Pemilihan gubernur DKI Jakarta sebentar
lagi. Siapa yang akan dipilih? Yang dipilih sebaiknya yang punya kecerdasan
lingkungan (enviro intelligence, quotient).
Ini faktanya. Dulu ada program Segar Jakartaku, Hari Tanpa Kendaraan
Bermotor, juga Langit Biru. Ada juga Prokasih, Program
Kali Bersih.
Apa hasilnya? Jakarta kian gerah, langit kelabu dan disesaki banjir. Malah Ciliwung dinobatkan menjadi WC terpanjang di dunia. Taruhlah penduduk Jakarta 10 juta orang. Jika satu juta orang ber-WC di Ciliwung secara langsung dan tak langsung, maka ada 100.000 m3/hari air limbah masuk ke Ciliwung. Ini setara dengan 10 buah lapangan sepakbola yang digenangi air setinggi satu meter. Monas, istana presiden dan sekitarnya pun tenggelam oleh air WC ini setiap hari.
Apa hasilnya? Jakarta kian gerah, langit kelabu dan disesaki banjir. Malah Ciliwung dinobatkan menjadi WC terpanjang di dunia. Taruhlah penduduk Jakarta 10 juta orang. Jika satu juta orang ber-WC di Ciliwung secara langsung dan tak langsung, maka ada 100.000 m3/hari air limbah masuk ke Ciliwung. Ini setara dengan 10 buah lapangan sepakbola yang digenangi air setinggi satu meter. Monas, istana presiden dan sekitarnya pun tenggelam oleh air WC ini setiap hari.
Enviro
Quotient (EnQ) itulah yang luput
dari gubernur Jakarta. Mereka dan jajar- annya tidak cerdas ling- kungan tapi
hanya berbekal kecerdasan otak. Miskin pula kecerdasan akhlaknya. Sejak
1970-an wanti-wanti ini dirilis oleh Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo (alm).
Begawan ekonomi penulis Science, Resources, and Development ini pada
tahun 1977 telah memperingatkan pemerintah bahwa akan terjadi booming
dan blooming teknologi yang dapat menjadi bumerang bagi manusia kalau
tidak arif dalam menyikapinya. Mantan menteri ini menyatakan bahwa harus ada
teknologi protektif (protective technology) atas lingkungan.
Teknologi protektif pada masa sekarang
justru menjadi poin terpenting karena berkaitan langsung dengan kelestarian
fungsi lingkungan, keterkaitan antara manusia dan alamnya. Semua manusia tanpa
kecuali, kaya miskin tua muda, dapat menjadi agen perusak atau pemberdaya
lingkungan. Sudah pula terbukti, deretan gelar akademik seseorang dan
kepangkatannya di TNI-Polri tidak berkorelasi linier dengan pemahamannya atas
persoalan lingkungan. Tak sedikit orang-orang pintar dan berjabatan-berpangkat
itu justru menjadi pelaku masif balak-liar (illegal logging). Nihil sense
of belonging, tak hendak menjadi pemangku (stakeholders) fungsi
lingkungan.
Sebaliknya, ada orang yang tidak sekolah, tak
berbasiskan ilmu lingkungan, tidak memiliki teori ilmu lingkungan tetapi sudah
melaksanakan pelestarian fungsi lingkungan. Contohnya Mak Eroh. Beliau
meninggal pada usia 70 tahun pada September 2004 dan dipredikati sebagai
pahlawan hijau oleh penduduk Desa Pasirkadu. Apa yang dikerjakannya sampai
dihadiahi Kalpataru pada tahun 1988? Wanita ini hanya mencangkul dan mencangkul
seorang diri, setapak demi setapak selama berminggu-minggu untuk membuat saluran
air. Ketika kanal itu sudah mencapai 2 km dan sudah 47 hari mencangkul
sendirian, barulah warga desa membantunya. Awalnya warga mencibir dan
menganggapnya gila. Lantaran “Mak Eroh Aquiduct” itulah desanya menjadi
hijau.
Nyata di pelupuk mata, betapa orang awam
sudah menjadi penggerak bela lingkungan, tinggi kecerdasan ling- kungannya.
Tanpa pidato mereka langsung beraksi. Mereka sudah peduli lingkungan meskipun
disebut orang lugu, bahkan bodoh. Saksikan saja tradisi ujung ladang
masyarakat Melayu di Sumetera Utara misalnya, mereka senantiasa berwawasan
lingkungan kalau membuka hutan. Meskipun menebang pohon, selalu saja ada
vegetasi pelindung yang tersisa. Pola ini membantu menahan tanah agar tidak
erosi, longsor, atau merusak tanaman. Suku Dayak di Kalimantan punya tradisi Nyaang.
Mereka biasa membuat lajur isolasi pada ladang atau ketika membabat hutan untuk
melokalisir kebakaran. Begitu pun awig-awig di Bali, selektif menebang
pohon. Tradisi sasi di Saparua Maluku berlaku di darat atau di laut atas
komoditi yang haram dieksploitasi untuk waktu terbatas.
Jika demikian, satu pertanyaan reflektif,
siapa yang lebih peduli lingkungan, masyarakat awamkah, ataukah
politisi-birokrat? Dalam spirit Enviro
Quotient, tak hendakkah kita belajar
dari kearifan tradisional itu? Apakah kepedulian politisi-birokrat, kalah oleh
kalangan tradisionalis itu? Kapankah ada pejabat publik yang tak sekedar peduli
dalam retorika politiknya ketika bicara soal lingkungan? Adakah partai politik
yang tak sekedar proforma dalam membuat divisi lingkungan? Sudah saatnya kita
memilih gubernur yang paham masalah dan mampu menyelesaikan masalah lingkungan. Pilihlah calon gubernur DKI
yang tinggi Enviro Quotient-nya.
Akhir kata, ada pesan dari E. F.
Schumacher, “Krisis lingkungan terjadi bukan karena pengembangan sains dan
teknologi, tetapi hasil dari sikap mental dan life-style (gaya hidup) dunia
modern.” Semoga nanti muncul politisi berlabel enviro, enviropolitician
yang tak sekadar vokalis sehingga advokasi enviro-nya hanya proforma belaka.
Juga dicari birokrat yang tinggi sense of enviro-nya sehingga tak
sekadar menjadi dust in the wind. ***
Foto:
chillphy's Blog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar