Tanggal 21 Februari 2007 adalah ulang tahun Hari Bahasa Ibu Internasional. Saya sempat bingung dan bertanya-tanya, apa maknanya? Saya lumayan “fasih” berbahasa Bali, juga “fasih” berbahasa Indonesia. Ditulis dalam tanda kutip karena “ketakfasihan” saya juga banyak. Masih banyak kaidah bahasa Bali dan Indonesia yang belum saya ketahui. Andaipun tahu, sering dilanggar lantaran teledor atau sengaja. Dalam lisan dan tulisan pun banyak juga saya salah dalam berbahasa.
Apa itu bahasa ibu? Ada yang bilang, bahasa ibu ialah bahasa daerah; bahasa ibu ialah bahasa sehari-hari penuturnya. Dari dua pendapat itu, lebih banyak yang setuju bahwa bahasa daerahlah bahasa ibu. Ini takkan menimbulkan masalah jika seorang ibu dan suaminya sama-sama berasal dari satu daerah, misalnya Bali, sehingga sama-sama berbahasa Bali dalam kesehariannya. Anak-anaknya pun berbahasa Bali. Terlebih lagi jika tinggal di Bali seumur-umur, yakin 100% mereka berbahasa Bali. Faktanya, di kantor-kantor di Bali selalu terdengar percakapan dalam bahasa Bali. Yang tidak berbahasa Bali sering disindir atau disebut “sok” dan sok menjadi “Nak Jawe”. Ada yang menuduh, kemelayu-melayuan. Kemelayon. Layon dalam bahasa Bali sama dengan .... mayat!
Namun ada kasus lain. Bagaimana kalau mereka tinggal di luar Bali, misalnya di Kalimantan, di Sumatera atau daerah lainnya? Boleh jadi anak-anaknya berbahasa Bali di rumah tetapi berbahasa daerah setempat ketika bergaul dengan teman-temannya. Taruhlah sekian tahun berselang mereka akhirnya mampu berbahasa daerah dengan “fasih” dan “fasih” juga berbahasa Bali. Lalu, manakah yang disebut bahasa ibu bagi anak-anaknya? Mungkin banyak yang cenderung menyebut bahasa Bali sebagai bahasa ibu, sebaliknya bahasa daerah setempat, walaupun sangat fasih, disebut sebagai bahasa kedua. Atau, keduanya bisa disebut sebagai bahasa ibu?
Yang luar biasa, ada gadis Bali menikah dengan bule Australia dan tinggal di negeri kanguru itu. Dua anaknya fasih berbahasa Inggris. Bahasa Bali hanya dipahami sebatas kata-kata umum dari ibunya dan kosakatanya tak terlalu banyak. Malah ibunya lama-lama kian “fasih” berbahasa Inggris dan “cadel” berbahasa Bali. Bahasa Indonesia nyaris tak terdengar di rumahnya. Lalu, bahasa mana yang menjadi bahasa ibu bagi anak-anaknya? “Parahnya” lagi, wajah anaknya itu lebih mendekati orang Indonesia, walaupun samar-samar tampak juga raut bulenya. Andaikata lima tahun ke depan anak-anaknya menikah dengan, misalnya, orang Minang yang lama tinggal di Betawi (Jakarta), lalu keturunannya berbahasa ibu yang mana? Bahasa Betawikah, Indonesiakah, Minangkah, atau bahasa Jakarte?
Yang pasti, bahasa apapun yang digunakan haruslah bisa dipahami antar penutur dan tidak menyesatkan. Tak boleh terjadi salah paham yang berujung pada pertengkaran karena tersinggung. Ini sekadar contoh. Sun (matahari) dalam bahasa Inggris akan dibaca “sun” dan dimaknai cium oleh remaja gaul di Indonesia. “Atos” (sudah) di Sunda bisa menjadi “keras” di Jawa. “Cicing” (diam) di Sunda menjadi “anjing” di Bali. Maka, ketika perantau Sunda di Bali berteriak spontan kepada temannya karena ribut, “ Hai, cicing kamu!”, maka orang Bali bisa marah besar. Begitu pun dalam hal ujaran, bisa menimbulkan salah tafsir. Orang Bali banyak bernama Subrata (baca: Subrate, e pepet); di Sunda ada yang nama Subrata (baca: Subrata, a seperti a pada mata); di Jawa ujarannya lain lagi, yaitu Subroto, o seperti pada kata kotor); dan di Jepang ada yang bernama Suburata (ujarannya a seperti pada kata mata). Berabekah?
Walau demikian, mozaik bahasa tersebut tak perlu dirisaukan. Hatta terhadap bahasa daerah. Perlukah kita khawatir bahwa bahasa daerah akan lenyap? Jika betul lenyap, pasti akan muncul lagi bahasa daerah versi baru. Begitu seterusnya. Bahasa itu seperti rumput, ada masa-masa suburnya dan semarak penggunaannya, tapi di kala lain malah bertahan dalam ujud akar saja sehingga dikira sudah mati. Suatu saat kelak, keping mozaik itu akan menyembul, digunakan lagi sehingga hidup lagilah bahasa tersebut.
Terakhir, mari gunakan bahasa, entah itu bahasa ibu, bahasa daerah atau bahasa Indonesia, Inggris, dll untuk membagi-bagikan olah-pikir masing-masing secara lisan dan yang paling bagus adalah secara tulis agar bisa dibaca kapan saja.*
Gede H. Cahyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar