dalam praktiknya tentu tidak mudah mencapai angka-angka tersebut, apalagi perubahan angka yang berlangsung berangsur-angsur (smooth), misalnya 90, 89, 88, 87 dst-nya. Namun demikian, mau tak mau, desain flokulator tetap harus mengupayakan gradasi ini agar floknya betul-betul tumbuh dan menjadi berat.
Seperti halnya koagulator, flokulator juga bukanlah unit yang cukup hanya dituangkan dalam konsep di atas kertas. Desainnya tak sekadar hitung-hitungan belaka tetapi perlu dicoba di laboratorium. Ini dilakukan kalau ingin memiliki unit yang tepat untuk kualitas air baku yang tersedia. Setelah itu barulah parameter desainnya ditetapkan dari skala pilot dan skala lapangan dari instalasi yang sudah beroperasi dan terbukti relatif stabil dalam mengolah air yang sejenis kualitasnya. Makin sempit beda kualitas airnya, makin besarlah probabilitas keberhasilannya. Begitu sebaliknya, makin jauh beda kualitas airnya, makin sulitlah diterapkan untuk menghasilkan kualitas olahan yang setara.
Seperti flokulator yang lain, dalam desainnya FLOLIN tetap berpatokan pada formula familiar dalam hidrolika, yaitu Darcy-Weisbach. Sebagai formula untuk mengetahui rerata kehilangan tekanan dalam suatu aliran, rumus ini bisa dijadikan alat pendekatan untuk menduga headloss yang terjadi dan nilai G yang ditimbulkannya. Formula ini melibatkan diameter efektif Flolin dan panjangnya. Juga bisa dihitung kecepatan alirannya dalam batas rentang desain yang diizinkan. Sepanjang Flolin ini bisa dipasang piezometer untuk mengetahui HGL (hydraulic grade line, garis gradasi hidrolis, GGH) di sepanjang reaktor. Fenomena HGL ini lantas dicatat secara rutin dan dijadikan sumber data untuk evaluasi sepanjang operasinya demi perbaikan kinerjanya.
Satu lagi yang menjadi ciri khas Flolin adalah belokannya. Nyaris sepanjang pipanya berupa belokan. Hanya saja, bergantung pada radius Flolin, yaitu jejari pilinan, belokan ini bisa dipandang sebagai pipa lurus secara mikro, bisa juga dianggap belokan jika dilihat secara makro. Anggapan ini mengantarkan kita pada penerapan formula dominan yang diberlakukan atas Flolin. Itu sebabnya, kalkulasi di atas kertas tidak akan cukup mewakili dalam desainnya. Tetap saja diperlukan eksperimen laboratorium dan bahkan skala pilot untuk mendapatkan fenomena yang tepat untuk kualitas air tertentu.
Pengaruh Layout
Secara mikrohidrolis, aliran air di dalam Flolin bersifat turbulen sehingga kecepatannya nyaris sama di semua lokasi pada penampang melintang pipanya. Teoretisnya, kecepatan air bernilai nol atau nyaris tak bergerak di dinding pipanya lalu langsung menjadi maksimum di sepanjang penampangnya. Turbulensi ini kian bertambah akibat efek belokannya dan distribusi kecepatannya ikut berubah yang juga dipengaruhi oleh bilangan Reynolds (Re). Diperoleh dari eksperimen bahwa kecepatan rerata aliran air mencapai 80% dari kecepatan maksimumnya pada bilangan Reynolds di atas 10.000.
Secara teoretis, makin besar diameter pipa makin kecillah headloss yang terjadi sehingga makin kecil pula G yang dihasilkannya. Sebaliknya, makin kecil diameter pipa makin besarlah headloss-nya sehingga besar pula G yang terjadi. Dengan demikian, untuk mencapai gradasi G yang mengecil maka diameter pipa selayaknya makin besar searah dengan aliran air agar flok tumbuh dengan baik. Begitu memasuki unit sedimentasi, sifat aliran harus laminer dengan bilangan Reynolds maksimum 2.000 sehingga nilai f pada formula Darcy-Weisbach bisa didekati dengan formula sederhana, yaitu f = 64/Re.
Selain diameter pipa, yang juga berperan penting ialah diameter pilinan atau disebut radius pilin. Sesuai dengan fungsinya, radius pilin bisa diatur sedemikian rupa sehingga diperoleh nilai G yang besar di awal Flolin (inlet) lalu turun bergradasi ke arah outlet. Posisi dan bentuk pilinannya dapat diatur ketika mendesain Flolin dan disesuaikan dengan unit apa saja yang ada di dalam instalasinya. Misalkan IPAM itu dilengkapi dengan unit aerator diffuser atau diffused aerator. Flolin dapat dipasang melingkar-lingkar di luar badan aerator dengan inlet-nya berupa outlet dari aerator dan berujung di inlet sedimentasi dalam kondisi laminer. Pemasangannya bisa horisontal, bisa juga inklinasi, bergantung pada efek hidrolis yang diinginkan dan segi artistiknya.
Flolin pun bisa saja dipasang melingkari unit sedimentasi dan filtrasi. Ini tentu saja bergantung pada layout-nya. Bentuk Flolin pun bisa lain daripada yang tergambar di sini. Bentuknya bebas dan bergantung pada desainer dan unit apa saja yang harus ada di dalam instalasi yang dibuat oleh PDAM. Jika mengedepankan artistiknya, maka berbagai bentuk bisa dicobaterapkan dengan mengindahkan kaidah hidrolika dan kimiawi agar airnya tetap jernih, memenuhi syarat kimiawi dan bakteriologi. Demikian, semoga bermanfaat.*