• L3
  • Email :
  • Search :

19 April 2012

Gubernur Jakarta: Wajib Cerdas Lingkungan


Pemilihan gubernur DKI Jakarta sebentar lagi. Siapa yang akan dipilih? Yang dipilih sebaiknya yang punya kecerdasan lingkungan (enviro intelligence, quotient). Ini faktanya. Dulu ada program Segar Jakartaku, Hari Tanpa Kendaraan Bermotor, juga Langit Biru. Ada juga Prokasih, Program Kali Bersih

Apa hasilnya? Jakarta kian gerah, langit kelabu dan disesaki banjir. Malah Ciliwung dinobatkan menjadi WC terpanjang di dunia. Taruhlah penduduk Jakarta 10 juta orang. Jika satu juta orang ber-WC di Ciliwung secara langsung dan tak langsung, maka ada 100.000 m3/hari air limbah masuk ke Ciliwung. Ini setara dengan 10 buah lapangan sepakbola yang digenangi air setinggi satu meter. Monas, istana presiden dan sekitarnya pun tenggelam oleh air WC ini setiap hari.

Enviro Quotient (EnQ) itulah yang luput dari gubernur Jakarta. Mereka dan jajar- annya tidak cerdas ling- kungan tapi hanya berbekal kecerdasan otak. Miskin pula kecerdasan akhlaknya. Sejak 1970-an wanti-wanti ini dirilis oleh Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo (alm). Begawan ekonomi penulis Science, Resources, and Development ini pada tahun 1977 telah memperingatkan pemerintah bahwa akan terjadi booming dan blooming teknologi yang dapat menjadi bumerang bagi manusia kalau tidak arif dalam menyikapinya. Mantan menteri ini menyatakan bahwa harus ada teknologi protektif (protective technology) atas lingkungan. 

Teknologi protektif pada masa sekarang justru menjadi poin terpenting karena berkaitan langsung dengan kelestarian fungsi lingkungan, keterkaitan antara manusia dan alamnya. Semua manusia tanpa kecuali, kaya miskin tua muda, dapat menjadi agen perusak atau pemberdaya lingkungan. Sudah pula terbukti, deretan gelar akademik seseorang dan kepangkatannya di TNI-Polri tidak berkorelasi linier dengan pemahamannya atas persoalan lingkungan. Tak sedikit orang-orang pintar dan berjabatan-berpangkat itu justru menjadi pelaku masif balak-liar (illegal logging). Nihil sense of belonging, tak hendak menjadi pemangku (stakeholders) fungsi lingkungan. 

Sebaliknya, ada orang yang tidak sekolah, tak berbasiskan ilmu lingkungan, tidak memiliki teori ilmu lingkungan tetapi sudah melaksanakan pelestarian fungsi lingkungan. Contohnya Mak Eroh. Beliau meninggal pada usia 70 tahun pada September 2004 dan dipredikati sebagai pahlawan hijau oleh penduduk Desa Pasirkadu. Apa yang dikerjakannya sampai dihadiahi Kalpataru pada tahun 1988? Wanita ini hanya mencangkul dan mencangkul seorang diri, setapak demi setapak selama berminggu-minggu untuk membuat saluran air. Ketika kanal itu sudah mencapai 2 km dan sudah 47 hari mencangkul sendirian, barulah warga desa membantunya. Awalnya warga mencibir dan menganggapnya gila. Lantaran “Mak Eroh Aquiduct” itulah desanya menjadi hijau.

Nyata di pelupuk mata, betapa orang awam sudah menjadi penggerak bela lingkungan, tinggi kecerdasan ling- kungannya. Tanpa pidato mereka langsung beraksi. Mereka sudah peduli lingkungan meskipun disebut orang lugu, bahkan bodoh. Saksikan saja tradisi ujung ladang masyarakat Melayu di Sumetera Utara misalnya, mereka senantiasa berwawasan lingkungan kalau membuka hutan. Meskipun menebang pohon, selalu saja ada vegetasi pelindung yang tersisa. Pola ini membantu menahan tanah agar tidak erosi, longsor, atau merusak tanaman. Suku Dayak di Kalimantan punya tradisi Nyaang. Mereka biasa membuat lajur isolasi pada ladang atau ketika membabat hutan untuk melokalisir kebakaran. Begitu pun awig-awig di Bali, selektif menebang pohon. Tradisi sasi di Saparua Maluku berlaku di darat atau di laut atas komoditi yang haram dieksploitasi untuk waktu terbatas. 

Jika demikian, satu pertanyaan reflektif, siapa yang lebih peduli lingkungan, masyarakat awamkah, ataukah politisi-birokrat? Dalam spirit Enviro Quotient, tak hendakkah kita belajar dari kearifan tradisional itu? Apakah kepedulian politisi-birokrat, kalah oleh kalangan tradisionalis itu? Kapankah ada pejabat publik yang tak sekedar peduli dalam retorika politiknya ketika bicara soal lingkungan? Adakah partai politik yang tak sekedar proforma dalam membuat divisi lingkungan? Sudah saatnya kita memilih gubernur yang paham masalah dan mampu menyelesaikan masalah lingkungan. Pilihlah calon gubernur DKI yang tinggi Enviro Quotient-nya. 

Akhir kata, ada pesan dari E. F. Schumacher, Krisis lingkungan terjadi bukan karena pengembangan sains dan teknologi, tetapi hasil dari sikap mental dan life-style (gaya hidup) dunia modern. Semoga nanti muncul politisi berlabel enviro, enviropolitician yang tak sekadar vokalis sehingga advokasi enviro-nya hanya proforma belaka. Juga dicari birokrat yang tinggi sense of enviro-nya sehingga tak sekadar menjadi dust in the wind. ***
 
Foto: chillphy's Blog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar